Minggu, 27 Januari 2013

Fiqh





Fiqh Dilihat dari
Aspek Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
By: Aminatul Zahroh
Akademisi Pascasarjana STAIN Tulungagung

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fiqh dalam Islam berarti ilmu pengetahuan tentang hukum syari'at Islam sesuai dengan dalilnya satu persatu di dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Seperti puasa ramadhan hukumnya wajib dasarnya surat Al Baqarah ayat 183, riba' hukumnya haram sesuai dengan firman Allah, jual beli hukumnya halal, perkawinan tanpa wali tidak sah sesuai dengan hadits Nabi, minum arak haram sesuai dengan Al Qur'an, dsb.
Orang yang ahli dalam ilmu fiqh disebut Faqih, sedangkan jamaahnya disebut Fuqaha. Ilmu fiqh memiliki peranan yang sangat penting dalam Islam dan kehidupan seseorang. Yang menjadi problem dasar adalah kurangnya pemahaman akan ilmu fiqh sehingga dalam penerapannya masih sangat sedikit masyarakat yang mengetahui dan mengerti.
Dalam pembahasan ini tidak terlepas dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dimana pembahasan tersebut akan dipaparkan dalam bab selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana ontologi dari ilmu fiqih?
  2. Bagaimana epistemologi dari ilmu fiqih?
  3. Bagaimana aksiologi dari ilmu fiqih?
  4. Bagaimana pengembangan dari ilmu fiqih?

C.    Tujuan Pembahasan
  1. Untuk mengetahui ontologi dari ilmu fiqih.
  2. Untuk mengetahui epistemologi dari ilmu fiqih.
  3. Untuk mengetahui aksiologi dari ilmu fiqih.
  4. Untuk mengetahui pengembangan dari ilmu fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ontologi Fiqh
Ontologi adalah teori mengenai apa "yang ada", membahas tentang "yang ada" yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.[1]
Secara umum, kaidah-kaidah fiqh bersumber dari nash Al Qur'an, hadis Nabi, asar sahabat dan pendapat-pendapat ulama fiqh. Kadiah-kaidah fiqh ini mencakup berbagai masalah fiqh, baik dibidang ubudiah (ibadah), muamalat (transaksi), munakahat (pernikahan), jinayat (tindak pidana), dan sebagainya. Sebagian kaidah ada yang mencakup seluruh bidang tersebut dan adapula yang hanya ditujukan pada bidang tertentu.[2]
Diantara kaidah fiqh yang mencakup seluruh bidang adalah kaidah berikut:
اَ ْلأُمُوْلُ بِمَقَاصِدِهَا
Artinya: Setiap perkara bergantung kepada maksudnya.
Kaidah ini mencakup berbagai bidang, baik terkait dengan ibadah, muamalat, munakahat, jinayat, dan sebagainya. Dalam ibadah, misalnya niat dan tujuan harus ditetapkan untuk menentukan kedudukan dari ibadah yang dlakukan. Begitu pula dalam persoalan jinayat (tindak pidana). Contoh, hukum atau sanksi terhadap pembunuhan sangat ditentukan kepada bidang tertentu diantaranya adalah:
1.      Masalah ibadah, seperti kaidah:
اَ ْلإِيْثَارُ بِالْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ
Artinya: Mendahulukan orang lain dalam hal ibadah adalah dimakruhkan.
اَل~فَرْضُ أَفْضَلُ مِنَالنَّفْلِ                                       
Artinya: Perbuatan wajib lebih utama daripada perbuatan sunnah.
اَلْفَضِيْلَةُ الْمُتَعَلِّقَةُ بِنَفْسِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى مِنَ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَا أوزَمَافِهَا
Artinya: Keutamaan yang berhubungan dengan suatu ibadah lebih utama daripada keutamaann yang berhubungan dengan tempat atau waktu pelaksanaannya.


2.      Masalah mu'amalat, seperti kaidah:
اَلْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ
Artinya: Manfaat dari suatu barang adalah sebagai imbalan atas tanggung jawab terhadap pemeliharaannya
.
3.      Masalah tindak pidana, seperti kaidah:
اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَانِ
Artinya: Hukuman-hukuman menjadi gugur sebab adanya kesangsian.
4.      Masalah politik kekuasaan, seperti kaidah:[3]
تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan kepada kemashlahatan mereka.

Jadi, fiqh ditinjau dari aspek ontologi yakni terkait dengan bidang ubadiah (ibadah), jinayat (tindak pidana), muamalat (transaksi, munakahat (pernikahan dan sebagainya).

B.     Epistemologi Fiqh
Secara etimologi, kata "epistemologi" berasal dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi adalah sebuah teori tentang pengetahuan dalam bahasa Inggris dikenal dengan theory of knowledge.[4]
Secara terminologi, epistemologi adalah sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dasar dan pengandaian-pengandaiannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.[5] Menurut Dagobert D. Rones dalam bukunya Dictionary of Philosophy mengatakan bahwa epistemologi adalah sebagai cabang filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, dan validitas pengetahuan.[6]
Yang dimaksud epistemologi pada pembahasan ini adalah cara yang digunakan oleh para ahli fiqh (faqih) dalam menyelesaikan persoalan fiqh yang berkaitan dengan bidang ubadiah, muamalat, munakahat, jinayat dan sebagainya. Dalam menyelesaikan persoalan didasarkan pada ketentuan dan ketetapan Al-Qur'an dan Al-Hadits. Apabila di Al-Qur'an dan Al-Hadits tidak ada maka dapat menggunakan ijma', maupun qiyas. Misalnya dalam madzhab syafi'i berpegang pada Al-Qur'an, sunnah, ijma', qiyas dan istishab.

C.    Aksiologi Fiqh
Aksiologi merupakan asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang secara epistemologi diperoleh dan disusun serta berkaitan dengan nilai-nilai seperti etika maupun estetika.[7] Aksiologi ilmu fiqh menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman.
Syariat Islam ibarat sebuah bangunan megah yang memiliki beberapa menara. Adapun hukum-hukum Islam ibarat satuan batu permata yang dijadikan bahan penguat untuk bangunan tersebut. Ilmu fiqh adalah salah satu menaranya. Menurut para ulama, ilmu fiqh merupakan bidang ilmu yang sangat penting diketahui setelah ilmu tauhid. Khususnya bagi kaum muslimin.[8] Dalam sebuah hadits dijelaskan:
مَنْيُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنَ (رواه الترمذي)
Artinya: Barangsiapa yangdikehendaki kebaikan oleh Allah, ia akan diberi pemahaman dalam agama. (HR. At-Tirmidzi)

Hadis ini mengisyaratkan bahwa memahami masalah-masalah keagamaan dan ketentuan-ketentuan hukumnya sangat dianjurkan dalam Islam. Mengetahui kaidah-kaidah fiqh juga termasuk di dalamnya. Sebab, sangat sulit untuk mengatur berbagai persoalan hidup dari masa ke masa tanpa ada kaidah-kaidah yang mengikatnya. Apalagi berbagai persoalan akan terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman. Karena itu, para fuqaha memberikan perhatian besar kepada ilmu fiqh, sehingga beberapa kaidah umum  mengenai hal itu dapat mereka rumuskan melalui proses ijtihad yang sungguh-sungguh.
Kaidah fiqh dianggap sangat penting, karena hukum dari beberapa persoalan dapat diikat dalam satu pedoman kaidah tertentu. Hal ini dapat memudahkan para pengkaji fiqh untuk mengetahui ketentuan hukum dari berbagai persoalan yang terus bermunculan. Melalui kaidah fiqh, para mufti (pemberi fatwa) misalnya, dapat memutuskan setiap masalah yang diajukan kepadanya, meski tidak bersifat mutlak.

Secara rinci, beberapa kegunaan kaidah-kaidah fiqh dapat diketahui sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui ketentuan hukum dari setiap masalah di bidang fiqh
2.      Untuk mengetahui masalah-masalah yang memiliki 'illat (alasan) hukum yang sama
3.      Kaidah-kaidah fiqh lebih mudah diingat, sehingga dapat membantu untuk memahami pendapat-pendapat para ulama fiqh
4.      Dengan kaidah fiqh, seseorang dapat melakukan qiyas (analogi) hukum dari beberapa persoalan fiqh, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh setiap imam mazhab fiqh.[9]

D.    Pengembangan Fiqh
Pada masa Nai hingga tabi'in, perkembangan kaidah fiqh belum tampak. Sebab, segala ketetapan hukum masih disandarkan langsung pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Perkembangan kaidah fiqh baru tampak pada masa Imam Syafi'i. Adapun Imam Malik dan para pengikutnya tidak terlalu memberikan perhatian terhadap pembentukan-pembentukan kaidah fiqh.[10]
Sebab, dalam menetapkan hukum, Imam Malik tidak berpedoman kepada akal, melainkan kepada amal (perilaku)penduduk Madinah. Menurut Imam Malik, dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah adalah amal ahli Madinah (perilaku penduduk Madinah). Artinya, bagi Imam Malik, tradisi penduduk Madinah telah melahirkan ketentuan hukum yang cukup jelas dan memadai,sehingga tidak membutuhkan kias (analogi) terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam Al-Qur'an dan sunah. Alasan lainnya, karena Madinah merupakan tempat diturunkannya wahyu dan ditetapkannya hadits Rasululah SAW., serta berkumpulnya para sahabat.
Demikian pula dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Meskipun muncul sebagai perintis mazhab terakhir, tetapi ia lebih menyandarkan keputusan-keputusan hukumnya kepada Al-Qur'an dan hadits daripada kepada kekuatan ijtihad.
Namun, pada periode berikutnya, pengikut kedua mazhab tersebut (yakni Malikiyah dan Hanabilah) juga tidak sedikit yang menerapkankaidah-kaidah fikih yang dirumuskan oleh mereka. Bahkan, sebagian dari mereka berhasil mengarang kitab khusus mengenai kaidah-kaidah fikih.[11]
Kaidah fikih mulai dibukukan sejak abad ke-4. Imam Abu Thahir ad-Dabbas, pengikut mazhab Hanafi, adalah orang pertama yang berhasil membukukan kaidah-kaidah fikih ke dalam kitab tersendiri. Ia berusaha menghimpun kaidah-kaidah umum yang telah ditetapkan oleh Imam Abu Hanifah sebelumnya. Di samping itu, Imam Muhammad Harits al-Khusyni, dari kalangan mazhab Maliki, juga membukukan kaidah-kaidah fikih yang diberi judul Usul al-Futya.
Pada masa kini, fiqh memiliki peranan yang sangat penting dan luas dalam kehidupan manusia. Misalnya fiqh ubudiyah (ibadah), muamalat (transaksi), munakahat (pernikahan), jinayat (tindak pidana).
·         Fiqh ubudiyah (ibadah) memiliki peranan bagaimana seorang hamba beribadah kepada Allah dan dengan sesama manusia. Ex: sholat, puasa, haji, zakat, shodaqoh, wakaf.
·         Fiqh muamalat (transaksi) memiliki peranan bagaimana bertransaksi/berjual beli dengan baik, untuk mengetahui bagaimana syarat barang yang diperjual belikan, syarat jual beli, rukun jual beli, bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.
·         Fiqh munakahat (pernikahan), memiliki peranan bagaimana peran dan tanggung jawab, hak dan kewajiban suami/istri dalam mengatur rumah tangga.
·         Fiqh jinayat (tindak pidana), bagaimana hukuman bagi para pelaku tindak pidana.[12]
Dari keterangan-keterangan di atas pengembangan ilmu fiqh dapat membantu para hakim,panitera, advokat, tenaga ahli di KUA, tenaga konsultan hukum di Bank konvensional dan juga berbagai pengembangan lainnya.



BAB IIII
KESIMPULAN


Jadi, fiqh ditinjau dari aspek ontologi yakni terkait dengan bidang ubadiah (ibadah), jinayat (tindak pidana), muamalat (transaksi, munakahat (pernikahan dan sebagainya).
Yang dimaksud epistemologi pada pembahasan ini adalah cara yang digunakan oleh para ahli fiqh (faqih) dalam menyelesaikan persoalan fiqh yang berkaitan dengan bidang ubadiah, muamalat, munakahat, jinayat dan sebagainya. Dalam menyelesaikan persoalan didasarkan pada ketentuan dan ketetapan Al-Qur'an dan Al-Hadis. Apabila di Al-Qur'an dan Al-Hadits tidak ada maka dapat menggunakan ijma', maupun qiyas.

Secara rinci, beberapa kegunaan kaidah-kaidah fiqh dapat diketahui sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui ketentuan hukum dari setiap masalah di bidang fiqh
2.      Untuk mengetahui masalah-masalah yang memiliki 'illat (alasan) hukum yang sama
3.      Kaidah-kaidah fiqh lebih mudah diingat, sehingga dapat membantu untuk memahami pendapat-pendapat para ulama fiqh
4.      Dengan kaidah fiqh, seseorang dapat melakukan qiyas (analogi) hukum dari beberapa persoalan fiqh, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh setiap imam mazhab fiqh.
Pada masa kini, fiqh memiliki peranan yang sangat penting dan luas dalam kehidupan manusia. Misalnya fiqh ubudiyah (ibadah), muamalat (transaksi), munakahat (pernikahan), jinayat (tindak pidana).
·         Fiqh ubudiyah (ibadah) memiliki peranan bagaimana seorang hamba beribadah kepada Allah dan dengan sesama manusia. Ex: sholat, puasa, haji, zakat, shodaqoh, wakaf.
·         Fiqh muamalat (transaksi) memiliki peranan bagaimana bertransaksi/berjual beli dengan baik, untuk mengetahui bagaimana syarat barang yang diperjual belikan, syarat jual beli, rukun jual beli, bentuk-bentuk jual beli yang dilarang.
·         Fiqh munakahat (pernikahan), memiliki peranan bagaimana peran dan tanggung jawab, hak dan kewajiban suami/istri dalam mengatur rumah tangga.
·         Fiqh jinayat (tindak pidana), bagaimana hukuman bagi para pelaku tindak pidana.



DAFTAR RUJUKAN

Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Aziz, Abdul, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, Surabaya: elKaf, 2006.
Fadal, Kurdi, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: Artha Rivera, 2008.
Fadal, Kurdi, Kaidah-kaidah Fikih, Jakarta: Artha Rivera, 2008.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2006.
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2002.
Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi, 2007.
Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
www.pengembanganfiqih.com , diakses tanggal 12 Januari 2011.



[1] Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi, 2007), hal. 25-26
[2] Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), hal. 14
[3] Ibid., hal. 15-16
[4] Abdul Aziz, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, (Surabaya: elKaf, 2006), hal. 71
[5] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 3
[6] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 3-4
[7] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2006), hal. 106
[8] Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah..., hal. 11-12
[9] Ibid., hal. 14
[10] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 301
[11] Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), hal. 9-10
[12] www.pengembanganfiqih.com , diakses tanggal 12 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar