Minggu, 27 Januari 2013

Karakteristik Manajemen Pendidikan Islam

MANAJEMEN

KARAKTERISTIK
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Aminatul Zahroh
Akademisi  Pascasarjana STAIN Tulungagung

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Kata manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.[1] Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal. 
Manajer adalah seseorang yang bekerja melalui orang lain dengan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai sasaran organisasi. Dalam suatu lembaga pendidikan yang menjalankan fungsi manajerial tersebut adalah pimpinan/ketua/kepala lembaga pendidikan. Hal ini berarti bahwa seorang pemimpin lembaga pendidikan harus menjadi sumber kegiatan dan penanggungjawab hasil yang dicapai dalam aktivitas pembelajaran, bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang terkait dalam proses pembelajaran.
Dalam diskursus pendidikan Islam juga terdapat manajemen, yang dinamakan manajemen pendidikan Islam. Maka selanjutnya muncul pertanyaan, apa perbedaan manajemen pendidikan Islam dengan manajemen lainnya, misalnya dengan manajemen pendidikan? Memang secara general sama, artinya ada banyak atau bahkan mayoritas kaidah-kaidah manajerial dapat dipakai oleh kedua jenis manajemen itu bahkan oleh seluruh manajemen. Tetapi secara spesifik terdapat kekhususan-kekhususan yang membutukan penanganan secara khusus pula.
Gambaran tentang manajemen pendidikan Islam yang membedakan dengan manajemen secara umum adalah terletak pada karakteristik dari manajemen pendidikan Islam itu sendiri. Perlu diketahui bahwa manajemen secara sumum, sasaran ataupun obyek yang dikelola adalah dalam suatu organisasi atau perusahaan. Sedangkan manajemen lembaga pendidikan Islam, sasaran yang dikelola adalah semua SDM dan SDA yang ada dan terlibat dalam suatu proses pendidikan. Dalam manajemen pendidikan Islam ini, manajemen  focus adalah terletak pada guru. Hal ini disebabkan karena guru merupakan ujung tombak dari pelaksanaan pembelajaran. Hal ini senada dengan pendapatnya E. Mulyasa, yang menyatakan bahwa ”Guru merupakan pemeran utama  proses pendidikan yang sangat menentukan  tercapai tidaknya tujuan pendidikan.”[2] Maka guru merupakan jiwa dari sekolah.[3]. Namun demikian tidak menafikan peran yang lain, speerti karyawan, ketua, wali murid dan siswa itu sendiri. Sehingga memang terdapat karakteristik dan ketentuan normatif manajemen pendidikan Islam jika dibandingkan dengan manajemen secara umum.
Maka dari itu, untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai karakteristik dan ketentuan normatif manajemen pendidikan Islam, penulis akan menyusun sebuah makalah yang berjudul "Karakteristik dan Prinsip Dasar Manajemen Pendidikan Islam" yang penulis kumpulkan dari berbagai referensi yang ada.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Karakteristik Manajemen Pendidikan Islam
Manajemen pendidikan Islam mencakup objek bahasan yang cukup komplek, yang dapat dipertimbangkan atau dijadikan bahan dalam merumuskan kaidah-kaidahnya. Masing-masing bahan itu diintegrasikan untuk mewujudkan manajemen pendidikan yang bercirikhas Islam. Istilah Islam yang melekat pada kata manajemen bisa berupa Islam wahyu dan Islam budaya. Islam wahyu meliputi al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, baik hadits Nabawi maupun hadits Qudsi. Sedangkan Islam budaya meliputi ungkapan sahabat Nabi, pemahaman ulama, pemahaman cendekiawan Muslim dan budaya umat Islam. Kata Islam yang menjadi identitas manajemen pendidikan ini dimaksudkan mencakup makna keduanya, yakni Islam wahyu dan Islam budaya.
Oleh karena itu, dalam membahas manajemen pendidikan Islam senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum Muslimin ditambah kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum. Maka pembahasan ini akan mempertimbangkan bahan-bahan sebagai berikut:
1.      Teks-teks wahyu baik al-Qur’an maupun hadits yang terkait dengan manajemen pendidikan.
2.      Perkataan-perkataan (aqwâl) pada sahabat Nabi maupun ulama dan cendikiawan Muslim yang terkait dengan manajemen pendidikan.
3.      Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam.
4.      Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam.
5.      Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan.[4]
Karakteristik manajemen pendidikan Islam bersifat holistik, arinya setrategi pengelolaan pendidikan Islam dilakukan dengan memeadukan sumber sumber belajar dan mempertimbangkan keterlibatan budaya manusianya, baik budaya yang bersifat politis, ekonomis, intelektual, maupun teologis.[5]
Kaidah-kaidah umum manajemen pendidikan tersebut misalnya pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua, kepemimpinan yang demokratis dan profesional, dan team work yang kompak dan transparan dan lain sebagainya.[6] Karena masih banyak lagi kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum yang belum diungkapkan seperti evaluasi dan lain-lain.
Bahan nomor 1 sampai 4 mencerminkan ciri khas Islam pada bangunan manajemen pendidikan Islam, sedangkan bahan nomor 5 sebagai tambahan yang bersifat umum tetapi karena bersifat general maka bisa dipakai dalam membantu merumuskan bangunan manajemen pendidikan Islam, dan ini pun setelah diseleksi berdasarkan nilai-nilai Islam dan realitas yang dihadapi lembaga pendidikan Islam. Bahan yang nomor 5 tersebut dapat digunakan sebagai pengembangan manajemen pendidikan Islam.
Teks-teks wahyu sebagai sandaran teologis; Perkataan-perkataan para sahabat Nabi, ulama dan cendikiawan Muslim sebagai sandaran rasional, realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam serta kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam sebagai sandaran empiris, sedangkan ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan sebagai sandaran teoritis. Jadi bangunan manajemen pendidikan Islam ini diletakkan di atas empat sandaran yaitu sandaran teologis, rasional, empiris, dan teoritis.
Sandaran teologis akan berdampak pada keyakinan adanya kebenaran pesan-pesan wahyu karena berasal dari Tuhan, sandaran rasional menimbulkan keyakinan kebenaran berdasarkan pertimbangan akal-pikiran, sandaran empiris menimbulkan keyakinan adanya  kebenaran berdasarkan data-data  riil dan akurat, sedangkan sandaran teoritis menimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan akal pikiran dan data sekaligus dan telah dicobakan berkali-kali dalam pengelolaan pendidikan.
Di sisi lain, menurut Muhaimin, pengembangan manajemen pendidikan Islam dapat bertolak dari dunia empiris, sebagaimana terwujud dalam fenomena praktik dan operasional manajemen pendidikan pada lima jenis lembaga pendidikan Islam. Melalui penggalian terhadap fenomena tersebut dan dianalisis secara kritis, serta didiskusikan dengan teori-teori yang berkembang dalam manajemen pendidikan pada umumnya, maka akan dapat ditarik dan ditemukan konstruk teoritisnya, untuk selanjutnya dikonsultasikan kepada ajaran dan nilai mendasar yang terkandung dalam wahyu, yang dibangun dari telaah tematik terhadap wahyu tersebut. Dari situ akan melahirkan konsep dan teori manajemen yang berperspektif Islam.[7]
Secara materi (mâddah), sebenarnya banyak sekali bahan-bahan keilmuan yang berserakan dalam berbagai bidang keilmuan termasuk bahan-bahan manajemen pendidikan Islam meskipun masih merupakan prinsip-prinsip dasar baik berupa  ayat-ayat al-Qur’an, hadits Nabi, aqwâl para sahabat Nabi, aqwâl ulama maupun cendikiawan Muslim. Di samping itu, perkembangan lembaga pendidikan Islam maupun budaya dari komunitas (pimpinan dan pegawai) yang ada di lembaga pendidikan Islam juga dapat dijadikan bahan. Kemudian didukung kaidah-kaidah manajemen pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan para peramu atau pengracik bahan-bahan tersebut menjadi formula-formula teoritis yang kemudian bisa diaplikasikan, kemudian jika berhasil dengan baik, langkah berikutnya adalah disosialisasikan dan dipublikasikan pada masyarakat luas agar cepat menyebar pada mereka.
Selanjutnya, perlu dikenali dahulu posisi dan fungsi bahan-bahan keilmuan manajemen pendidikan Islam tersebut untuk memudahkan pemahaman bagaimana mekanisme membangun konsep-konsep teoritis tentang manajemen pendidikan Islam tersebut yaitu:
1.      Teks-teks wahyu baik al-Qur’an maupun hadits shahih sebagai pengendali terhadap bangunan rumusan kaidah-kaidah teoritis manajemen pendidikan Islam.
2.      Aqwâl (perkataan-perkataan) para sahabat Nabi, ulama dan cendikiawan Muslim sebagai pijakan logis-argumentatif dalam menjelaskan kaidah-kaidah teoritis manajemen pendidikan Islam secara rasional.
3.      Perkembangan lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam mendasari perumusan kaidah-kaidah teoritis manajemen pendidikan Islam.
4.      Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) dalam lembaga pendidikan Islam sebagai pijakan empiris dalam merumuskan kemungkinan strategi yang khas dalam me-manage lembaga pendidikan Islam.
5.      Ketentuan kaidah-kaidah menejemen pendidikan sebagai pijakan teoritis dalam me-manage lembaga pendidikan Islam, tetapi juga dikritisi untuk disesuaikan dengan kondisi budaya yang terjadi dalam lembaga pendidikan Islam jika terdapat ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip yang tidak relevan.
Mekanisme demikian ini mempertegas sikap bahwa dalam wilayah keilmuan sekalipun, Islam melalui wahyu hadir untuk memberikan inspirasi-kreatif dalam membangun konsep ilmiah, sedangkan rinciannya secara detail diserahkan pada para ahli pendidikan Islam berdasarkan inspirasi-kreatif dari wahyu itu. Tetapi dalam pembahasan ini, juga bersikap adaptif-selektif terhadap kaidah-kaidah manajemen pendidikan yang terdapat di berbagai literatur dan dipengaruhi oleh pemikiran dan  pengalaman orang-orang Barat. Sikap adaptif ini didasarkan pada pemikiran bahwa secara umum kaidah-kaidah manajemen pendidikan itu bersifat general atau universal yang juga dapat diterapkan dalam me-manage lembaga pendidikan Islam. Hanya saja, mungkin ada kaidah-kaidah tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang didasarkan wahyu tersebut ataupun realitas yang dihadapi lembaga pendidikan Islam lantaran faktor budaya tertentu yang unik dan khas sehingga dibutuhkan sikap selektif dengan mengkritisi kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum itu, kemudian diganti atau disempurnakan.[8]
Kalau sebenarnya kita berstudi tour ke dunia tazkiyah atau tasawuf, maka di sana terdapat hal yang mirip dengan fungsi manajemen. Jadi kalau mau menerapkan ilmu tasawuf atau tazkiyah maka secara tidak langsung kita telah menerapkan manajemen. Penjabarannya adalah sebagai berikut: pertama, orang yang masuk ke dunia tazkiyah tersebut dimulai dengan niat. Niat juga merupakan awal dari tindakan manusia atau orang tersebut. Maka niat itu sama halnya dengan planning. Niat di sini bukan hanya lintasan yang ada dalam hati, akan tetapi niat adalah sudah mempunyai gambaran walaupun itu hal yang mustahil dan akan sungguh-sungguh untuk melaksanakannya.
Kedua, adalah mujahadah, dalam tahapan ini seseorang berusaha sungguh-sungguh untuk mewujudkan niat serta istiqamah atau konsisten dalam niat tersebut dan berusaha mewujudkannya sekuat tenaga. Maka hal ini sama dengan organizing dan actuating. Ketiga, adalah muhasabah yaitu melakukan kontrol atau evaluasi diri terhadap sesuatu yang telah dilakukan atau keberhasilan niat. Maka hal ini identik dengan controlling. Maka sebenarnya umat Islam itu telah melakukan kegiatan manajemen dalam diri mereka sendiri, namun mereka tidak menyadarinya.
Menurut pemikiran penulis, manajemen pendidikan Islam dapat dibangun dengan menggunakan pembacaan ayat kauniyah dan qauliyah. Kemudian hasilnya dikonsultasikan dan di-break down ke dalam kegiatan eksperimen yang pada gilirannya melahirkan teori atau ilmu manajemen pendidikan Islam. Operasionalnya cara mengkonstruk manajemen pendidikan Islam bisa dilakukan dengan cara: pertama, cara deduksi, yakni dimulai dari teks wahyu atau sabda rasul (hadits) kemudian ditafsirkan secara kontekstual, dari sini muncul teori manajemen pendidikan Islam pada tingkat filsafat, teori itu dieksperimenkan, maka selanjutnya muncul teori manajemen pendidikan Islam tingkat ilmu. Apabila hal tersebut dioperasionalkan, maka dapat diperoleh kaidah praktis manajemen pendidikan Islam. Kedua, cara induksi konsultasi, dengan cara seseorang mengambil teori manajemen pendidikan yang sudah ada, kemudian dikonsultasikan dengan wahyu dan kultur, yang tidak sekedar bersifat justifikasi, jika tidak berlawanan, maka teori tersebut didaftarkan di dalam khazanah ilmu manajemen pendidikan Islam
Selanjutnya penerapan manajemen pendidikan Islam menghadapi berbagai kendala/hambatan baik yang bersifat politis, ekonomik-finansial, intelektual maupun dakwah. Hambatan-hambatan tersebut dapat dirinci secara detail sebagai berikut:
1.      Ideologi, Politik dan Tekanan-tekanan (Pressure) Kelompok-kelompok Kepentingan.
Dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama yang berstatus negeri acapkali terjadi pertentangan ideologi dari organisasi sosial keagamaan utamanya Muhammadiyah dan NU maupun organisasi kemahasiswaan terutama antara HMI dengan PMII, HMI dengan IMM atau IMM dengan PMII. Lantaran pertentanngan-pertentangan ini, akhirnya politik kepentingan  memasuki arena lembaga pendidikan dengan memberikan tekanan-tekanan tertentu.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, Yahya Umar pernah mencoba mengamati dan menyelami kehidupan kampus UIN, IAIN maupun STAIN seluruh Indonesia, akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan yang singkat tetapi penuh makna bahwa di kalangan PTAIN tidak ada civitas akademika, sebaliknya yang ada justru civitas politika. Kesimpulan ini tampaknya memang benar karena nuansa politik di kalangan dosen, mahasiswa bahkan karyawan sangat dominan, mengalahkan nuansa akademiknya sehingga kegiatan mereka lebih mengarah pada gerakan-gerakan politik dan jarang mengarah pada pemberdayaan intelektual.
Nuansa politik ini lebih terasa lagi pada saat menjelang dan pasca pemilihan rektor, dekan maupun ketua. Akibatnya pertikaian antar dosen, antar karyawan, antar mahasiswa terus berlangsung. Hal ini tentu saja menghambat kerja manajer (rektor, dekan atau ketua) dalam melaksanakan dan mensukseskan program-programnya. Sufyarman  dalam bukunya menulis, ”Kelompok kepentingan hadir dalam percaturan pembuatan kebijaksanaan untuk memperjuangkan kepentingannya dalam kebijaksanaan dalam skala sempit dan spesifik."[9] Akibatnya pimpinan tidak bisa bersifat lugas, mandiri dan profesional. Tindakan pimpinan dalam mengambil keputusan seringkali dibayang-bayangi oleh intervensi kepentingan kelompoknya. Hal ini dilakukan pimpinan baik atas kesadaran sendiri maupun tekanan dari orang-orang di sekelilingnya yang seideologi, sealiran maupun sekelompok.
2.   Kondisi Sosio Ekonomik Masyarakat dan Animo Finansial Lembaga.
Masyarakat santri di Indonesia secara sosio-ekonomik rata-rata dalam kategori kelas menengah kebawah. Ekonomi orang tua siswa lemah, ekonomi karyawan, pengajar, dan bahkan pimpinannya juga lemah. Ini merupakan kendala serius bagi lembaga pendidikan Islam untuk memacu kemajuan yang signifikan. Kepala madrasah tidak dapat melakukan manajemen dengan baik apabila kondisi ekonomi keluarganya tidak karuan Guru mempunyai tugas yang berat yaitu ujung tombak pendidikan.  Di samping itu juga mempunyai kedudukan yang tinggi, bahkan Ahmad Tafsir mengemukakan " begitu tingginya kedudukan guru dalam pandangan Islam yang setingkat dengan kedudukan Nabi dan rasul.[10] Demikian juga karyawan  sulit dapat bekerja serius ketika dibelit oleh persoalan ekonomi. Sedangkan kelemahan ekonomi orang tua murid senantiasa berdampak langsung terhadap minimnya kesejahteraan pegawai apalagi untuk pengembangan fisik.
3.  Komposisi Status Kelembagaan dan Diskriminasi Kebijakan Pemerintah
Mayoritas lembaga pendidikan Islam berstatus swasta yang bersumber dari swadaya masyarakat santri yang kondisi ekonominya dalam level kelas menengah ke bawah. Komposisi ini paling jelas terletak pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah terutama jika dibanding dengan Sekolah Dasar. Data statistik 2005/2006 menyebutkan ada 21.042 (93.1%) Madrasah Ibtidaiyah Swasta, sedang Madrasah Ibtidaiyah Negeri hanya 1.568 (6.9%). Keadaan ini berbanding 180 derajat terbalik jika dibanding dengan Sekolah Dasar sebab Sekolah Dasar Negeri mencapai 137.673 (92.87%), sedang Sekolah Dasar Swasta hanya 10.569 (7.13%). Pada tingkat Tsanawiyah yang berstatus Madrasah Tsanawiyah Negeri hanya 1.264 (10.1%) sedang yang swasta mencapai 11.234 (89.9%). Hal ini berbanding jauh dengan SMP yang berstatus negeri masih mencapai 12.951 (54.30%), sedang swasta ada 10.902 (45.70%). Demikian juga pada Madrasah Aliyah Negeri hanya 642 (13.1%) sedang Madrasah Aliyah Swasta mencapai 4.276 (86.9%). Sementara itu SMA Negeri masih mencapai 3.940 (42.29%) sedang SMA Swasta ada 5.377 (57.71%).[11]
Perbedaan ini memiliki implikasi yang besar sekali terhadap keadaan keuangan lembaga. Bagi Madrasah Ibtidaiyah, mengingat 93.1% swasta itu sehingga selalu berhadapan dengan kesulitan keuangan. Minimnya keuangan Madrasah Ibtidaiyah itu menyebabkan posisi lembaga pendidikan tersebut selalu terbelakang dan sulit mengalami kemajuan sebab memajukan madrasah sebagaimana memajukan lembaga pendidkan lainnya, sangat dibutuhkan potensi keuangan yang memadai. Semua peningkatan komponen lembaga pendidikan ini membutuhkan biaya yang tidak kecil, dan pembiayaan ini menentukan apakah madrasah ini segera bisa ditingkatkan atau dibiarkan dalam keadaan yang memprihatinkan.
4.    Keadaan Potensi Intelektual Siswa/Mahasiswa
Di samping secara ekonomi, siswa/mahasiswa dalam lembaga pendidikan Islam dalam kategori kelas menengah kebawah, secara intelektual, potensi mereka juga lemah. Rata-rata siswa/mahasiswa memasuki lembaga pendidikan Islam baik di madrasah maupun perguruan tinggi Islam karena merasa bahwa memasuki lembaga pendidikan umum yang maju terutama yang berstatus negeri tidak mungkin diterima. Sebagian dari mereka telah gagal di lembaga pendidikan umum negeri kemudian memasuki lembaga pendidikan Islam. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam merupakan tempat pelarian siswa/mahasiswa yang gagal memasuki lembaga pendidikan umum negeri, atau karena menyadari kemampuannya rendah dan mungkin amat rendah sehingga sengaja tidak pernah mendaftar di lembaga pendidikan umum negeri.
Keadaan ini menunjukkan adanya unsur keterpaksaan, daripada tidak sekolah/kuliah masih lebih baik memasuki lembaga pendidikan Islam. Kalaulah bukan keterpaksaan setidaknya lembaga pendidikan Islam bukan sebagai pilihan utama bagi siswa/mahasiswa. Kondisi psikologis ini tidak mampu membangkitkan gairah belajar guna mengejar penguasaan pengetahuan baik yang difasilitasi lembaga maupun apalagi atas inisiatif sendiri.
5.   Adanya Motif Dakwah pada Pendirian Lembaga Pendidikan Islam.
Keberadaan lembaga pendidikan Islam kebanyakan berangkat dari bawah, dari tokoh-tokoh agama yang kemudian didukung oleh masyarakat sekitar. Mereka mendirikan lembaga pendidikan tersebut didasari motif dakwah, upaya sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran Islam ke tengah-tengah masyarakat. Oleh karena motif dakwah tersebut, maka ada konsekuensi-konsekuensi yang menjadi akibat. Misalnya lembaga tersebut didirikan asal-asalan dan tidak dilakukan perencanaan yang matang terhadap masing-masing komponennya, seperti dakwah yang senantiasa berangkat dari bawah, lalu menggunakan pendekatan pahala dengan konsep lillahi ta'ala sehingga kesejahteraan pegawai diabaikan, dan menerima semua pendaftar (tanpa seleksi) dengan dasar pemikiran bahwa siswa/mahasiswa mau belajar saja mengapa harus ditolak, sikap menolak orang yang mau belajar itu tidak baik. M. Amin Abdullah menyatakan bahwa studi Islam di IAIN dan PTAIS secara umum agaknya masih lebih banyak terbebani misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, apologis, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, historis-empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.[12]
Demikianlah lima macam hambatan  yang mewarnai keberlangsungan lembaga pendidikan Islam. Selain  itu, tentu masih terdapat hambatan-hambatan lainnya dalam skala yang lebih kecil tetapi tidak bisa diremehkan begitu saja. Hambatan-hambatan tersebut  selama  ini yang dihadapi manajemen pendidikan Islam, sehingga cukup mempersulit penyelesainnya meskipun masih ada jalan keluar yang strategis.

BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Manajemen pendidikan Islam mencakup objek bahasan yang cukup komplek, yang dapat dipertimbangkan atau dijadikan bahan dalam merumuskan kaidah-kaidahnya. Masing-masing bahan itu diintegrasikan untuk mewujudkan manajemen pendidikan yang bercirikhas Islam. Istilah Islam yang melekat pada kata manajemen bisa berupa Islam wahyu dan Islam budaya. Islam wahyu meliputi al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, baik hadits Nabawi maupun hadits Qudsi. Sedangkan Islam budaya meliputi ungkapan sahabat Nabi, pemahaman ulama, pemahaman cendekiawan Muslim dan budaya umat Islam. Kata Islam yang menjadi identitas manajemen pendidikan ini dimaksudkan mencakup makna keduanya, yakni Islam wahyu dan Islam budaya.
Oleh karena itu, dalam membahas manajemen pendidikan Islam senantiasa melibatkan wahyu dan budaya kaum Muslimin ditambah kaidah-kaidah manajemen pendidikan secara umum.


DAFTAR RUJUKAN


Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Muhaimin, Suti'ah dan Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Jakarta: Kencana, 2009.

Mulyasa, E., Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategis dan Implementasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.

Mulyasa, E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

Mulyasa, E., Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007.

Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2008.

Sufyarman, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Bandung: Alfabeta,  2003.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1991.

Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, Manajemen, diakses dari http://www.ririsatria.net/category/manajemen-organisasi, tanggal 24 Oktober 2011.



[1] Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, Manajemen, diakses dari http://www.ririsatria.net/category/manajemen-organisasi, tanggal 24 Oktober 2011
[2] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategis dan Implementasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 50.
[3] E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), 90.
[4] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), 11-12.
[5] Ibid, hal 28-29
[6] E.Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007), 36-37.
[7] Muhaimin, Suti'ah dan Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, (Jakarta: Kencana, 2009), 13.
[8] Qomar, Manajemen Pendidikan…, 31.
[9] Sufyarman, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,  2003), 75
[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1991), 76.
[11] Qomar, Manajemen Pendidikan…, 17
[12] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 105-106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar