Senin, 02 Desember 2013

POTENSI OTAK

BAGAIMANA MELEJITKAN POTENSI OTAK
Oleh: Aminatul Zahroh, S.Pd.I., M.Pd.I.

Kata Kunci: Koneksi, Sel Otak, dan Otak.

Otak merupakan benda kecil yang tak lebih dari 1.5 kg, dengan 100 miliar sel saraf aktif (neuron). Jumlah ini hampir setara dengan jumlah bintang di Galaksi Bima Sakti. Dengannya anda berpikir, berbicara, melihat, dan mencipta. Disinilah tempat kecerdasan Anda. Disini pula bersemayam kecerdasan yang lebih tinggi, yaitu intuisi. Intuisi yaitu kemampuan menerima informasi yang tidak dapat diterima oleh panca indra Anda.
Kekuatan otak tidak ditentukan oleh jumlah sel otak, tetapi oleh jumlah hubungan yang terjadi antarsel tersebut. Sel-sel otak membentuk koneksi atau hubungan dengan kecepatan 3 miliar per detik. Koneksi tersebut adalah kunci kekuatan otak. Kekuatan otak tidak ditentukan oleh jumlah sel otak, tetapi oleh jumlah hubungan yang terjadi antarsel tersebut. Koneksi antarsel adalah kunci kekuatan otak.
Ketakutan adalah pembunuh sel-sel otak. Koneksi antarsel akan berhenti bila Anda dalam suasana cemas, khawatir, dan takut. Semua ini memang manusiawi, tapi cobalah lawan kecemasan, kekhawatiran, dan rasa takut itu dengan membuat tabel positif negatif. Intinya adalah fokuskan pikiran atau konsentrasi pada hal-hal negatif. Lalu, fokuskan pikiran untuk mengubah hal-hal negatif itu menjadi positif.
Tidak sedikit orang yang cenderung hanya mengandalkan satu belahan otak saja. Jika demikian, apa yang terjadi? Tentu saja otak tidak bekerja dengan optimal dan tidak menghasilkan sesuatu yang cemerlang. Kita lebih cenderung lebih mementingkan analisis, logika, dan matematika serta jarang sekali memperhatikan atau mengoptimalkan fungsi belahan otak kanan.
Raymond Dart mengatakan bahwa kalu kita sering menggunakan dua anggota tubuh secara seimbang, berarti kita juga tengah menyeimbangkan penggunaan kedua belah otak. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali hanya melihat tanpa memperhatikan. Perhatian kepada dunia sekitar Anda akan membantu mengembangkan kemampuan otak Anda, sehingga hal-hal yang tampak biasa-biasa saja dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang luar biasa hebat.

STUDI ISLAM



METODE STUDI ISLAM RICHARD MARTIN

Oleh: Aminatul Zahroh, S.P.d.I., M.Pd.I.


Metodologi berbicara tentang bagaimana mengkaji data atau membahas bagaimana mengkajinya. Dalam bukunya Richard Martin yang bertema Islam dan Studi Agama  dapat penulis simpulkan bahwa ada dua pendekatan dalam mengkaji hal itu yaitu pendekatan “fenomenologi” dan pendekatan “personalis atau dialogis”. Perang Dunia I mampu mempengaruhi banyak sarjana untuk melakukan studi agma-agama. Gagasan evolusi budaya dan paham tentang kemuajuan manusia mengalami gonangan besar. Akibtnya, ada kebutuhan yang dirasa untuk menemukan pendekatan yang membuka ekspresi otentik agama-agama lain untuk nberbicara tanpa pengaruh nilai-nilai personal para sajana. Apa yang dibutuhkan adalah penilaian objektif terhadap peran agama dalam kehidupan manusia sehingga muncul madzhab yang dikenal sebagai fenomenologi agama.
Fenomenologi agama berusaha diterapkan pada manifestasi-manifestasi agama melalui metode deskripsi murni dimana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran data agama di bawah penyelidikan yang secara sengaja ditangguhkan. Objek ditangkap esensinya yang terleak di belakang fenomena keagamaan. Jika para Sarjana abad 19 melahirkan cara-cara mengukur agama dengan menghindari sesuatu yang supernatural, fenomenologi abad 20 ingin menundukkan pengalaman keagamaan manusia sebagai respon atas realitas terdalam, bagaimanapun luar biasanya agama tidak dipandang sebagai suatu tahapan dalam sejarah evolusi tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia.
Kontribusi terpenting fenomenologi dalam tulisan-tulisan terbaru memusatkan pada proses pemahaman yang terjadi ketika peneliti menghadapi objek. Metode historiko filologi lama mencari niat historis penulis teks dengan analisa tekstual, dengan kata lain mencari makna asli sehingga tujuan penjelasan terhadap teks atau ritual terlalu strukturalis, bukan makna historis, diakronik sebagai makna holistik sinkronik.
Fenomenologi juga sangat membutuhkan pendekatan terbuka dan empatik untuk memahami fenomena keagamaan. Dalam studi budaya atau studi manusia sebagai objeknya adalah seluruh perbuatan dan tindakan manusia yang secara historis melibatkan bentuk-bentuk ekspresi artistik, intelektual, sosial, ekonomi, agama, politik dan ilmiah.  Tujuan memahami agama orang lain tidak sekedar pengetahuan lintas budaya tetapi komunikasi lintas budaya juga ditanamkan bersama dengan tujuan teologis pemahaman universal manusia.
 Pendekatan lain yang digunakan Richard Martin adalah pendekatan personalis atau dialogis, yaitu pendekatan yang melibatkan dialog dalam rangka mencapai pemahaman lebih baik satu dengan yang lainnya dan utamanya adalah atas dasar kemanusiaan pada umumnya. Pendekatan personalis atau dialogis sesungguhnya dicurigai, jika tidak antagonistic terhadap keasyikan dengan metodologi, karena banyak program analisis menghendaki sikap berjarak antara peneliti dan yang diteliti.
Dalam hal ini, patut dicatat bahwa kebangkitan baru dalam studi tentang agama-agama oleh antropolog budaya, sekalipun belum diakui secara eksplisit dalam karya-karya sejarawan agama-agama, bagaimanapun telah memperkuat agama sebagai satu bidang kajian. Islam tidak murni fenomena Arab atau Timur Tengah tetapi Islam dapat dijumpai di Asia Tenggara, Cina, Uni Soviet, Afrika Selatan, dan sebagian lain dunia dengan kekuatannya yang mengesankan. Proses sosialisasi dan simbolisasi dimana Islam diabadikan dalam lingkungan lokal, berdampingan dengan Hinduisme, Kong Hucu, Kristen, dan ideologi-ideologi sekuler, membuat studi tentang Islam sebagai aspek penting dalam studi agama-agama secara menyeluruh.   





STUDI ISLAM

METODE STUDI ISLAM CHARLES  J. ADAMS
Oleh: Aminatul Zahroh, S.Pd.I., M.Pd.I.

Charles J. Adams dikenal dengan sebutan C. Adams memberikan beberapa tawaran metodologis dalam mengkaji agama yaitu: Pendekatan Normatif atau agamis, Pendekatan Sejarah, pendekatan Filologis, Pendekatan Sosial Ilmiah,  dan pendekatan Fenomenologi. Menurut C. Adams, melalui pendekatan Normatif dia menyatakan bahwa Islam adalah sebuah perdaban dan arahan hidup (a civilisation and an orientation to the world) Islam berdasarkan pada komitmen keagamaan (religious commitment) dan Islam merupakan pengalaman keagamaan (religious experience).
Sebagai peradaban dan arahan hidup, definisi ini memiliki maksud bahwa Islam bukanlah agama yang sulit untuk didefinisikan karena sebagai suatu struktur Islam memiliki arahan hidup yang jelas, tegas dan sistematis apalagi kalau arahan hidup itu dipahami dalam konteks Tawhid dan Syari’ah. Adapun untuk komitmen keagamaan bersifat praktis, ini artinya seseorang yang berkomitmen terhadap agamanya biasanya tidak terlalu risau dengan pengertian agamanya. Ia hanya akan menjalankan perintah agamanya tanpa harus dipusingkan dengan apa makna dari perintah yang sedang ia lakukan. Sedangkan untuk pengalaman keagamaan biasanya terkait dengan Tasawuf, sebuah pengalaman spiritual yang seringkali banyak mempengaruhi cara pandang sang Sufi terhadap pengertian Islam, Syari’ah dan pengertian aspek-aspek tertentu dalam agama ini.
Melalui pendekatan kedua, yaitu pendekatan sejarah C.Adams menyatakan dari segi perspektif sejarah menegaskan bahwa sebagai agama, Islam dipahami sebagai sesuatu yang terus berubah, berkembang (evolve) dan sebagai respon oleh masyarakat Muslim yang mencerminkan visi mereka tentang realitas dan pemahaman mereka tentang makna kehidupan. Definisi ini mencerminkan bahwa Islam sangat lentur dan dapat ditempatkan dalam “perspektif” dan ini dapat mendorong kaum muslim untuk melakukan interpretasi terus-menerus terhadap Islam sebagai fenomena sosial yang terus berubah. Jika Islam dipandang sebagai sesuatu yang terus berubah, maka visi, pandangan dan pemahaman kita tentang Islam secara otomatis akan terus berubah, berkembang dan maju dan hal itu akan dapat melahirkan ide-ide yang segar tentang agama.
Pada pendekatan kedua ini C. Adams hanya memandang Islam dari sisi historis yang sifatnya berubah-rubah. Padahal Islam juga  terdiri dari sesuatu yang permanen seperti halnya akidah dan syari’ah. Definisi yang ketiga yaitu Islam dilihat melalui pendekatan filologi. Dari sini Islam dikatakan mempunyai dua sisi, yaitu tradisi (aspek sejarah) dan kepercayaan (aspek internal). Pada pendekatan ini Islam dipandang secara komphrehensif bahwa melihat agama tidak hanya sebagai produk dari sebuah proses sejarah saja dan melupakan aspek internal yang dalam Islam bersumber dari wahyu dan bersifat permanen, tetapi kedua-duanya harus dilihat (tradisi dan kepercayaan).
Definisi yang keempat Islam dipandang dari sisi pendekatan Sosial Ilmiah. Dari sudut pandang social ilmiah, Islam dinilai sebagai proses berkelanjutan dalam hal pengalaman (experience) beragama dan ekspresinya. Disini C. Adams tidak memberikan penjelasan yang konkrit dengan pendekatan-pendekatan yang ditawarkannya. Definisi yang kelima adalah Islam dipandang dari pendekatan Fenomenologi. Pendekatan ini berawal dari metode scientific of religion yang mengalami perkembangan yang dimaksudkan sebagai upaya atau metode untuk mendekati agama secara ilmiah dan rasional.  Keseluruhan ajaran agama berikut ritual-ritual ia coba jabarkan secara ilmiah dan rasional. Metode scientifik ini kemudian digunakan dan dikembangkan oleh banyak ahli kajian sosiologi dan agama. Intinya adalah bahwa agama melalui fenomena-fenomena yang timbul harus dijelaskan secara ilmiah dan rasional. Mengenai bagaimana penjelasan ilmiah dan rasional itu, sangat tergantung pada selera dan rasa masing-masing peneliti.
Ini pada satu sisi memberikan keuntungan bagi para peneliti untuk menggunakan metodenya masing-masing dan memahai fenomena agama secara rasional dan ilmiah sesuai dengan pemahaman dan interpretasinya. Disebut Ilmiah menurut C. Adams jika metode itu sudah melampaui titik kebiasaan dan mencapai titik universal yang secara umum sudah dapat diakui kebenarannya. Islam adalah interaksi. Iinteraksi sosial antara orang dengan orang dan interaksi spiritual antara orang dengan Tuhannya. Ini berdasarkan pada penjelasan Nabi Muhammad saw, bahwa “al-dinu mu’amalatun agama adalah interaksi.
Definisi ini tidak universal karena dunia secara keseluruhan belum mengakui kebenarannya. Namun paling tidak definisi itu menjelaskan bahwa Islam sebagai agama memiliki dua unsur penting, yaitu unsur sakral dan profan. Unsur sakral terwakili dalam interaksi spiritual sementara unsur profan terwakili dalam interakti sosial. Kedua unsur Islam ini yang juga dimiliki oleh agama-agama lain telah menjadi perhatian para pengamat dan teoretis ahli agama sepanjang era modern mulai dari Emile Durkheim (tokoh reduksionis) hingga Mircea Eliade.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa para orientalis cenderung melihat sesuatu dari kacamata rasional, tetapi dalam perkembangan mereka juga mengakui adanya kekuatan supernatural meskipun tidak secara langsung. Hal ini yang seringkali membuat pernyataan mereka berubah-ubah.