KARAKTERISTIK
MANAJEMEN
PENDIDIKAN ISLAM
Oleh:
Aminatul Zahroh
Akademisi Pascasarjana STAIN Tulungagung
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kata manajemen
berasal dari bahasa Prancis kuno
ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet,
misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui
orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan
mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin
mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals)
secara efektif dan efesien.[1]
Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara
efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir,
dan sesuai dengan jadwal.
Manajer adalah
seseorang yang bekerja melalui orang lain dengan mengoordinasikan
kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai sasaran organisasi. Dalam suatu lembaga
pendidikan yang menjalankan fungsi manajerial tersebut adalah
pimpinan/ketua/kepala lembaga pendidikan. Hal ini berarti bahwa seorang
pemimpin lembaga pendidikan harus menjadi sumber kegiatan dan penanggungjawab
hasil yang dicapai dalam aktivitas pembelajaran, bekerjasama dengan pihak-pihak
lain yang terkait dalam proses pembelajaran.
Dalam diskursus
pendidikan Islam juga terdapat manajemen, yang dinamakan manajemen pendidikan
Islam. Maka selanjutnya muncul pertanyaan, apa
perbedaan manajemen pendidikan Islam dengan manajemen lainnya, misalnya dengan
manajemen pendidikan? Memang secara general sama, artinya ada banyak atau
bahkan mayoritas kaidah-kaidah manajerial dapat dipakai oleh kedua jenis
manajemen itu bahkan oleh seluruh manajemen. Tetapi secara spesifik terdapat
kekhususan-kekhususan yang membutukan penanganan secara khusus pula.
Gambaran tentang manajemen pendidikan Islam yang membedakan
dengan manajemen secara umum adalah terletak pada karakteristik dari manajemen
pendidikan Islam itu sendiri. Perlu diketahui bahwa manajemen secara sumum,
sasaran ataupun obyek yang dikelola adalah dalam suatu organisasi atau
perusahaan. Sedangkan manajemen lembaga pendidikan Islam, sasaran yang dikelola
adalah semua SDM dan SDA yang ada dan terlibat dalam suatu proses pendidikan.
Dalam manajemen pendidikan Islam ini, manajemen
focus adalah terletak pada guru. Hal ini disebabkan karena guru merupakan ujung tombak
dari pelaksanaan pembelajaran. Hal ini senada dengan pendapatnya E. Mulyasa,
yang menyatakan bahwa ”Guru merupakan pemeran utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan.”[2] Maka guru merupakan jiwa dari
sekolah.[3]. Namun demikian tidak
menafikan peran yang lain, speerti karyawan, ketua, wali murid dan siswa itu
sendiri. Sehingga memang terdapat karakteristik dan ketentuan normatif
manajemen pendidikan Islam jika dibandingkan dengan manajemen secara umum.
Maka dari itu, untuk menjelaskan lebih
lanjut mengenai karakteristik dan ketentuan normatif manajemen pendidikan Islam,
penulis akan menyusun sebuah makalah yang berjudul "Karakteristik dan
Prinsip Dasar Manajemen Pendidikan Islam" yang penulis kumpulkan dari
berbagai referensi yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Manajemen
Pendidikan Islam
Manajemen pendidikan Islam mencakup
objek bahasan yang cukup komplek, yang dapat dipertimbangkan atau dijadikan
bahan dalam merumuskan kaidah-kaidahnya. Masing-masing bahan itu diintegrasikan
untuk mewujudkan manajemen pendidikan yang bercirikhas Islam. Istilah Islam yang
melekat pada kata manajemen bisa berupa Islam wahyu dan Islam budaya. Islam
wahyu meliputi al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, baik hadits Nabawi maupun
hadits Qudsi. Sedangkan Islam budaya meliputi ungkapan sahabat Nabi, pemahaman ulama,
pemahaman cendekiawan Muslim dan budaya umat Islam. Kata Islam yang menjadi
identitas manajemen pendidikan ini dimaksudkan mencakup makna keduanya, yakni
Islam wahyu dan Islam budaya.
Oleh karena itu, dalam membahas
manajemen pendidikan Islam senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum Muslimin
ditambah kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum. Maka pembahasan ini
akan mempertimbangkan bahan-bahan sebagai berikut:
1. Teks-teks wahyu baik al-Qur’an
maupun hadits yang terkait dengan manajemen pendidikan.
2. Perkataan-perkataan (aqwâl)
pada sahabat Nabi maupun ulama dan cendikiawan Muslim yang terkait dengan
manajemen pendidikan.
3. Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam.
4. Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan
Islam.
5. Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan.[4]
Karakteristik manajemen pendidikan Islam bersifat holistik,
arinya setrategi pengelolaan pendidikan Islam dilakukan dengan memeadukan
sumber sumber belajar dan mempertimbangkan keterlibatan budaya manusianya, baik
budaya yang bersifat politis, ekonomis, intelektual, maupun teologis.[5]
Kaidah-kaidah
umum manajemen pendidikan tersebut misalnya pemberian otonomi yang luas kepada
sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua, kepemimpinan yang demokratis dan
profesional, dan team work yang kompak dan transparan dan lain
sebagainya.[6]
Karena masih banyak lagi kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum yang
belum diungkapkan seperti evaluasi dan lain-lain.
Bahan
nomor 1 sampai 4 mencerminkan ciri khas Islam pada bangunan manajemen
pendidikan Islam, sedangkan bahan nomor 5 sebagai tambahan yang bersifat umum
tetapi karena bersifat general maka bisa dipakai dalam membantu merumuskan
bangunan manajemen pendidikan Islam, dan ini pun setelah diseleksi berdasarkan
nilai-nilai Islam dan realitas yang dihadapi lembaga pendidikan Islam. Bahan
yang nomor 5 tersebut dapat digunakan sebagai pengembangan manajemen pendidikan
Islam.
Teks-teks
wahyu sebagai sandaran teologis; Perkataan-perkataan para sahabat Nabi, ulama
dan cendikiawan Muslim sebagai sandaran rasional, realitas perkembangan lembaga
pendidikan Islam serta kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga
pendidikan Islam sebagai sandaran empiris, sedangkan ketentuan kaidah-kaidah
manajemen pendidikan sebagai sandaran teoritis. Jadi bangunan manajemen
pendidikan Islam ini diletakkan di atas empat sandaran yaitu sandaran teologis,
rasional, empiris, dan teoritis.
Sandaran
teologis akan berdampak pada keyakinan adanya kebenaran pesan-pesan wahyu karena
berasal dari Tuhan, sandaran rasional menimbulkan keyakinan kebenaran
berdasarkan pertimbangan akal-pikiran, sandaran empiris menimbulkan keyakinan
adanya kebenaran berdasarkan data-data riil dan akurat, sedangkan sandaran teoritis
menimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan akal pikiran dan data
sekaligus dan telah dicobakan berkali-kali dalam pengelolaan pendidikan.
Di
sisi lain, menurut Muhaimin, pengembangan manajemen pendidikan Islam dapat
bertolak dari dunia empiris, sebagaimana terwujud dalam fenomena praktik dan
operasional manajemen pendidikan pada lima jenis lembaga pendidikan Islam.
Melalui penggalian terhadap fenomena tersebut dan dianalisis secara kritis,
serta didiskusikan dengan teori-teori yang berkembang dalam manajemen pendidikan
pada umumnya, maka akan dapat ditarik dan ditemukan konstruk teoritisnya, untuk
selanjutnya dikonsultasikan kepada ajaran dan nilai mendasar yang terkandung
dalam wahyu, yang dibangun dari telaah tematik terhadap wahyu tersebut. Dari situ akan melahirkan
konsep dan teori manajemen yang berperspektif Islam.[7]
Secara materi (mâddah),
sebenarnya banyak sekali bahan-bahan keilmuan yang berserakan dalam berbagai
bidang keilmuan termasuk bahan-bahan manajemen pendidikan Islam meskipun masih
merupakan prinsip-prinsip dasar baik berupa
ayat-ayat al-Qur’an, hadits Nabi, aqwâl
para sahabat Nabi, aqwâl ulama maupun cendikiawan
Muslim. Di samping itu, perkembangan lembaga pendidikan Islam maupun budaya
dari komunitas (pimpinan dan pegawai) yang ada di lembaga pendidikan Islam juga
dapat dijadikan bahan. Kemudian didukung kaidah-kaidah manajemen pendidikan. Oleh
karena itu, dibutuhkan para peramu atau pengracik bahan-bahan tersebut menjadi
formula-formula teoritis yang kemudian bisa diaplikasikan, kemudian jika
berhasil dengan baik, langkah berikutnya adalah disosialisasikan dan
dipublikasikan pada masyarakat luas agar cepat menyebar pada mereka.
Selanjutnya, perlu dikenali dahulu
posisi dan fungsi bahan-bahan keilmuan manajemen pendidikan Islam tersebut
untuk memudahkan pemahaman bagaimana mekanisme membangun konsep-konsep teoritis
tentang manajemen pendidikan Islam tersebut yaitu:
1. Teks-teks wahyu baik al-Qur’an
maupun hadits shahih sebagai pengendali terhadap bangunan rumusan kaidah-kaidah
teoritis manajemen pendidikan Islam.
2. Aqwâl
(perkataan-perkataan) para sahabat Nabi, ulama dan cendikiawan Muslim sebagai
pijakan logis-argumentatif dalam menjelaskan kaidah-kaidah teoritis manajemen
pendidikan Islam secara rasional.
3. Perkembangan lembaga
pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam mendasari perumusan
kaidah-kaidah teoritis manajemen pendidikan Islam.
4. Kultur komunitas (pimpinan dan
pegawai) dalam lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam
merumuskan kemungkinan strategi yang khas dalam me-manage lembaga
pendidikan Islam.
5. Ketentuan kaidah-kaidah
menejemen pendidikan sebagai pijakan teoritis dalam me-manage lembaga
pendidikan Islam, tetapi juga dikritisi untuk disesuaikan dengan kondisi budaya
yang terjadi dalam lembaga pendidikan Islam jika terdapat ketentuan-ketentuan
atau prinsip-prinsip yang tidak relevan.
Mekanisme demikian ini
mempertegas sikap bahwa dalam wilayah keilmuan sekalipun, Islam melalui wahyu
hadir untuk memberikan inspirasi-kreatif dalam membangun konsep ilmiah,
sedangkan rinciannya secara detail diserahkan pada para ahli pendidikan Islam
berdasarkan inspirasi-kreatif dari wahyu itu. Tetapi dalam pembahasan
ini, juga bersikap adaptif-selektif terhadap kaidah-kaidah manajemen
pendidikan yang terdapat di berbagai literatur dan dipengaruhi oleh pemikiran
dan pengalaman orang-orang Barat. Sikap
adaptif ini didasarkan pada pemikiran bahwa secara umum kaidah-kaidah manajemen
pendidikan itu bersifat general atau universal yang juga dapat diterapkan dalam
me-manage lembaga pendidikan Islam. Hanya saja, mungkin ada
kaidah-kaidah tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang
didasarkan wahyu tersebut ataupun realitas yang dihadapi lembaga pendidikan
Islam lantaran faktor budaya tertentu yang unik dan khas sehingga dibutuhkan
sikap selektif dengan mengkritisi kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum
itu, kemudian diganti atau disempurnakan.[8]
Kalau sebenarnya kita berstudi tour ke
dunia tazkiyah atau tasawuf, maka di sana terdapat hal yang mirip dengan fungsi
manajemen. Jadi kalau mau menerapkan ilmu tasawuf atau tazkiyah maka secara
tidak langsung kita telah menerapkan manajemen. Penjabarannya adalah sebagai
berikut: pertama, orang yang masuk ke dunia tazkiyah tersebut dimulai
dengan niat. Niat juga merupakan awal dari tindakan manusia atau orang
tersebut. Maka
niat itu sama halnya dengan planning. Niat di sini bukan hanya lintasan
yang ada dalam hati, akan tetapi niat adalah sudah mempunyai gambaran walaupun
itu hal yang mustahil dan akan sungguh-sungguh untuk melaksanakannya.
Kedua, adalah mujahadah, dalam tahapan
ini seseorang berusaha sungguh-sungguh untuk mewujudkan niat serta istiqamah
atau konsisten dalam niat tersebut dan berusaha mewujudkannya sekuat tenaga.
Maka hal ini sama dengan organizing dan actuating. Ketiga, adalah
muhasabah yaitu melakukan kontrol atau evaluasi diri terhadap sesuatu
yang telah dilakukan atau keberhasilan niat. Maka hal ini identik dengan controlling.
Maka sebenarnya umat Islam itu telah melakukan kegiatan manajemen dalam diri
mereka sendiri, namun mereka tidak menyadarinya.
Menurut pemikiran penulis, manajemen
pendidikan Islam dapat dibangun dengan menggunakan pembacaan ayat kauniyah dan
qauliyah. Kemudian hasilnya dikonsultasikan dan di-break down ke
dalam kegiatan eksperimen yang pada gilirannya melahirkan teori atau ilmu
manajemen pendidikan Islam. Operasionalnya cara mengkonstruk manajemen pendidikan Islam bisa
dilakukan dengan cara: pertama, cara deduksi, yakni dimulai dari
teks wahyu atau sabda rasul (hadits) kemudian ditafsirkan secara kontekstual,
dari sini muncul teori manajemen pendidikan Islam pada tingkat filsafat, teori
itu dieksperimenkan, maka selanjutnya muncul teori manajemen pendidikan Islam
tingkat ilmu. Apabila hal tersebut dioperasionalkan, maka dapat diperoleh
kaidah praktis manajemen pendidikan Islam. Kedua, cara induksi
konsultasi, dengan cara seseorang mengambil teori manajemen pendidikan yang
sudah ada, kemudian dikonsultasikan dengan wahyu dan kultur, yang tidak sekedar
bersifat justifikasi, jika tidak berlawanan, maka teori tersebut didaftarkan di
dalam khazanah ilmu manajemen pendidikan Islam
Selanjutnya penerapan manajemen
pendidikan Islam menghadapi berbagai kendala/hambatan baik yang bersifat
politis, ekonomik-finansial, intelektual maupun dakwah. Hambatan-hambatan tersebut dapat
dirinci secara detail sebagai berikut:
1.
Ideologi, Politik dan Tekanan-tekanan (Pressure)
Kelompok-kelompok Kepentingan.
Dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam
terutama yang berstatus negeri acapkali terjadi pertentangan ideologi dari
organisasi sosial keagamaan utamanya Muhammadiyah dan NU maupun organisasi
kemahasiswaan terutama antara HMI dengan PMII, HMI dengan IMM atau IMM dengan
PMII. Lantaran pertentanngan-pertentangan ini, akhirnya politik
kepentingan memasuki arena lembaga
pendidikan dengan memberikan tekanan-tekanan tertentu.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama, Yahya Umar pernah mencoba mengamati dan menyelami
kehidupan kampus UIN, IAIN maupun STAIN seluruh Indonesia, akhirnya
menghasilkan suatu kesimpulan yang singkat tetapi penuh makna bahwa di kalangan
PTAIN tidak ada civitas akademika, sebaliknya yang ada justru civitas
politika. Kesimpulan ini tampaknya memang benar karena nuansa politik di
kalangan dosen, mahasiswa bahkan karyawan sangat dominan, mengalahkan nuansa
akademiknya sehingga kegiatan mereka lebih mengarah pada gerakan-gerakan
politik dan jarang mengarah pada pemberdayaan intelektual.
Nuansa politik ini lebih terasa lagi
pada saat menjelang dan pasca pemilihan rektor, dekan maupun ketua. Akibatnya
pertikaian antar dosen, antar karyawan, antar mahasiswa terus berlangsung. Hal
ini tentu saja menghambat kerja manajer (rektor, dekan atau ketua) dalam
melaksanakan dan mensukseskan program-programnya. Sufyarman dalam bukunya menulis, ”Kelompok kepentingan hadir
dalam percaturan pembuatan kebijaksanaan untuk memperjuangkan kepentingannya
dalam kebijaksanaan dalam skala sempit dan spesifik."[9] Akibatnya
pimpinan tidak bisa bersifat lugas, mandiri dan profesional. Tindakan pimpinan
dalam mengambil keputusan seringkali dibayang-bayangi oleh intervensi kepentingan
kelompoknya. Hal ini dilakukan pimpinan baik atas kesadaran sendiri maupun
tekanan dari orang-orang di sekelilingnya yang seideologi, sealiran maupun
sekelompok.
2. Kondisi Sosio Ekonomik Masyarakat dan Animo
Finansial Lembaga.
Masyarakat santri di Indonesia
secara sosio-ekonomik rata-rata dalam kategori kelas menengah kebawah. Ekonomi orang
tua siswa lemah, ekonomi karyawan, pengajar, dan bahkan pimpinannya juga lemah.
Ini merupakan kendala serius bagi lembaga pendidikan Islam untuk memacu
kemajuan yang signifikan. Kepala madrasah tidak dapat melakukan manajemen
dengan baik apabila kondisi ekonomi keluarganya tidak karuan Guru mempunyai
tugas yang berat yaitu ujung tombak pendidikan.
Di samping itu juga mempunyai kedudukan yang tinggi, bahkan Ahmad Tafsir
mengemukakan "
begitu tingginya kedudukan guru dalam pandangan Islam yang setingkat dengan
kedudukan Nabi dan rasul.[10] Demikian juga
karyawan sulit dapat bekerja serius
ketika dibelit oleh persoalan ekonomi. Sedangkan kelemahan ekonomi orang tua
murid senantiasa berdampak langsung terhadap minimnya kesejahteraan pegawai
apalagi untuk pengembangan fisik.
3. Komposisi Status Kelembagaan dan Diskriminasi
Kebijakan Pemerintah
Mayoritas lembaga pendidikan Islam
berstatus swasta yang bersumber dari swadaya masyarakat santri yang kondisi
ekonominya dalam level kelas menengah ke bawah. Komposisi ini paling jelas
terletak pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah terutama jika dibanding dengan
Sekolah Dasar. Data statistik 2005/2006 menyebutkan ada 21.042 (93.1%) Madrasah
Ibtidaiyah Swasta, sedang Madrasah Ibtidaiyah Negeri hanya 1.568 (6.9%).
Keadaan ini berbanding 180 derajat terbalik jika dibanding dengan Sekolah Dasar
sebab Sekolah Dasar Negeri mencapai 137.673 (92.87%), sedang Sekolah Dasar
Swasta hanya 10.569 (7.13%). Pada tingkat Tsanawiyah yang berstatus Madrasah
Tsanawiyah Negeri hanya 1.264 (10.1%) sedang yang swasta mencapai 11.234
(89.9%). Hal ini berbanding jauh dengan SMP yang berstatus negeri masih
mencapai 12.951 (54.30%), sedang swasta ada 10.902 (45.70%). Demikian juga pada
Madrasah Aliyah Negeri hanya 642 (13.1%) sedang Madrasah Aliyah Swasta mencapai
4.276 (86.9%). Sementara itu SMA Negeri masih mencapai 3.940 (42.29%) sedang SMA Swasta
ada 5.377 (57.71%).[11]
Perbedaan ini memiliki implikasi
yang besar sekali terhadap keadaan keuangan lembaga. Bagi Madrasah Ibtidaiyah,
mengingat 93.1% swasta itu sehingga selalu berhadapan dengan kesulitan
keuangan. Minimnya keuangan Madrasah Ibtidaiyah itu menyebabkan posisi lembaga
pendidikan tersebut selalu terbelakang dan sulit mengalami kemajuan sebab
memajukan madrasah sebagaimana memajukan lembaga pendidkan lainnya, sangat
dibutuhkan potensi keuangan yang memadai. Semua peningkatan komponen lembaga
pendidikan ini membutuhkan biaya yang tidak kecil, dan pembiayaan ini
menentukan apakah madrasah ini segera bisa ditingkatkan atau dibiarkan dalam
keadaan yang memprihatinkan.
4. Keadaan Potensi Intelektual Siswa/Mahasiswa
Di samping secara ekonomi,
siswa/mahasiswa dalam lembaga pendidikan Islam dalam kategori kelas menengah
kebawah, secara intelektual, potensi mereka juga lemah. Rata-rata
siswa/mahasiswa memasuki lembaga pendidikan Islam baik di madrasah maupun
perguruan tinggi Islam karena merasa bahwa memasuki lembaga pendidikan umum
yang maju terutama yang berstatus negeri tidak mungkin diterima. Sebagian dari
mereka telah gagal di lembaga pendidikan umum negeri kemudian memasuki lembaga
pendidikan Islam. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam merupakan tempat
pelarian siswa/mahasiswa yang gagal memasuki lembaga pendidikan umum negeri,
atau karena menyadari kemampuannya rendah dan mungkin amat rendah sehingga
sengaja tidak pernah mendaftar di lembaga pendidikan umum negeri.
Keadaan ini menunjukkan adanya
unsur keterpaksaan, daripada tidak sekolah/kuliah masih lebih baik memasuki
lembaga pendidikan Islam. Kalaulah bukan keterpaksaan setidaknya lembaga
pendidikan Islam bukan sebagai pilihan utama bagi siswa/mahasiswa. Kondisi
psikologis ini tidak mampu membangkitkan gairah belajar guna mengejar
penguasaan pengetahuan baik yang difasilitasi lembaga maupun apalagi atas
inisiatif sendiri.
5. Adanya Motif Dakwah pada Pendirian Lembaga
Pendidikan Islam.
Keberadaan lembaga pendidikan Islam
kebanyakan berangkat dari bawah, dari tokoh-tokoh agama yang kemudian didukung
oleh masyarakat sekitar. Mereka mendirikan lembaga pendidikan tersebut didasari
motif dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran Islam ke
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena motif dakwah tersebut, maka ada
konsekuensi-konsekuensi yang menjadi akibat. Misalnya lembaga tersebut
didirikan asal-asalan dan tidak dilakukan perencanaan yang matang terhadap
masing-masing komponennya, seperti dakwah yang senantiasa berangkat dari bawah,
lalu menggunakan pendekatan pahala dengan konsep lillahi ta'ala sehingga
kesejahteraan pegawai diabaikan, dan menerima semua pendaftar (tanpa seleksi)
dengan dasar pemikiran bahwa siswa/mahasiswa mau belajar saja mengapa harus
ditolak, sikap menolak orang yang mau belajar itu tidak baik. M. Amin Abdullah
menyatakan bahwa studi Islam di IAIN dan PTAIS secara umum agaknya masih lebih
banyak terbebani misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, apologis,
sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, historis-empiris, terutama
dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu
kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang
masih sangat terbatas.[12]
Demikianlah lima macam hambatan yang mewarnai keberlangsungan lembaga
pendidikan Islam. Selain itu, tentu
masih terdapat hambatan-hambatan lainnya dalam skala yang lebih kecil tetapi
tidak bisa diremehkan begitu saja. Hambatan-hambatan tersebut selama
ini yang dihadapi manajemen pendidikan Islam, sehingga cukup mempersulit
penyelesainnya meskipun masih ada jalan keluar yang strategis.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Manajemen pendidikan Islam mencakup objek bahasan yang
cukup komplek, yang dapat dipertimbangkan atau dijadikan bahan dalam merumuskan
kaidah-kaidahnya. Masing-masing bahan itu diintegrasikan untuk mewujudkan
manajemen pendidikan yang bercirikhas Islam. Istilah Islam yang melekat pada
kata manajemen bisa berupa Islam wahyu dan Islam budaya. Islam wahyu meliputi
al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, baik hadits Nabawi maupun hadits Qudsi. Sedangkan
Islam budaya meliputi ungkapan sahabat Nabi, pemahaman ulama, pemahaman
cendekiawan Muslim dan budaya umat Islam. Kata Islam yang menjadi identitas
manajemen pendidikan ini dimaksudkan mencakup makna keduanya, yakni Islam wahyu
dan Islam budaya.
Oleh karena itu, dalam membahas manajemen pendidikan
Islam senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum Muslimin ditambah
kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas,
Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Muhaimin, Suti'ah dan Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan:
Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Jakarta:
Kencana, 2009.
Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah:
Konsep, Strategis dan Implementasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
Mulyasa, E., Menjadi Kepala Sekolah
Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS
dan KBK, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
Mulyasa, E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2007.
Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan
Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2008.
Sufyarman, Kapita Selekta Manajemen
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Jakarta:
Remaja Rosdakarya, 1991.
Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, Manajemen, diakses
dari http://www.ririsatria.net/category/manajemen-organisasi,
tanggal 24 Oktober 2011.
[1] Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas,
Manajemen, diakses dari http://www.ririsatria.net/category/manajemen-organisasi,
tanggal 24 Oktober 2011
[2] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategis dan Implementasi,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 50.
[3] E.
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah
Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS
dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 90.
[4] Mujamil
Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), 11-12.
[5] Ibid, hal
28-29
[6]
E.Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS
dan KBK, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2007), 36-37.
[7] Muhaimin,
Suti'ah dan Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam
Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, (Jakarta: Kencana, 2009),
13.
[8] Qomar, Manajemen
Pendidikan…, 31.
[9] Sufyarman, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2003), 75
[10] Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Remaja
Rosdakarya, 1991), 76.
[11] Qomar, Manajemen
Pendidikan…, 17
[12] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 105-106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar