Fiqh Dilihat
dari
Aspek Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi
By: Aminatul Zahroh
Akademisi Pascasarjana STAIN
Tulungagung
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqh dalam Islam berarti ilmu pengetahuan tentang hukum syari'at Islam
sesuai dengan dalilnya satu persatu di dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Seperti
puasa ramadhan hukumnya wajib dasarnya surat Al Baqarah ayat 183, riba'
hukumnya haram sesuai dengan firman Allah, jual beli hukumnya halal, perkawinan
tanpa wali tidak sah sesuai dengan hadits Nabi, minum arak haram sesuai dengan
Al Qur'an, dsb.
Orang yang ahli dalam ilmu fiqh disebut Faqih, sedangkan jamaahnya
disebut Fuqaha. Ilmu fiqh memiliki peranan yang sangat penting dalam Islam dan
kehidupan seseorang. Yang menjadi problem dasar adalah kurangnya pemahaman akan
ilmu fiqh sehingga dalam penerapannya masih sangat sedikit masyarakat yang
mengetahui dan mengerti.
Dalam pembahasan ini tidak terlepas dari aspek ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Dimana pembahasan tersebut akan dipaparkan dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana ontologi dari ilmu fiqih?
- Bagaimana epistemologi dari ilmu fiqih?
- Bagaimana aksiologi dari ilmu fiqih?
- Bagaimana pengembangan dari ilmu fiqih?
C. Tujuan Pembahasan
- Untuk mengetahui ontologi dari ilmu fiqih.
- Untuk mengetahui epistemologi dari ilmu fiqih.
- Untuk mengetahui aksiologi dari ilmu fiqih.
- Untuk mengetahui pengembangan dari ilmu fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi Fiqh
Ontologi adalah teori mengenai apa "yang ada", membahas
tentang "yang ada" yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.[1]
Secara umum, kaidah-kaidah fiqh bersumber dari nash Al Qur'an, hadis
Nabi, asar sahabat dan pendapat-pendapat ulama fiqh. Kadiah-kaidah fiqh ini
mencakup berbagai masalah fiqh, baik dibidang ubudiah (ibadah), muamalat
(transaksi), munakahat (pernikahan), jinayat (tindak pidana), dan
sebagainya. Sebagian kaidah ada yang mencakup seluruh bidang tersebut dan
adapula yang hanya ditujukan pada bidang tertentu.[2]
Diantara kaidah fiqh yang mencakup seluruh bidang adalah kaidah berikut:
اَ ْلأُمُوْلُ بِمَقَاصِدِهَا
Artinya:
Setiap perkara bergantung kepada maksudnya.
Kaidah ini mencakup berbagai bidang, baik terkait dengan ibadah,
muamalat, munakahat, jinayat, dan sebagainya. Dalam ibadah, misalnya niat dan
tujuan harus ditetapkan untuk menentukan kedudukan dari ibadah yang dlakukan.
Begitu pula dalam persoalan jinayat (tindak pidana). Contoh, hukum atau sanksi
terhadap pembunuhan sangat ditentukan kepada bidang tertentu diantaranya
adalah:
1.
Masalah ibadah, seperti kaidah:
اَ ْلإِيْثَارُ بِالْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ
Artinya:
Mendahulukan orang lain dalam hal ibadah adalah dimakruhkan.
اَل~فَرْضُ أَفْضَلُ مِنَالنَّفْلِ
Artinya:
Perbuatan wajib lebih utama daripada perbuatan sunnah.
اَلْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ
الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَا أوزَمَافِهَا
Artinya: Keutamaan yang
berhubungan dengan suatu ibadah lebih utama daripada keutamaann yang
berhubungan dengan tempat atau waktu pelaksanaannya.
2.
Masalah mu'amalat, seperti kaidah:
اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
Artinya: Manfaat dari
suatu barang adalah sebagai imbalan atas tanggung jawab terhadap
pemeliharaannya
.
3.
Masalah tindak pidana, seperti kaidah:
اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَانِ
Artinya:
Hukuman-hukuman menjadi gugur sebab adanya kesangsian.
4.
Masalah politik kekuasaan, seperti kaidah:[3]
تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ
بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: Kebijakan
pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan kepada kemashlahatan mereka.
Jadi, fiqh ditinjau dari aspek ontologi yakni terkait dengan bidang ubadiah
(ibadah), jinayat (tindak pidana), muamalat (transaksi, munakahat (pernikahan
dan sebagainya).
B. Epistemologi Fiqh
Secara etimologi, kata "epistemologi" berasal dari bahasa
Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti
teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi adalah sebuah teori tentang
pengetahuan dalam bahasa Inggris dikenal dengan theory of knowledge.[4]
Secara terminologi, epistemologi adalah sebagai cabang filsafat yang
berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dasar dan
pengandaian-pengandaiannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[5]
Menurut Dagobert D. Rones dalam bukunya Dictionary of Philosophy mengatakan
bahwa epistemologi adalah sebagai cabang filsafat yang menyelidiki tentang
keaslian pengertian, struktur, dan validitas pengetahuan.[6]
Yang dimaksud epistemologi pada pembahasan ini adalah cara yang
digunakan oleh para ahli fiqh (faqih) dalam menyelesaikan persoalan fiqh yang
berkaitan dengan bidang ubadiah, muamalat, munakahat, jinayat dan sebagainya.
Dalam menyelesaikan persoalan didasarkan pada ketentuan dan ketetapan Al-Qur'an
dan Al-Hadits. Apabila di Al-Qur'an dan Al-Hadits tidak ada maka dapat
menggunakan ijma', maupun qiyas. Misalnya dalam madzhab syafi'i berpegang pada
Al-Qur'an, sunnah, ijma', qiyas dan istishab.
C. Aksiologi Fiqh
Aksiologi merupakan asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu
pengetahuan yang secara epistemologi diperoleh dan disusun serta berkaitan
dengan nilai-nilai seperti etika maupun estetika.[7]
Aksiologi ilmu fiqh menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang terus bermunculan seiring dengan
perkembangan zaman.
Syariat Islam ibarat sebuah bangunan megah yang memiliki beberapa
menara. Adapun hukum-hukum Islam ibarat satuan batu permata yang dijadikan
bahan penguat untuk bangunan tersebut. Ilmu fiqh adalah salah satu menaranya.
Menurut para ulama, ilmu fiqh merupakan bidang ilmu yang sangat penting
diketahui setelah ilmu tauhid. Khususnya bagi kaum muslimin.[8]
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
مَنْيُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى
الدِّيْنَ (رواه الترمذي)
Artinya: Barangsiapa
yangdikehendaki kebaikan oleh Allah, ia akan diberi pemahaman dalam agama. (HR.
At-Tirmidzi)
Hadis ini mengisyaratkan bahwa memahami masalah-masalah keagamaan dan
ketentuan-ketentuan hukumnya sangat dianjurkan dalam Islam. Mengetahui
kaidah-kaidah fiqh juga termasuk di dalamnya. Sebab, sangat sulit untuk
mengatur berbagai persoalan hidup dari masa ke masa tanpa ada kaidah-kaidah
yang mengikatnya. Apalagi berbagai persoalan akan terus bermunculan seiring
dengan perkembangan zaman. Karena itu, para fuqaha memberikan perhatian besar
kepada ilmu fiqh, sehingga beberapa kaidah umum
mengenai hal itu dapat mereka rumuskan melalui proses ijtihad yang sungguh-sungguh.
Kaidah fiqh dianggap sangat penting, karena hukum dari beberapa
persoalan dapat diikat dalam satu pedoman kaidah tertentu. Hal ini dapat
memudahkan para pengkaji fiqh untuk mengetahui ketentuan hukum dari berbagai
persoalan yang terus bermunculan. Melalui kaidah fiqh, para mufti (pemberi
fatwa) misalnya, dapat memutuskan setiap masalah yang diajukan kepadanya, meski
tidak bersifat mutlak.
Secara rinci, beberapa kegunaan kaidah-kaidah fiqh dapat diketahui
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui ketentuan hukum dari setiap masalah di bidang fiqh
2.
Untuk mengetahui masalah-masalah yang memiliki 'illat (alasan) hukum
yang sama
3.
Kaidah-kaidah fiqh lebih mudah diingat, sehingga dapat membantu untuk
memahami pendapat-pendapat para ulama fiqh
4.
Dengan kaidah fiqh, seseorang dapat melakukan qiyas (analogi) hukum dari
beberapa persoalan fiqh, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh
setiap imam mazhab fiqh.[9]
D. Pengembangan Fiqh
Pada masa Nai hingga tabi'in, perkembangan kaidah fiqh belum tampak.
Sebab, segala ketetapan hukum masih disandarkan langsung pada Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi. Perkembangan kaidah fiqh baru tampak pada masa Imam Syafi'i.
Adapun Imam Malik dan para pengikutnya tidak terlalu memberikan perhatian
terhadap pembentukan-pembentukan kaidah fiqh.[10]
Sebab, dalam menetapkan hukum, Imam Malik tidak berpedoman kepada akal,
melainkan kepada amal (perilaku)penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, dasar
hukum Islam setelah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah adalah amal ahli Madinah
(perilaku penduduk Madinah). Artinya, bagi Imam Malik, tradisi penduduk Madinah
telah melahirkan ketentuan hukum yang cukup jelas dan memadai,sehingga tidak
membutuhkan kias (analogi) terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam Al-Qur'an
dan sunah. Alasan lainnya, karena Madinah merupakan tempat diturunkannya wahyu
dan ditetapkannya hadits Rasululah SAW., serta berkumpulnya para sahabat.
Demikian pula dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Meskipun muncul sebagai
perintis mazhab terakhir, tetapi ia lebih menyandarkan keputusan-keputusan
hukumnya kepada Al-Qur'an dan hadits daripada kepada kekuatan ijtihad.
Namun, pada periode berikutnya, pengikut kedua mazhab tersebut (yakni
Malikiyah dan Hanabilah) juga tidak sedikit yang menerapkankaidah-kaidah fikih
yang dirumuskan oleh mereka. Bahkan, sebagian dari mereka berhasil mengarang
kitab khusus mengenai kaidah-kaidah fikih.[11]
Kaidah fikih mulai dibukukan sejak abad ke-4. Imam Abu Thahir ad-Dabbas,
pengikut mazhab Hanafi, adalah orang pertama yang berhasil membukukan
kaidah-kaidah fikih ke dalam kitab tersendiri. Ia berusaha menghimpun
kaidah-kaidah umum yang telah ditetapkan oleh Imam Abu Hanifah sebelumnya. Di
samping itu, Imam Muhammad Harits al-Khusyni, dari kalangan mazhab Maliki, juga
membukukan kaidah-kaidah fikih yang diberi judul Usul al-Futya.
Pada masa kini, fiqh memiliki peranan yang sangat penting dan luas dalam
kehidupan manusia. Misalnya fiqh ubudiyah (ibadah), muamalat (transaksi),
munakahat (pernikahan), jinayat (tindak pidana).
·
Fiqh ubudiyah (ibadah) memiliki peranan bagaimana seorang hamba
beribadah kepada Allah dan dengan sesama manusia. Ex: sholat, puasa, haji,
zakat, shodaqoh, wakaf.
·
Fiqh muamalat (transaksi) memiliki peranan bagaimana
bertransaksi/berjual beli dengan baik, untuk mengetahui bagaimana syarat barang
yang diperjual belikan, syarat jual beli, rukun jual beli, bentuk-bentuk jual
beli yang dilarang.
·
Fiqh munakahat (pernikahan), memiliki peranan bagaimana peran dan
tanggung jawab, hak dan kewajiban suami/istri dalam mengatur rumah tangga.
·
Fiqh jinayat (tindak pidana), bagaimana hukuman bagi para pelaku tindak
pidana.[12]
Dari keterangan-keterangan di atas pengembangan ilmu fiqh dapat membantu
para hakim,panitera, advokat, tenaga ahli di KUA, tenaga konsultan hukum di
Bank konvensional dan juga berbagai pengembangan lainnya.
BAB IIII
KESIMPULAN
Jadi, fiqh
ditinjau dari aspek ontologi yakni terkait dengan bidang ubadiah (ibadah),
jinayat (tindak pidana), muamalat (transaksi, munakahat (pernikahan dan
sebagainya).
Yang dimaksud
epistemologi pada pembahasan ini adalah cara yang digunakan oleh para ahli fiqh
(faqih) dalam menyelesaikan persoalan fiqh yang berkaitan dengan bidang
ubadiah, muamalat, munakahat, jinayat dan sebagainya. Dalam menyelesaikan
persoalan didasarkan pada ketentuan dan ketetapan Al-Qur'an dan Al-Hadis. Apabila
di Al-Qur'an dan Al-Hadits tidak ada maka dapat menggunakan ijma', maupun
qiyas.
Secara rinci,
beberapa kegunaan kaidah-kaidah fiqh dapat diketahui sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui ketentuan hukum dari setiap masalah di bidang fiqh
2.
Untuk mengetahui masalah-masalah yang memiliki 'illat (alasan) hukum
yang sama
3.
Kaidah-kaidah fiqh lebih mudah diingat, sehingga dapat membantu untuk
memahami pendapat-pendapat para ulama fiqh
4.
Dengan kaidah fiqh, seseorang dapat melakukan qiyas (analogi) hukum dari
beberapa persoalan fiqh, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh
setiap imam mazhab fiqh.
Pada masa
kini, fiqh memiliki peranan yang sangat penting dan luas dalam kehidupan
manusia. Misalnya fiqh ubudiyah (ibadah), muamalat (transaksi), munakahat
(pernikahan), jinayat (tindak pidana).
·
Fiqh ubudiyah (ibadah) memiliki peranan bagaimana seorang hamba
beribadah kepada Allah dan dengan sesama manusia. Ex: sholat, puasa, haji,
zakat, shodaqoh, wakaf.
·
Fiqh muamalat (transaksi) memiliki peranan bagaimana bertransaksi/berjual
beli dengan baik, untuk mengetahui bagaimana syarat barang yang diperjual
belikan, syarat jual beli, rukun jual beli, bentuk-bentuk jual beli yang
dilarang.
·
Fiqh munakahat (pernikahan), memiliki peranan bagaimana peran dan
tanggung jawab, hak dan kewajiban suami/istri dalam mengatur rumah tangga.
·
Fiqh jinayat (tindak pidana), bagaimana hukuman bagi para pelaku tindak
pidana.
DAFTAR RUJUKAN
Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Aziz, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah
Gagasan Membangun Pendidikan Islam, Surabaya: elKaf, 2006.
Fadal, Kurdi, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta:
Artha Rivera, 2008.
Fadal, Kurdi, Kaidah-kaidah
Fikih, Jakarta: Artha Rivera, 2008.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan
Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2006.
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta:
Erlangga, 2002.
Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi, 2007.
Supiana dan Karman, Materi
Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
[1]
Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi, 2007), hal. 25-26
[4]
Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan
Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, (Surabaya: elKaf, 2006),
hal. 71
[6]
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 3-4
[7]
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2006), hal. 106
[10]
Supiana dan
Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), hal. 301
Tidak ada komentar:
Posting Komentar