PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN
NASIONAL
Author
By: Aminatul Zahroh, M.Pd.I
Year: Magister – IAIN Tulungagung 2013
Language: Ind
Konsep
Umum
Setiap negara
atau bangsa selalu menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita nasional bangsa
yang bersangkutan. Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu
negara berdasarkan sosio kultural, psikologis, ekonomis, dan politis.
Pendidikan tersebut ditujukan untuk membentuk ciri khusus atau watak bangsa
yang bersangkutan, yang sering juga disebut dengan kepribadian nasional.
Melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk mencapai
kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang kehidupannya, baik dalam bidang
ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan dalam bidang
kehidupan budaya lainnya.
Untuk mencapai
apa yang dicita-citakan oleh bangsa dalam rangka membangun sumber daya
manusianya diperlukan pendidikan yang berorientasi pada penanaman karakter,
jiwa dan watak peserta didik yang mencerminkan kepribadian bangsa yang luhur.
dalam rangka tersebut diperlukan alat ukur keberhasilan yang mengambarkan
sebuah pendidikan tersebut berjalan sesuai yang dicita-citakan, menurut garis
yang dicanangkan dan output yang diharapkan. Karena
pendidikan merupakan hak setiap manusia, termasuk hak mendapat pendidikan agama
Islam, oleh karena pengelola lembaga pendidikan wajib memberikan pendidikan
agama sesuai agama yang dianut siswa. Secara yuridis, ketentuan ini tertuangkan
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Bab V pasal 12 ayat 1 poin a yang menyatakan setiap peserta
didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Idealitas
pendidikan agama ini berlaku pada seluruh satuan pendidikan di Indonesia. Siswa muslim yang
berada di sekolah non muslim memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agama
Islam dan diajarkan oleh guru yang beragama Islam. Begitu juga semua siswa
yang beragama selain Islam. Meski secara
teoritis dan yuridis telah ditegaskan, namun pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
(PAI) di sekolah, terutama sekolah non muslim, masih banyak kendala dan problem
serius dan komplek, baik dari sisi pelaksanaan maupun metodologi pembelajaran.
Praktik
pemberian pendidikan agama Islam di sekolah non muslim cukup beragam bentuknya.
Ada sekolah non muslim yang mendatangkan guru agama Islam di sekolah untuk
memberikan pembelajaran agama Islam bagi siswa yang beragama Islam, ada juga
sekolah non muslim yang tidak mendatangkan guru agama Islam ke sekolah dengan
berbagai pertimbangan. Sebagian sekolah meminta siswa dan orangtuanya, pada
saat pendaftaran siswa baru, untuk mengisi form yang berisi, pendidikan agama diserahkan kepada keluarga atau ulama serta tidak akan
menuntut untuk guru agama Islam di sekolah. Selain itu,
model pembelajaran PAI pada sekolah non muslim memiliki karakteristik dan
keunikan tersendiri dibandingkan dengan pelaksanaan pendidikan agama Islam di
sekolah umum atau madrasah pada umumnya. Hal ini dipengaruhi kebijakan,
kurikulum, dan atmosfer ideologi sekolah. Posisi
ideologi selain sebagai tata pengatahuan mendalam, juga dapat dijadikan sebagai
pola gagasan khusus yang dinamis serta berfungsi sebagai pengarah tindakan
sosial. Oleh sebab itu, arah pengelolaan sekolah non muslim, sebagai lembaga
pendidikan berciri khas agama, cenderung mengacu pada system ideologi yang
telah menjadi sistem keyakinan. Kebijakan sekolah, model interaksi antar warga
sekolah, serta pembentukan lingkungan pendidikan dilakukan sesuai ideologi yang
telebur dalam visi dan misi sekolah.
Pembentukan
ideologi berbasis agama dalam lembaga pendidikan pun dapat terjadi dan menjadi
fenomena di sekolah berciri khas agama, termasuk sekolah non muslim. Fenomena
ini memang tidak terjadi di seluruh sekolah non muslim. Namun berdasarkan data
maupun fakta, masih saja ditemukan gejala dan fenomena yang menunjukkan adanya
kesenjangan antara teori, kebijakan dan praktik (gap of practice)
pelaksanaan PAI di sekolah non muslim. Kebijakan
formal pemerintah mewajibkan seluruh satuan pendidikan untuk memberikan
pendidikan agama sesuai agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama.
Tetapi dalam praktiknya, belum semua sekolah menjalankan kebijakan pendidikan
agama secara utuh, yang salah satu faktornya adalah adanya problem ideologis di
lembaga pendidikan. Terjadi tarik menarik antara kebijakan dengan ideologi yang
menjadi cirri khas sekolah.
Dinamika PAI di
sekolan non muslim cukup menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena ada masalah
akademik yang perlu dikaji lebih mendalam melalui pembahasan maupun penelitian
tentang pelaksanaan PAI di sekolah non muslim. Dalam makalah ini akan dibahas
tentang pendidikan agama dan keagamaan dalam produk kebijakan pemerintah yang
kemudian akan dianalisa tahap implementasi dalam dunia pendidikan di Indonesia
Dasar
Hukum dan Kebijakan Pemerintah dalam Pelaksanaan
Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan
1.
Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila sebagai dasar Negara seperti tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan kepribadian dan pandangan
hidup bangsa. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Disebutkan pada sila pertama Pancasila menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk
merealisasikan hal tersebut maka diperlukan adanya pendidikan Agama kepada
anak-anak, karena tanpa adanya pendidikan agama akan sulit untuk mewujudkan
Sila pertama dari Pancasila tersebut.
2.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945
Dalam Bab XI pasal 29 ayat (1) dan (2) disebutkan
: “(1):
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2):
“Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Kedua ayat
ini menyatakan bahwa bangsa Indoneia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa atau bangsa yang beragama.
Kemudian dalam Bab XIII pasal 31 disebutkan : “ayat
(1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, ayat (3): “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Dalam ayat
pertama pasal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan bangsa Indonesia
menghormati dan melindungi hak asasi individu yang berkedudukan sebagai warga
negara berhak mendapat pendidikan. Sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa
pemerintah dalam alam kemerdekaan akan mewujudkan kewajibannya melindungi hak
asasi warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan, termasuk pendidikan agama
dengan cara menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
3.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
Dalam Bab I pasal 1 ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Ayat (2): “Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas
Pasal 1 ayat (1) dan (2) dijelaskan tentang definisi dari pendidikan dan
pendidikan nasional. Bahwa pendidikan pada peserta didik tidak terlepas dari
proses membentuk spiritual keagamaan yang harus ditanamkan kepada generasi
bangsa untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan keagamaan yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah
atau masyarakat diatur dalam UU Sisdiknas pasal 29 ayat (1) sebagai
berikut:
Ayat
(1) “Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Tugas pemerintah untuk memperhatikan kebutuhan
pendidikan warga negaranya khususnya
pendidikan agama dan keagamaan adalah wajib hukumnya, karena merupakan
kebutuhan yang mendesak dalam membangun bangsa , yang dalam prakteknya
pendidikan keagamaan harus diajarkan pada semua jalur pendidikan, ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 29
ayat (3) UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003.
(3) “Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal.”
Oleh
karena itu pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik untuk
mendapatkannya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Pasal 12 ayat (1a) “Setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak :
mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama”.
Regulasi ini sangat strategis disamping sebagai
barometer keseriusan pemerintah juga dasar hukum yang legal bagi setiap
penyelenggara pendidikan baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat untuk
membekali peserta didik dengan materi pendidikan agama yang memadai dan juga
diajarkan oleh pendidik kompeten yang seagama. Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan
secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi
seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara, menyeluruh dalam arti
mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha
pembangunan nasional.
Dengan sifatnya yang menyeluruh, seperti dikemukakan
di atas, maka semua bentuk kegiatan pendidikan di Indonesia tercakup dalam
Sistem Pendidikan Nasional, termasuk pendidikan di madrasah dan pondok pesantren yang diselenggarakan atau
dibina oleh Kementerian Agama dan selama ini lebih dikenal sebagai lembaga
pendidikan agama dan keagamaan. Dengan masuknya madarasah dan pesantren ke
dalam kesatuan Sistem Pendidikan Nasional, mengharuskan dilakukannya penyesuaian-penyesuaian
dalam penyelenggaraan dan pembinaan madrasah dan pondok pesantren dengan
ketentuan dan pokok pikiran yang terdapat dalam UU Sisdiknas.
Di antara ketentuan tersebut adalah pasal 11 UU
Sisdiknas yang menetapkan bahwa Ayat (1): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setia warga
negara tanpa diskriminasi”. Ayat (2): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
4.
Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Diterbitkannya PP 55 2007, tidak lepas dari
perjalanan panjang pasang surut
keberpihakan kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Melihat jauh ke belakang secara
runtut, undang-undang sistem
pendidikan nasional (UU Sisdiknas) Nomor
2 Tahun 1989, memposisikan pendidikan keagamaan sebagai pendidikan luar sekolah
(PLS) sama dengan pendidikan
umum, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan. Konsekwensi logis dari
kebijakan itu, jelas menjadikan lembaga keagamaan tidak dapat perlakuan sejajar
dari pemerintah, terutama dalam hal hak untuk mendapatkan anggaran.
Kondisi itu berubah seiring disahkannya undang-undang
sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 20
tahun 2003. Amanat mendasar yang menjadi inti perubahan adalah isi pasal 15 UU
Sisdiknas yang menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, mengamanatkan
perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan. Karena mengingat pentingnya penjabaran lebih rinci, untuk
mempermudah pelaksanaan secara tekhnis
sebagai panduan di lapangan, maka tepatnya
pada tanggal 5 Oktober 2007, Produk Hukum yang berupa Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, ditetapkan oleh pemerintah yang dalam
pengelolaannya sesuai dengan PP 55 2007, Pasal 9 ayat 3, dilakukan oleh Menteri
Agama.
UUD 1945 menjamin setiap penduduk mendapatkan
pendidikan. Negara berkewajiban memberikan pelayanan pendidikan, termasuk
pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan sebagaimana diatur dalam UU No 20
tahun 2003 merupakan salah satu jenis pendidikan. Sebagai jenis pendidikan, pendidikan
keagamaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam PP tersebut pasal (1)
menyebutkan: pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan
tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran
agamanya.
Sistem pendidikan
agama secara makro merupakan usaha pengorganisasian proses kegiatan
kependidikan yang berdasarkan ajaran agama dan pendekatan sistematik, sehingga
dalam pelaksanaan operasionalnya terdiri dari berbagai sub-subsistem dari
jenjang pendidikan pradasar (PAUD/RA), dasar, menengah dan perguruan tinggi.
Jadi setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan
wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
Dalam peraturan
pemerintah nomor 55 tahun 2007 Bab I pasal 1 dirumuskan pengertian Pendidikan
agama dan keagamaan, ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan agama adalah “pendidikan
yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan”.
Sedang ayat (2) pengertian
pendidikan keagamaan adalah “pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang
ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya”
PP No. 55 tahun 2007 Pasal 9 (1) dan (2)
menjelaskan bahwa “pendidikan keagamaan adalah meliputi
pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu, yang
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal”. Dalam
pengelolaannya pendidikan keagamaan dilakukan baik oleh pemerintah, pemerintah
daerah ataupun masyarakat.
Pasal ini mengatur Pendidikan Agama di sekolah umum dan Pendidikan
Keagamaan yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Adapun
MI, MTs, dan MA bukan lagi kategori Pendidikan Keagamaan, tetapi pendidikan
umum di
bawah Mentri Agama. Dalam PP
tersebut disebutkan bahwasanya Pendidikan Agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan ketrampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur, jenis,
dan jenjang pendidikan.
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam
pendidikan adalah aspek tujuan.
Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan
pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai
manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal
tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu
satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu
menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan
rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.
Pengertian di atas
dalam PP No. 55 tahun 2007 Bab II
pasal 2 ayat (2) telah dirumuskan mengenai tujuan pendidikan agama yakni; “untuk
berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni”. Sedang fungsi pendidikan agama tercantum dalam Bab II
pasal 2 ayat (1) yakni; “untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga
kedamaian dan kerukunan hubunngan inter dan antarumat beragama”.
Pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem
pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting karena dalam menyelenggarakan pendidikan
tidak boleh ada diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara
sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP
55 tahun 2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta. “Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada
pendidikan keagamaan”.
Problem
Pendidikan Keagamaan
Dengan lahirnya PP 55 tahun 2007 ini minimal memunculkan opini di
tengah-tengah masyarakat bahwa pemerintah saat ini peduli terhadap pendidikan keagamaan
untuk mengambil hati warga pesantren. Dengan kata lain dikeluarkannya PP 55
tahun 2007 ini adalah upaya pemerintah untuk melakukan pendekatan dan menjalin
hubungan yang harmonis dengan warga pesantren, bisa jadi dioreintasikan untuk
mencari dukungan massa dalam rangka memperkuat dan memperpanjang masa kepemimpinan
penguasa.
Motivasi terselubung lainnya, adalah karena ketulusan pemerintah untuk
memperlakukan sama antara berbagai model pendidikan yang ada. Terlebih
penerimaan hak dan kewajiban yang perlu didapat dari pemerintah, baik yang
bersifat material dan non material. Karena fakta selama ini menunjukkan bahwa
pendidikan keagamaan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau
tidak, secara filosofis sebenarnya pendidikan keagamaan yaitu diniyah dan
pesantren sama saja dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk
mencerdaskan anak bangsa. Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak
bangsa menjadi insan paripurna atau menjadi warga Negara yang baik, sama seperti
lembaga pendidikan umum lainnya. Sikap ini boleh jadi merupakan langkah pemerintah
untuk menebus dosa atas marginalisasi yang dilakukan terhadap pendidikan
keagamaan selama ini yang sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi
anggaran.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional memposisikan pendidikan umum dan
pendidikan keagamaan setara kedudukannya. Siapa pun pelakunya, baik pemerintah
maupun masyarakat, harus mengacu pada Undang Undang tersebut. Menurut Menteri
Pendidikan Nasional Mohammad Nuh; "Yang paling pokok, karena dalam rumah
yang sama, tidak boleh ada diskriminasi baik dari perspektif pelaksana
negeri-swasta maupun jenis pendidikan umum-keagamaan,"
Pada penghujung 2007, Pemerintah menetapkan PP No 55 tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan
dalam Undang-Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa
pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional.
Undang-undang ini menjadi tonggak
penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri
dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran
pun, menurut Pasal 12 PP 55 tahun 2007, harus adil antara sekolah negeri dan
swasta.
Motivasi pemerintah dalam menetapkan PP ini adalah untuk memperlakukan
sama antara berbagai model pendidikan yang ada. Terlebih penerimaan hak dan
kewajiban yang perlu didapat dari pemerintah, baik yang bersifat material dan
non material. Karena fakta selama ini menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan
berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau tidak, secara
filosofis sebenarnya pendidikan keagamaan yaitu diniyah dan pesantren sama saja
dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak bangsa menjadi insan paripurna
atau menjadi warga Negara yang baik, sama seperti lembaga pendidikan umum
lainnya. Sikap ini boleh jadi merupakan langkah pemerintah untuk menebus dosa
atas marginalisasi yang dilakukan terhadap pendidikan keagamaan selama ini yang
sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran.
Permasalahan lain yang muncul sekarang ini dalam praktek penerapan
kebijakan tentang pendidikan keagamaan di lapangan adalah pendidikan keagamaan
yang menerapkan model pendidikan salafiyah dan madrasah diniyah belum ada
standarisasi, dan pada kebanyakan pendidikan keagamaan yang diselenggarakan
oleh swasta karena belum ada ekivalensi (kesetaraan) ini mengakibatkan masa
belajar yang ditempuh para peserta didik menjadi lebih lama dan tidak menentu,
bertahun-tahun tapi tidak punya
civil effect.
Pemerintah dalam menyusun standar bagi kesetaraan pendidikan umum dan
pendidikan keagamaan seharusnya duduk bersama antara Kemendiknas dengan
Kementrian Agama. Diharapkan, penyetaraan tersebut akan memberikan efek sosial
di masyarakat kepada peserta pendidikan keagamaan.
Analisis
dan Solusi Menggunakan Analisis SWOT
1.
Strengths (Kekuatan)
Pemerintah melalui Kemendiknas akan membuat regulasi
bersama Kemenag (SKB) untuk menentukan standar pendidikan keagamaan. Diharapkan
dengan ekivalensi pendidikan kegamaan akan memberikan efek sosial di masyarakat
kepada peserta didik (pendidikan keagamaan).
2.
Weaknesses (Kelemahan)
Pengawasan mutu dan standar pendidikan keagamaan dari
pemerintah kurang, hal ini karena masih terjadi diskriminasi dalam perspektif
pendidikan umum dan pendidikan keagamaan.
3.
Opportunities (Peluang)
Minat masyarakat untuk menyekolahkan anak di lembaga
yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan akan meningkat, karena dengan adanya
standarisasi dari pemerintah akan menambah kepercayaan masyarakat akan mutu dan
standar pendidikan keagamaan.
4.
Threats (Ancaman)
Maraknya pemahaman/pemikiran keagamaan radikalis dan
perbuatan teror dalam kehidupan berbangsa sehingga bisa mengakibatkan
perpecahan sampai disintegrasi bangsa dan negara.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, seusai penandatanganan
pakta integritas pejabat struktural dan auditor di lingkungan Inspektorat
Jenderal Kemdiknas, (http://www.kemendiknas.go.id), Pada Rabu
(16/02/2011).