Kamis, 03 April 2014

SRL



                                   SELF-REGULATED LEARNING (SRL)
Author By: Aminatul Zahroh, M.Pd.I
Year: Magister – IAIN Tulungagung 2013
Language: Ind

Awalnya Self-regulated learning (SRL) memang terbentuk dari lingkungan rumah
melalui harapan yang diciptakan oleh orang tua terhadap anaknya,
namun kemampuan tersebut akan tumbuh mencapai puncaknya
melalui situasi belajar di sekolah
...Selamat membaca...

Self-regulated learning atau biasa yang dikenal dengan (SRL) merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif siswa yang memiliki kemampuan untuk mempergunakan pemikiran-pemikirannya, perasaan-perasaannya, strateginya dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, masalah inisiatif siswa menjadi sangat penting untuk memulai adanya kemampuan ini. Siswa yang aktif, kreatif, dinamis biasanya akan mempunyai banyak inisiatif untuk melakukan kegiatan, sehingga bisa diperkirakan bahwa siswa yang memiliki kemampuan SRL cenderung akan menunjukkan tingkah laku yang dinamis dan aktif. Sifat demikian tersebut, apabila siswa memiliki tujuan yang ingin dicapainya, maka pikiran, perasaan, strategi, dan tingkah lakunya diusahakan dan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Demikian pula dalam belajar, seorang siswa yang sudah tahu pasti tujuan dari kegiatan belajarnya akan mengerahkan segala pemikiran, perasaan, penerapan strategi, dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkannya. Maka, betapa efektifnya belajar jika seorang siswa memiliki keterampilan SRL ini. Pikiran, perasaan, strategi dan tingkah laku yang sudah terarah pada tujuan pembelajaran merupakan suatu modal yang paling penting untuk terjadinya proses belajar siswa. Dengan adanya hal tersebut akan membuat siswa menjadi termotivasi untuk belajar.
Pada dasarnya self-regulated learning (SRL) ini sangat berhubungan dengan motivasi yang ada dalam diri seseorang. Motivasi yang tinggi dalam diri seseorang akan mempengaruhi pencapaian tujuan yang diharapkan. Dalam proses belajar, tingkat ketekunan siswa sangat ditentukan oleh kuat lemahnya motivasi di dalam dirinya. Lebih jauh dijelaskan self-regulated learning merupakan proses pengembangan kemampuan, keterampilan dan sikap individu dalam memotivasi diri sendiri demi mencapai tujuan. Ada 3 komponen motivasi yang dapat dikaitkan dengan self-regulated learning (SRL) yaitu: Pertama, Komponen harapan (expectancy). Komponen ini mencoba melihat seberapa besar kepercayaan yang dimiliki individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk menunjukkan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas dan bertanggung jawab atas unjuk kerja mereka sendiri. Secara umum komponen ini menjawab pertanyaan Apakah saya mampu menyelesaikan tugas ini?. Individu yang memiliki kepercayaan bahwa mereka mampu juga memiliki kemampuan untuk menggunakan strategi kognitif, metakognitif dan lebih bertahan dalam mengerjakan tugas.
Kedua, Komponen nilai (value). Komponen ini melibatkan tujuan yang ingin dicapai dan kepercayaan individu mengenai seberapa penting dan menarik tugas yang mereka hadapi. Dengan kata lain, komponen ini mencoba melihat alasan yang digunakan individu dalam menyelesaikan tugas atau untuk menjawab pertanyaan Mengapa saya menyelesaikan tugas ini?. Dari penelitian terlihat bahwa individu yang memilliki orientasi motivasi ini akan secara aktif menggunakan strategi kognitif, metakognitif dan lebih bertahan dalam mengerjakan tugas.
Ketiga, Komponen motivasional. Komponen ini melihat dari sisi afeksi dan reaksi emosional individu terhadap tugas. Pertanyaan yang timbul adalah Bagaimana perasaan saya mengenai tugas ini. Penelitian menunjukkan bahwa berkaitan dengan belajar maka emosi yang paling penting adalah bagaimana kecemasan yang timbul dalam menghadapi ujian-ujian.
Untuk mengembangkan self-regulated learning (SRL) diperlukan model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran tersebut akan mencerminkan metode belajar yang digunakan dalam mencapai tujuan belajar tertentu. Dalam hal ini penerapan experiential learning untuk mengembangkan SRL sangat diperlukan. Komponen experiential learning mencakup aspek kognitif, afektif, dan perilaku atau tindakan yang dilakukan siswa. Model pembelajaran experiential learning awalnya dikembangkan oleh David Kolb sekitar awal tahun 1980an yang menekankan pada model pembelajaran utuh (holistik) dalam proses belajar. Pada Model pembelajaran experiential learning unsur pengalaman memiliki peran penting. Unsur experiential” merupakan faktor yang membedakan dengan berbagai pendekatan belajar lainnya. Experiential learning mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi dari sebuah pengalaman yang didapat oleh siswa.
Model belajar eksperiensial merupakan proses belajar yang utuh (holistic) dari aspek thinking (kognitif), feeling (afektif), dan doing (konatif). Proses belajar pada model experiential ini melibatkan dua dimensi yaitu: dimensi umum dari aktivitas belajar dan dimensi cognitive growth. Yaitu antara dimensi abstrak dan nyata, serta antara dimensi aktif dan reflektif. Dalam hai ini proses pengalaman dan refleksi dikategorikan sebagai proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikategorikan dalam proses penerapan (taking action).

Semoga tulisan ini bermanfaat, Aamiin. 

Pendidikan Keagamaan Dalam Kebijakan Pendidikan Nasional



PENDIDIKAN KEAGAMAAN
DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL
Author By: Aminatul Zahroh, M.Pd.I
Year: Magister – IAIN Tulungagung 2013
Language: Ind

Konsep Umum
       Setiap negara atau bangsa selalu menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita nasional bangsa yang bersangkutan. Pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu negara berdasarkan sosio kultural, psikologis, ekonomis, dan politis. Pendidikan tersebut ditujukan untuk membentuk ciri khusus atau watak bangsa yang bersangkutan, yang sering juga disebut dengan kepribadian nasional. Melalui proses pendidikan, suatu bangsa berusaha untuk mencapai kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang kehidupannya, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan, teknologi, dan dalam bidang kehidupan budaya lainnya.
      Untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh bangsa dalam rangka membangun sumber daya manusianya diperlukan pendidikan yang berorientasi pada penanaman karakter, jiwa dan watak peserta didik yang mencerminkan kepribadian bangsa yang luhur. dalam rangka tersebut diperlukan alat ukur keberhasilan yang mengambarkan sebuah pendidikan tersebut berjalan sesuai yang dicita-citakan, menurut garis yang dicanangkan dan output yang diharapkan. Karena pendidikan merupakan hak setiap manusia, termasuk hak mendapat pendidikan agama Islam, oleh karena pengelola lembaga pendidikan wajib memberikan pendidikan agama sesuai agama yang dianut siswa. Secara yuridis, ketentuan ini tertuangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Republik Indonesia Bab V pasal 12 ayat 1 poin a yang menyatakan setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
         Idealitas pendidikan agama ini berlaku pada seluruh satuan  pendidikan di Indonesia. Siswa muslim yang berada di sekolah non muslim memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agama Islam dan diajarkan oleh guru yang beragama Islam. Begitu juga semua siswa yang  beragama selain Islam. Meski secara teoritis dan yuridis telah ditegaskan, namun pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah, terutama sekolah non muslim, masih banyak kendala dan problem serius dan komplek, baik dari sisi pelaksanaan maupun metodologi pembelajaran.
          Praktik pemberian pendidikan agama Islam di sekolah non muslim cukup beragam bentuknya. Ada sekolah non muslim yang mendatangkan guru agama Islam di sekolah untuk memberikan pembelajaran agama Islam bagi siswa yang beragama Islam, ada juga sekolah non muslim yang tidak mendatangkan guru agama Islam ke sekolah dengan berbagai pertimbangan. Sebagian sekolah meminta siswa dan orangtuanya, pada saat pendaftaran siswa baru, untuk mengisi form yang berisi,  pendidikan agama diserahkan kepada keluarga atau ulama serta tidak akan menuntut untuk guru agama Islam di sekolah. Selain itu, model pembelajaran PAI pada sekolah non muslim memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri dibandingkan dengan pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah umum atau madrasah pada umumnya. Hal ini dipengaruhi kebijakan, kurikulum, dan atmosfer ideologi sekolah. Posisi ideologi selain sebagai tata pengatahuan mendalam, juga dapat dijadikan sebagai pola gagasan khusus yang dinamis serta berfungsi sebagai pengarah tindakan sosial. Oleh sebab itu, arah pengelolaan sekolah non muslim, sebagai lembaga pendidikan berciri khas agama, cenderung mengacu pada system ideologi yang telah menjadi sistem keyakinan. Kebijakan sekolah, model interaksi antar warga sekolah, serta pembentukan lingkungan pendidikan dilakukan sesuai ideologi yang telebur dalam visi dan misi sekolah.
        Pembentukan ideologi berbasis agama dalam lembaga pendidikan pun dapat terjadi dan menjadi fenomena di sekolah berciri khas agama, termasuk sekolah non muslim. Fenomena ini memang tidak terjadi di seluruh sekolah non muslim. Namun berdasarkan data maupun fakta, masih saja ditemukan gejala dan fenomena yang menunjukkan adanya kesenjangan antara teori, kebijakan dan praktik (gap of practice) pelaksanaan PAI di sekolah non muslim. Kebijakan formal pemerintah mewajibkan seluruh satuan pendidikan untuk memberikan pendidikan agama sesuai agama siswa dan diajarkan oleh guru yang seagama. Tetapi dalam praktiknya, belum semua sekolah menjalankan kebijakan pendidikan agama secara utuh, yang salah satu faktornya adalah adanya problem ideologis di lembaga pendidikan. Terjadi tarik menarik antara kebijakan dengan ideologi yang menjadi cirri khas sekolah.
           Dinamika PAI di sekolan non muslim cukup menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena ada masalah akademik yang perlu dikaji lebih mendalam melalui pembahasan maupun penelitian tentang pelaksanaan PAI di sekolah non muslim. Dalam makalah ini akan dibahas tentang pendidikan agama dan keagamaan dalam produk kebijakan pemerintah yang kemudian akan dianalisa tahap implementasi dalam dunia pendidikan di Indonesia

Dasar Hukum dan Kebijakan Pemerintah dalam Pelaksanaan
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
1.    Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila sebagai dasar Negara seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.[1]
Disebutkan pada sila pertama Pancasila menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk merealisasikan hal tersebut maka diperlukan adanya pendidikan Agama kepada anak-anak, karena tanpa adanya pendidikan agama akan sulit untuk mewujudkan Sila pertama dari Pancasila tersebut.
2.    Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
Dalam Bab XI pasal 29 ayat (1) dan (2) disebutkan[2] : “(1): Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Kedua ayat ini menyatakan bahwa bangsa Indoneia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau bangsa yang beragama.
Kemudian dalam Bab XIII pasal 31 disebutkan : “ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, ayat (3): “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Dalam ayat pertama pasal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan bangsa Indonesia menghormati dan melindungi hak asasi individu yang berkedudukan sebagai warga negara berhak mendapat pendidikan. Sedangkan ayat kedua menunjukkan bahwa pemerintah dalam alam kemerdekaan akan mewujudkan kewajibannya melindungi hak asasi warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan, termasuk pendidikan agama dengan cara menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.
3.    Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
Dalam Bab I pasal 1 ayat (1): Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Ayat (2): Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dan (2) dijelaskan tentang definisi dari pendidikan dan pendidikan nasional. Bahwa pendidikan pada peserta didik tidak terlepas dari proses membentuk spiritual keagamaan yang harus ditanamkan kepada generasi bangsa untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan keagamaan yang diselenggarakan baik oleh  pemerintah atau masyarakat diatur dalam UU Sisdiknas pasal 29 ayat (1) sebagai berikut: 
Ayat (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas pemerintah untuk memperhatikan kebutuhan pendidikan warga negaranya  khususnya pendidikan agama dan keagamaan adalah wajib hukumnya, karena merupakan kebutuhan yang mendesak dalam membangun bangsa , yang dalam prakteknya pendidikan keagamaan harus diajarkan pada semua jalur pendidikan,  ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 29 ayat (3) UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. 
 (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Oleh karena itu pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik untuk mendapatkannya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Pasal 12 ayat (1a) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.
Regulasi ini sangat strategis disamping sebagai barometer keseriusan pemerintah juga dasar hukum yang legal bagi setiap penyelenggara pendidikan baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat untuk membekali peserta didik dengan materi pendidikan agama yang memadai dan juga diajarkan oleh pendidik kompeten yang seagama. Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh, dan terpadu. Semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara, menyeluruh dalam arti mencakup semua jalur, jenjang, dan jenis  pendidikan dan terpadu dalam arti adanya saling keterkaitan antara  pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.
Dengan sifatnya yang menyeluruh, seperti dikemukakan di atas, maka semua bentuk kegiatan pendidikan di Indonesia tercakup dalam Sistem Pendidikan Nasional, termasuk pendidikan di madrasah dan  pondok pesantren yang diselenggarakan atau dibina oleh Kementerian Agama dan selama ini lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan agama dan keagamaan. Dengan masuknya madarasah dan pesantren ke dalam kesatuan Sistem Pendidikan Nasional, mengharuskan dilakukannya penyesuaian-penyesuaian dalam penyelenggaraan dan pembinaan madrasah dan pondok pesantren dengan ketentuan dan pokok pikiran yang terdapat dalam UU Sisdiknas.
Di antara ketentuan tersebut adalah pasal 11 UU Sisdiknas yang menetapkan bahwa Ayat (1): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya  pendidikan yang bermutu bagi setia warga negara tanpa diskriminasi”. Ayat (2): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
4.    Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Diterbitkannya PP 55 2007, tidak lepas dari perjalanan panjang  pasang surut keberpihakan kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Melihat jauh ke belakang secara runtut, undang-undang sistem pendidikan  nasional (UU Sisdiknas) Nomor 2 Tahun 1989, memposisikan pendidikan keagamaan sebagai pendidikan luar sekolah (PLS) sama dengan  pendidikan umum, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan  pendidikan kejuruan. Konsekwensi logis dari kebijakan itu, jelas menjadikan lembaga keagamaan tidak dapat perlakuan sejajar dari pemerintah, terutama dalam hal hak untuk mendapatkan anggaran.
Kondisi itu berubah seiring disahkannya undang-undang sistem  pendidikan nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Amanat mendasar yang menjadi inti perubahan adalah isi pasal 15 UU Sisdiknas yang menyebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, mengamanatkan perlunya menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Karena mengingat pentingnya penjabaran lebih rinci, untuk mempermudah  pelaksanaan secara tekhnis sebagai panduan di lapangan, maka tepatnya  pada tanggal 5 Oktober 2007, Produk Hukum yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007, ditetapkan oleh pemerintah yang dalam pengelolaannya sesuai dengan PP 55 2007, Pasal 9 ayat 3, dilakukan oleh Menteri Agama.
UUD 1945 menjamin setiap penduduk mendapatkan pendidikan. Negara berkewajiban memberikan pelayanan pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan. Pendidikan keagamaan sebagaimana diatur dalam UU No 20 tahun 2003 merupakan salah satu jenis pendidikan. Sebagai jenis pendidikan, pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam PP tersebut pasal (1) menyebutkan: pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Sistem pendidikan agama secara makro merupakan usaha pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang berdasarkan ajaran agama dan pendekatan sistematik, sehingga dalam pelaksanaan operasionalnya terdiri dari berbagai sub-subsistem dari jenjang pendidikan pradasar (PAUD/RA), dasar, menengah dan perguruan tinggi. Jadi setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.
Dalam peraturan pemerintah nomor 55 tahun 2007 Bab I pasal 1 dirumuskan pengertian Pendidikan agama dan keagamaan, ayat (1) menyatakan bahwa pendidikan agama adalah “pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan”.
Sedang ayat (2) pengertian pendidikan keagamaan adalah “pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya” [3]
PP No. 55 tahun 2007 Pasal 9 (1) dan (2) menjelaskan bahwa “pendidikan keagamaan adalah meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal”. Dalam pengelolaannya pendidikan keagamaan dilakukan baik oleh pemerintah, pemerintah daerah ataupun masyarakat.[4] Pasal ini mengatur Pendidikan Agama di sekolah umum dan Pendidikan Keagamaan yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Adapun MI, MTs, dan MA bukan lagi kategori Pendidikan Keagamaan, tetapi pendidikan umum di bawah Mentri Agama. Dalam PP tersebut disebutkan bahwasanya Pendidikan Agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran atau kuliah pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan adalah aspek tujuan.[5] Merumuskan tujuan pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, tujuan pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai harapan ataupun keinginan manusia.
Pengertian di atas dalam PP No. 55 tahun 2007 Bab II pasal 2 ayat (2) telah dirumuskan mengenai tujuan pendidikan agama yakni; “untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni”. Sedang fungsi pendidikan agama tercantum dalam Bab II pasal 2 ayat (1) yakni; “untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubunngan inter dan antarumat beragama”.
Pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak  penting karena dalam menyelenggarakan pendidikan tidak boleh ada diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55 tahun 2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta. “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan kepada pendidikan keagamaan”.

Problem Pendidikan Keagamaan
Dengan lahirnya PP 55 tahun 2007 ini minimal memunculkan opini di tengah-tengah masyarakat bahwa pemerintah saat ini peduli terhadap pendidikan keagamaan untuk mengambil hati warga pesantren. Dengan kata lain dikeluarkannya PP 55 tahun 2007 ini adalah upaya pemerintah untuk melakukan pendekatan dan menjalin hubungan yang harmonis dengan warga pesantren, bisa jadi dioreintasikan untuk mencari dukungan massa dalam rangka memperkuat dan memperpanjang masa kepemimpinan penguasa.
Motivasi terselubung lainnya, adalah karena ketulusan pemerintah untuk memperlakukan sama antara berbagai model pendidikan yang ada. Terlebih penerimaan hak dan kewajiban yang perlu didapat dari pemerintah, baik yang bersifat material dan non material. Karena fakta selama ini menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau tidak, secara filosofis sebenarnya pendidikan keagamaan yaitu diniyah dan pesantren sama saja dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak bangsa menjadi insan paripurna atau menjadi warga Negara yang baik, sama seperti lembaga pendidikan umum lainnya. Sikap ini boleh jadi merupakan langkah pemerintah untuk menebus dosa atas marginalisasi yang dilakukan terhadap pendidikan keagamaan selama ini yang sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional memposisikan pendidikan umum dan pendidikan keagamaan setara kedudukannya. Siapa pun pelakunya, baik pemerintah maupun masyarakat, harus mengacu pada Undang Undang tersebut. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh; "Yang paling pokok, karena dalam rumah yang sama, tidak boleh ada diskriminasi baik dari perspektif pelaksana negeri-swasta maupun jenis pendidikan umum-keagamaan," [6]
Pada penghujung 2007, Pemerintah menetapkan PP No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak  penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55 tahun 2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.
Motivasi pemerintah dalam menetapkan PP ini adalah untuk memperlakukan sama antara berbagai model pendidikan yang ada. Terlebih penerimaan hak dan kewajiban yang perlu didapat dari pemerintah, baik yang bersifat material dan non material. Karena fakta selama ini menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Diakui atau tidak, secara filosofis sebenarnya pendidikan keagamaan yaitu diniyah dan pesantren sama saja dengan pendidikan umum lain, dalam perannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Pesantren mengajarkan dan mendidik generasi anak bangsa menjadi insan paripurna atau menjadi warga Negara yang baik, sama seperti lembaga pendidikan umum lainnya. Sikap ini boleh jadi merupakan langkah pemerintah untuk menebus dosa atas marginalisasi yang dilakukan terhadap pendidikan keagamaan selama ini yang sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran.
Permasalahan lain yang muncul sekarang ini dalam praktek penerapan kebijakan tentang pendidikan keagamaan di lapangan adalah pendidikan keagamaan yang menerapkan model pendidikan salafiyah dan madrasah diniyah belum ada standarisasi, dan pada kebanyakan pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh swasta karena belum ada ekivalensi (kesetaraan) ini mengakibatkan masa belajar yang ditempuh para peserta didik menjadi lebih lama dan tidak menentu, bertahun-tahun tapi tidak punya civil effect.[7]
Pemerintah dalam menyusun standar bagi kesetaraan pendidikan umum dan pendidikan keagamaan seharusnya duduk bersama antara Kemendiknas dengan Kementrian Agama. Diharapkan, penyetaraan tersebut akan memberikan efek sosial di masyarakat kepada peserta pendidikan keagamaan.

Analisis dan Solusi Menggunakan Analisis SWOT
1.    Strengths (Kekuatan)
Pemerintah melalui Kemendiknas akan membuat regulasi bersama Kemenag (SKB) untuk menentukan standar pendidikan keagamaan. Diharapkan dengan ekivalensi pendidikan kegamaan akan memberikan efek sosial di masyarakat kepada peserta didik (pendidikan keagamaan).
2.    Weaknesses (Kelemahan)
Pengawasan mutu dan standar pendidikan keagamaan dari pemerintah kurang, hal ini karena masih terjadi diskriminasi dalam perspektif pendidikan umum dan pendidikan keagamaan.
3.    Opportunities (Peluang)
Minat masyarakat untuk menyekolahkan anak di lembaga yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan akan meningkat, karena dengan adanya standarisasi dari pemerintah akan menambah kepercayaan masyarakat akan mutu dan standar pendidikan keagamaan.
4.    Threats (Ancaman)
Maraknya pemahaman/pemikiran keagamaan radikalis dan perbuatan teror dalam kehidupan berbangsa sehingga bisa mengakibatkan perpecahan sampai disintegrasi bangsa dan negara.


[1] Zuhairin, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya, Usaha Nasional, 1983), 22.
[2] Republik Indonesia, Undang Undang Dasar 1945 Amandemen Ke-4 Tahun 2002.
[3] Peraturan Pemerintah  No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
[4] Ibid., PP No. 55 tahun 2007; pasal 3 (2), pasal 38 (2), pasal  42 (2), dan pasal 45 (3).
[5] As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual, (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 85.
[6] Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, seusai penandatanganan pakta integritas pejabat struktural dan auditor di lingkungan Inspektorat Jenderal Kemdiknas, (http://www.kemendiknas.go.id), Pada Rabu (16/02/2011).
[7] Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan  Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), 174.