Senin, 02 Desember 2013

POTENSI OTAK

BAGAIMANA MELEJITKAN POTENSI OTAK
Oleh: Aminatul Zahroh, S.Pd.I., M.Pd.I.

Kata Kunci: Koneksi, Sel Otak, dan Otak.

Otak merupakan benda kecil yang tak lebih dari 1.5 kg, dengan 100 miliar sel saraf aktif (neuron). Jumlah ini hampir setara dengan jumlah bintang di Galaksi Bima Sakti. Dengannya anda berpikir, berbicara, melihat, dan mencipta. Disinilah tempat kecerdasan Anda. Disini pula bersemayam kecerdasan yang lebih tinggi, yaitu intuisi. Intuisi yaitu kemampuan menerima informasi yang tidak dapat diterima oleh panca indra Anda.
Kekuatan otak tidak ditentukan oleh jumlah sel otak, tetapi oleh jumlah hubungan yang terjadi antarsel tersebut. Sel-sel otak membentuk koneksi atau hubungan dengan kecepatan 3 miliar per detik. Koneksi tersebut adalah kunci kekuatan otak. Kekuatan otak tidak ditentukan oleh jumlah sel otak, tetapi oleh jumlah hubungan yang terjadi antarsel tersebut. Koneksi antarsel adalah kunci kekuatan otak.
Ketakutan adalah pembunuh sel-sel otak. Koneksi antarsel akan berhenti bila Anda dalam suasana cemas, khawatir, dan takut. Semua ini memang manusiawi, tapi cobalah lawan kecemasan, kekhawatiran, dan rasa takut itu dengan membuat tabel positif negatif. Intinya adalah fokuskan pikiran atau konsentrasi pada hal-hal negatif. Lalu, fokuskan pikiran untuk mengubah hal-hal negatif itu menjadi positif.
Tidak sedikit orang yang cenderung hanya mengandalkan satu belahan otak saja. Jika demikian, apa yang terjadi? Tentu saja otak tidak bekerja dengan optimal dan tidak menghasilkan sesuatu yang cemerlang. Kita lebih cenderung lebih mementingkan analisis, logika, dan matematika serta jarang sekali memperhatikan atau mengoptimalkan fungsi belahan otak kanan.
Raymond Dart mengatakan bahwa kalu kita sering menggunakan dua anggota tubuh secara seimbang, berarti kita juga tengah menyeimbangkan penggunaan kedua belah otak. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali hanya melihat tanpa memperhatikan. Perhatian kepada dunia sekitar Anda akan membantu mengembangkan kemampuan otak Anda, sehingga hal-hal yang tampak biasa-biasa saja dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang luar biasa hebat.

STUDI ISLAM



METODE STUDI ISLAM RICHARD MARTIN

Oleh: Aminatul Zahroh, S.P.d.I., M.Pd.I.


Metodologi berbicara tentang bagaimana mengkaji data atau membahas bagaimana mengkajinya. Dalam bukunya Richard Martin yang bertema Islam dan Studi Agama  dapat penulis simpulkan bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji hal itu yaitu pendekatan “fenomenologi” dan pendekatan “personalis atau dialogis”. Perang Dunia I mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk melakukan studi agma-agama. Gagasan evolusi budaya dan paham tentang kemuajuan manusia mengalami gonangan besar. Akibtnya, ada kebutuhan yang dirasa untuk menemukan pendekatan yang membuka ekspresi otentik agama-agama lain untuk nberbicara tanpa pengaruh nilai-nilai personal para sajana. Apa yang dibutuhkan adalah penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia sehingga muncul madzhab yang dikenal sebagai fenomenologi agama.
Fenomenologi agama berusaha diterapkan pada manifestasi-manifestasi agama melalui metode deskripsi murni dimana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran data agama di bawah penyelidikan yang secara sengaja ditangguhkan. Objek ditangkap esensinya yang terleak di belakang fenomena keagamaan. Jika para Sarjana abad 19 melahirkan cara-cara mengukur agama dengan menghindari sesuatu yang supernatural, fenomenologi abad 20 ingin menundukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam, bagaimanapun luar biasanya agama tidak dipandang sebagai suatu tahapan dalam sejarah evolusi tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia.
Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan terbaru memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti menghadapi objek. Metode historiko filologi lama mencari niat historis penulis teks dengan analisa tekstual, dengan kata lain mencari makna asli sehingga tujuan penjelasan terhadap teks atau ritual terlalu strukturalis, bukan makna historis, diakronik sebagai makna holistik sinkronik.
Fenomenologi juga sangat membutuhkan pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan. Dalam studi budaya atau studi manusia sebagai objeknya adalah seluruh perbuatan dan tindakan manusia yang secara historis melibatkan bentuk-bentuk ekspresi artistik, intelektual, sosial, ekonomi, agama, politik dan ilmiah.  Tujuan memahami agama orang lain tidak sekedar pengetahuan lintas budaya tetapi komunikasi lintas budaya juga ditanamkan bersama dengan tujuan teologis pemahaman universal manusia.
 Pendekatan lain yang digunakan Richard Martin adalah pendekatan personalis atau dialogis, yaitu pendekatan yang melibatkan dialog dalam rangka mencapai pemahaman lebih baik satu dengan yang lainnya dan utamanya adalah atas dasar kemanusiaan pada umumnya. Pendekatan personalis atau dialogis sesungguhnya dicurigai, jika tidak antagonistic terhadap keasyikan dengan metodologi, karena banyak program analisis menghendaki sikap berjarak antara peneliti dan yang diteliti.
Dalam hal ini, patut dicatat bahwa kebangkitan baru dalam studi tentang agama-agama oleh antropolog budaya, sekalipun belum diakui secara eksplisit dalam karya-karya sejarawan agama-agama, bagaimanapun telah memperkuat agama sebagai satu bidang kajian. Islam tidak murni fenomena Arab atau Timur Tengah tetapi Islam dapat dijumpai di Asia Tenggara, Cina, Uni Soviet, Afrika Selatan, dan sebagian lain dunia dengan kekuatannya yang mengesankan. Proses sosialisasi dan simbolisasi dimana Islam diabadikan dalam lingkungan lokal, berdampingan dengan Hinduisme, Kong Hucu, Kristen, dan ideologi-ideologi sekuler, membuat studi tentang Islam sebagai aspek penting dalam studi agama-agama secara menyeluruh.   





STUDI ISLAM

METODE STUDI ISLAM CHARLES  J. ADAMS
Oleh: Aminatul Zahroh, S.Pd.I., M.Pd.I.

Charles J. Adams dikenal dengan sebutan C. Adams memberikan beberapa tawaran metodologis dalam mengkaji agama yaitu: Pendekatan Normatif atau agamis, Pendekatan Sejarah, pendekatan Filologis, Pendekatan Sosial Ilmiah,  dan pendekatan Fenomenologi. Menurut C. Adams, melalui pendekatan Normatif dia menyatakan bahwa Islam adalah sebuah perdaban dan arahan hidup (a civilisation and an orientation to the world) Islam berdasarkan pada komitmen keagamaan (religious commitment) dan Islam merupakan pengalaman keagamaan (religious experience).
Sebagai peradaban dan arahan hidup, definisi ini memiliki maksud bahwa Islam bukanlah agama yang sulit untuk didefinisikan karena sebagai suatu struktur Islam memiliki arahan hidup yang jelas, tegas dan sistematis apalagi kalau arahan hidup itu dipahami dalam konteks Tawhid dan Syari’ah. Adapun untuk komitmen keagamaan bersifat praktis, ini artinya seseorang yang berkomitmen terhadap agamanya biasanya tidak terlalu risau dengan pengertian agamanya. Ia hanya akan menjalankan perintah agamanya tanpa harus dipusingkan dengan apa makna dari perintah yang sedang ia lakukan. Sedangkan untuk pengalaman keagamaan biasanya terkait dengan Tasawuf, sebuah pengalaman spiritual yang seringkali banyak mempengaruhi cara pandang sang Sufi terhadap pengertian Islam, Syari’ah dan pengertian aspek-aspek tertentu dalam agama ini.
Melalui pendekatan kedua, yaitu pendekatan sejarah C.Adams menyatakan dari segi perspektif sejarah menegaskan bahwa sebagai agama, Islam dipahami sebagai sesuatu yang terus berubah, berkembang (evolve) dan sebagai respon oleh masyarakat Muslim yang mencerminkan visi mereka tentang realitas dan pemahaman mereka tentang makna kehidupan. Definisi ini mencerminkan bahwa Islam sangat lentur dan dapat ditempatkan dalam “perspektif” dan ini dapat mendorong kaum muslim untuk melakukan interpretasi terus-menerus terhadap Islam sebagai fenomena sosial yang terus berubah. Jika Islam dipandang sebagai sesuatu yang terus berubah, maka visi, pandangan dan pemahaman kita tentang Islam secara otomatis akan terus berubah, berkembang dan maju dan hal itu akan dapat melahirkan ide-ide yang segar tentang agama.
Pada pendekatan kedua ini C. Adams hanya memandang Islam dari sisi historis yang sifatnya berubah-rubah. Padahal Islam juga  terdiri dari sesuatu yang permanen seperti halnya akidah dan syari’ah. Definisi yang ketiga yaitu Islam dilihat melalui pendekatan filologi. Dari sini Islam dikatakan mempunyai dua sisi, yaitu tradisi (aspek sejarah) dan kepercayaan (aspek internal). Pada pendekatan ini Islam dipandang secara komphrehensif bahwa melihat agama tidak hanya sebagai produk dari sebuah proses sejarah saja dan melupakan aspek internal yang dalam Islam bersumber dari wahyu dan bersifat permanen, tetapi kedua-duanya harus dilihat (tradisi dan kepercayaan).
Definisi yang keempat Islam dipandang dari sisi pendekatan Sosial Ilmiah. Dari sudut pandang social ilmiah, Islam dinilai sebagai proses berkelanjutan dalam hal pengalaman (experience) beragama dan ekspresinya. Disini C. Adams tidak memberikan penjelasan yang konkrit dengan pendekatan-pendekatan yang ditawarkannya. Definisi yang kelima adalah Islam dipandang dari pendekatan Fenomenologi. Pendekatan ini berawal dari metode scientific of religion yang mengalami perkembangan yang dimaksudkan sebagai upaya atau metode untuk mendekati agama secara ilmiah dan rasional.  Keseluruhan ajaran agama berikut ritual-ritual ia coba jabarkan secara ilmiah dan rasional. Metode scientifik ini kemudian digunakan dan dikembangkan oleh banyak ahli kajian sosiologi dan agama. Intinya adalah bahwa agama melalui fenomena-fenomena yang timbul harus dijelaskan secara ilmiah dan rasional. Mengenai bagaimana penjelasan ilmiah dan rasional itu, sangat tergantung pada selera dan rasa masing-masing peneliti.
Ini pada satu sisi memberikan keuntungan bagi para peneliti untuk menggunakan metodenya masing-masing dan memahai fenomena agama secara rasional dan ilmiah sesuai dengan pemahaman dan interpretasinya. Disebut Ilmiah menurut C. Adams jika metode itu sudah melampaui titik kebiasaan dan mencapai titik universal yang secara umum sudah dapat diakui kebenarannya. Islam adalah interaksi. Iinteraksi sosial antara orang dengan orang dan interaksi spiritual antara orang dengan Tuhannya. Ini berdasarkan pada penjelasan Nabi Muhammad saw, bahwa “al-dinu mu’amalatun agama adalah interaksi.
Definisi ini tidak universal karena dunia secara keseluruhan belum mengakui kebenarannya. Namun paling tidak definisi itu menjelaskan bahwa Islam sebagai agama memiliki dua unsur penting, yaitu unsur sakral dan profan. Unsur sakral terwakili dalam interaksi spiritual sementara unsur profan terwakili dalam interakti sosial. Kedua unsur Islam ini yang juga dimiliki oleh agama-agama lain telah menjadi perhatian para pengamat dan teoretis ahli agama sepanjang era modern mulai dari Emile Durkheim (tokoh reduksionis) hingga Mircea Eliade.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa para orientalis cenderung melihat sesuatu dari kacamata rasional, tetapi dalam perkembangan mereka juga mengakui adanya kekuatan supernatural meskipun tidak secara langsung. Hal ini yang seringkali membuat pernyataan mereka berubah-ubah.
                                                                       

                                                                             












Rabu, 27 November 2013

PENGEMBANGAN KURIKULUM


A.      HAKIKAT PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL
Kurikulum muatan lokal adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.[1] Dengan demikian kita harus benar-benar memperhatikan karakteristik lingkungan daerah dan juga kebutuhan daerah tersebut dalam proses perencaaan kurikulum.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler uantuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah masing-masing. Substansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan.
Mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk penyelenggaraan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang sifatnya desentralisasi, sebagai upaya agar penyelenggaraan pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya terhadap keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.  Mata pelajaran muatan lokal adalah mata pelajaran yang bisa berdiri sendiri atau menjadi bahan kajian suatu mata pelajaran yang telah ada.[2] Sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, muatan lokal mempunyai alokasi waktu tersendiri. Tetapi, sebagai bahan kajian mata pelajaran, muatan lokal bisa sebagai tambahan bahan kajian yang telah ada dengan cara mengintegrasikannya ke dalam mata pelajaran yang relevan. Oleh karena itu, muatan lokal bisa mempunyai alokasi waktu tersendiri dan bisa juga tidak.  
Pelaksanaan muatan lokal dimaksudkan untuk mempertahanakan kelestarian kebudayaan daerah, usaha pembaruan serta untuk mengembangkan sumber daya manusia yang ada di daerah itu sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah.
Lebih lanjut dikemukakan, bahwa secara khusus pengajaran muatan lokal bertujuan agar peserta didik:[3]
1.    Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya.
2.    Memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi diri sendiri maupun lingkungan masyarakat pada umumnya.
3.    Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka menunjang pembangunaan nasional.
Dengan demikian kurikulum muatan lokal pada hakekatnya bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara peserta didik dengan lingkungannya.

B.       PROSEDUR PENGEMBANGAN KURIKULUM MUATAN LOKAL
Untuk memilih dan menentukan jenis-jenis mata pelajaran muatan lokal sebaiknya mempertimbangkan minat siswa, tenaga pengajar, sarana pendukung, dunia kerja, dan juga tokoh masyarakat.[4] Adapun dalam pengembangannya secara umum perlu mempertimbangkan:
1.    Tujuan (untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah)
2.    Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan
3. Substansi yang akan dikembangkan (materinya tidak cocok jika digabungkan dengan mata pelajaran lain sehingga harus dikembangkan menjadi mata pelajaran sendiri)
4.    Merupakan mata pelajaran wajib yang tercantum dalam struktur kurikulum
5.    Bentuk penilaiannya kuantitatif
6.    Setiap sekolah dapat melaksanakan mulok lebih dari satu jenis dalam tiap semester.
7.  Substansi dapat berupa program keterampilan produk dan jasa, seperti: Bidang Budi daya: tanaman hias, tanaman obat, sayur dll; Bidang Pengolahan: pembuatan abon, kerupuk, ikan asin, bakso dll; Bidang TIK: web desain, guide, akuntansi computer, kewirausahaan dll
8.    Sekolah harus menyusun SK, KD, dan silabus untuk masing-masing mulok yang diselenggarakan sekolah
9.    Pembelajarannya dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau tenaga ahli dari luar sekolah yang relevan dengan substansi mulok.
Memang jika kita cermati pemberlakuan KTSP membawa implikasi bagi sekolah dalam melaksanakan KBM disejumlah mata pelajaran, dimana hampir semua mata pelajaran sudah memiliki Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk masing-masing pelajaran. Sedangkan untuk mata pelajaran Muatan Lokal yang merupakan kegiatan kurikuler yang harus diajarkan di kelas belum mempunyai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
 Hal tersebut membuat kendala bagi sekolah untuk menerapkan mata pelajaran Muatan Lokal. Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran Muatan Lokal bukanlah pekerjaan yang mudah, karena harus dipersiapkan berbagai hal untuk dapat mengembangkan mata pelajaran tersebut. Dalam hal ini ada dua pola pengembangan mata pelajaran Muatan Lokal dalam rangka menghadapi pelaksanaan KTSP, yaitu:
1.    Apabila mata pelajaran muatan lokal yang ada di sekolah masih layak dan relevan untuk diterapkan di sekolah, maka muatan lokal yang sudah ada itu yang dipakai yang kemudian disusun Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasarnya.
2.    Bila mata pelajaran Muatan Lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka sekolah bisa menggunakan mata pelajaran Muatan Lokal dari sekolah lain atau tetap menggunakan mata pelajaran Muatan Lokal yang ditawarkan oleh Dinas atau mengembangkan muatan lokal yang lebih sesuai.
Proses pengembangan muatan lokal dalam KTSP melalui beberapa tahap yang ditangani oleh warga sekolah dan komite sekolah. Penanganan secara professional muatan lokal merupakan tanggung jawab pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu pihak sekolah dan kepala sekolah.[5] Jika pihak tersebut merasa  kurang mampu, maka bisa bekerja sama dengan unsur-unsur Depdiknas seperti Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di daerah, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), Perguruan Tinggi dan instansi/lembaga di luar Depdiknas, misalnya pemerintah Daerah/Bapeda, kementrian lain yang terkait, dunia usaha/industri, dan tokoh masyarakat. Adapun tahapan-tahapan yang digunakan dalam proses pengembangan muatan lokal dalam KTSP adalah sebagai berikut:
1.    Mengidentifikasi Keadaan dan Kebutuhan Daerah
Kegiatan ini dilakukan untuk menelaah dan mendata berbagai keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Data tersebut dapat diperoleh dari berbagai pihak yang terkait di daerah yang bersangkutan seperti Pemda/Bappeda, Instansi vertikal terkait, Perguruan Tinggi, dan dunia usaha/industri. Keadaan daerah seperti telah disebutkan di atas dapat ditinjau dari potensi daerah yang bersangkutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kekayaan alam[6]. Kebutuhan daerah dapat diketahui antara lain dari:
a.    Rencana pembangunan daerah bersangkutan termasuk prioritas pembangunan daerah, baik pembangunan jangka pendek, pembangunan jangka panjang, maupun pembangunan berkelanjutan (sustainable development);
b.    Pengembangan ketenagakerjaan termasuk jenis kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan;
c.    Aspirasi masyarakat mengenai pelestarian alam dan pengembangan daerahnya, serta konservasi alam dan pemberdayaannya.

2.    Menentukan Fungsi dan Susunan atau Komposisi Muatan Lokal
Berdasarkan kajian dari beberapa sumber seperti di atas dapat diperoleh berbagai jenis kebutuhan. Berbagai jenis kebutuhan ini dapat mencerminkan fungsi muatan lokal di daerah, antara lain untuk:
a.    Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah;
b.    Meningkatkan keterampilan di bidang pekerjaan tertentu;
c.    Meningkatkan kemampuan berwiraswasta;
d.   Meningkatkan penguasaan bahasa Inggris untuk keperluan sehari-hari.

3.    Mengidentifikasi Bahan Kajian Muatan Lokal
Kegiatan ini pada dasarnya untuk mendata dan mengkaji berbagai kemungkinan muatan lokal yang dapat diangkat sebagai bahan kajian sesuai dengan dengan keadaan dan kebutuhan sekolah.[7] Penentuan bahan kajian muatan lokal didasarkan pada kriteria berikut:
a.    Kesesuaian dengan tingkat perkembangan peserta didik;
b.    Kemampuan guru dan ketersediaan tenaga pendidik yang diperlukan;
c.    Tersedianya sarana dan prasarana
d.   Tidak bertentangan dengan agama dan nilai luhur bangsa
e.    Tidak menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan
f.     Kelayakan berkaitan dengan pelaksanaan di sekolah;
g.    Lain-lain yang dapat dikembangkan sendiri sesuai dengan kondisi dan situasi daerah.

4.    Menentukan Mata Pelajaran Muatan Lokal
Berdasarkan penentuan bahan kajian tersebut, kegiatan pembelajaran ini pada dasarnya dirancang agar bahan kajian muatan lokal dapat memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku kepada peserta didik agar mereka memiliki wawasan yang mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
Kegiatan ini berupa kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas, potensi daerah, dan prospek pengembangan daerah termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada.
Serangkaian kegiatan pembelajaran yang sudah ditentukan oleh sekolah dan komite sekolah kemudian ditetapkan oleh sekolah dan komite sekolah untuk dijadikan nama mata pelajaran muatan lokal. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.

5.    Mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta Silabus dengan mengacu pada Standar Isi yang ditetapkan BSNP.
a.    Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar adalah langkah awal dalam membuat mata pelajaran muatan lokal agar dapat dilaksanakan di sekolah. Adapun langkah-langkah dalam   mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar adalah sebagai berikut:
1.    Pengembangan Standar Kompetensi
Yaitu dengan menentukan kompetensi yang didasarkan pada materi sebagai basis pengetahuan.
2.    Pengembangan Kompetensi Dasar
Yaitu menentukan kompetensi yang harus dikuasai siswa. Penentuan ini dilakukan dengan melibatkan guru, ahli bidang kajian, ahli dari instansi lain yang sesuai.
b.    Pengembangan silabus secara umum mencakup:
                                     1.    Mengembangkan indikator
                                     2.    Mengidentifikasi materi pembelajaran
                                     3.    Mengembangkan kegiatan pembelajaran
                                     4.    Pengalokasian waktu
                                     5.    Pengembangan penilaian
                                     6.    Menentukan Sumber Belajar
Setelah silabus dibuat, maka diimplementasikan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dengan komponen:  a). Tujuan pembelajaran, b). Indikator, c). Materi Ajar/Pembelajaran, d). Kegiatan Pembelajaran, e) Metode Pengajaran, f). Sumber Belajar
Setelah proses penentuan mata pelajaran muatan lokal beserta penetuan SK, KD dan silabusnya sudah berhasil dilaksanakan maka tindakan selanjutnya adalah pengimplementasian. Untuk mengetahui seberapa tingkat keberhasilan dari implementasi tersebut dibutuhkan adanya penilain (evaluasi) dengan memperthatikan hal-hal berikut ini: 
a.    Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi.
b.    Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
c.    Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan siswa.
d.   Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.

C.  HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran muatan lokal adalah:[8]
a.       Pengorganisasian Bahan
1.    Bahan atau materi disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, baik perkembangan pengetahuan, cara berpikir, maupun perkembangan social emosionalnya.
2.    Memperhatikan kedekatan dengan peserta didik, baik secara fisik maupun psikis
3.    Memilih yang ada manfaat dan maknanya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
4.    Bersifat fleksibel bagi guru dalam memilih metode dan media pembelajaran
5.    Mengacu pada kompetensi dasar yang jelas
b.      Pengelolaan Guru
1.      Memperhatikan relevansi antara latar belakang pendidikan dengan pelajaran yang diajarkannya
2.      Diusahakan pernah mengikuti penataran, pelatihan atau kursus muatan lokal
c.       Pengelolaan Sarana Prasarana
1.      Memanfaatkan sumber daya yang terdapat di lingkungan sekolah secara optimal
2.      Diupayakan dapat dipenuhi oleh instansi terkait
d.      Kerja sama antar instansi, baik berupa:
1.      Pendanaan
2.      Penyediaan narasumber dan tenaga ahli
3.      Penyediaan tempat kegiatan belajar dan hal-hal yang menunjang keberhasilan pembelajaran muatan lokal.















[1] E.Mulyasa. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 273
[2] Ibid., 265
[3] E. Mulyasa. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan., 274
[4] Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana. Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 2008), 156
[5] Abdulloh Idi, Pengembangan Kurikulum., 269
[6] Nana Sujana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), 177.
[7] M. Ahmad, Pengembangan Kurikulum (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), 147
[8] E.Mulyasa. Kurikulum Tingkat., 282-283