Minggu, 03 Februari 2013

Studi Al-Qur'an

Studi Al-Quran
Pengumpulan, Pemeliharaan, dan Rasm Al-Quran
Oleh: Aminatul Zahroh
PENULIS BUKU & AKADEMISI PASCASARJANA
STAIN TULUNGAGUNG

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Al-Quran merupakan Kalamullah yang keasliannya tidak pernah terbantahkan, karena dijamin oleh Allah SWT, sebagaimana Firmannya:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Sesungguhya kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (QS. Al-Hijr: 9)

Penjagaan terhadap keotentikan Al-Quran dari penyelewengan dilakukan dengan 3 cara yaitu hafalan, tulisan dan pada tahun-tahun berikutnya dilakukan dengan merekam suara bacaan Al-Quran. Hal ini merupakan keunggulan yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW yang tidak diberikan kepada umat yang lain.
Dilatar belakangi oleh beberapa peristiwa yaitu banyak sahabat yang hafal Al-Quran gugur dimedan perang. Disamping itu, Al-Quran belum ditulis dalam satu mushaf, melainkan berpencar-pencar disebabkan karena memang Al-Quran diturunkan sewaktu-waktu, sehingga ayat dan surat-suratnya belum berurutan dengan sempurna.
Pada tahun-tahun berikutnya permasalahan yang terjadi menyangkut Al-Quran semakin komplek dan berpotensi menimbulkan perpecahan diantara umat islam. Maka Khalifah Utsman bin Affan berinisiatif untuk menyatukan Al-Quran dalam satu kaidah.
Penjagaan terhadap Al-Quran menjadi pekerjaan besar manakala keotentikan terhadap keutuhan pesan yang dibawa tiap-tiap generasi, dengan upaya semangat penyatu ataupun yang diprakarsai oleh Khalifah Utsman bin Affan. Penyeragaman ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya rekayasa manusia terhadap Al-Quran. Hal tersebut mungkin terjadi karena Rasulullah SAW telah wafat.
Persoalan-persoalan diatas harus mendapat jawaban yang jelas bahwa Al-Quran telah melalui perjalanan yang panjang dan masa yang sulit sehingga akhirnya dapat terwujud sebagaimana kita jumpai.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan dan pengumpulan Al-Quran?
2.      Bagaimana pemeliharaan dan pengumpulan Al-Quran pada masa Rasulullah SAW?
3.      Bagaimana pemeliharaan dan pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar?
4.      Bagaimana pemeliharaan dan pengumpulan Al-Quran pada masa Ustman bin Affan?
5.      Bagaimana pemeliharaan dan pengumpulan Al-Quran pada masa setelah Khulafaur Rasyidin?
6.      Apa yang dimaksud dengan rasm Al-Quran?
7.      Apa hikmah yang bisa diambil dari materi pemeliharaan, pengumpulan dan rasm Al-Quran dikaitkan dengan masa sekarang?
BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengumpulan dan Pemeliharaan Al-Quran
Pemeliharaan Al-Quran adalah penjagaan kemurnian Al-Quran baik lafadz maupun maknanya mulai pertama mulai pertama kali Al-Quran diturunkan sampai masa sekarang dan yang akan datang. Sebenarnya pemeliharaan kemurnian Al-Quran adalah lewat pengumpulan.[1]
1.      Pengertian pengumpulan Al-Quran
a.       Pengumpulan dalam arti hifdzuhu (menghafalkan dalam hati)
Para ulama yang memakai istilah Jam’ul Quran membagi artinya dalam dua kategori: pertama, proses penghafalannya dan kedua, proses pencatatan serta penulisan Al-Quran. Adapun yang dimaksud disini, Jam’ul Quran artinya hufazzuhu (penghafal-penghafal, orang yang menghafalkannya didalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Quran ketika itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalkannya.[2]
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi SAW, oleh karena itu ketika datang wahyu, Nabi langsung menghafal dan memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang pertama yang menghafal Al-Quran. Tindakan Nabi merupakan suri tauladan bagi para sahabatnya.[3] Imam Al-Bukhari mencatat sekitar tujuh orang sahabat Nabi yang terkenal dengan hafalan Al-Qurannya, diantara mereka yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’qal (bekas budak Abu Hudzaifah), Mu’ad bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zait As-Sakan, dan Abu Darda.[4]
 عن عبدالله بن عمرو بن العاص قال : سمعت رسول الله ص. م يقول : خذوا القران من اربعة : من عبد الله بن مسعود وسالم ومعاذ وأبي بن كعب.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr al-Ash bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Ambillah al-Quran dari empat orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab”.
b.      Pengumpulan dalam dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan Al-Quran semuanya)
Yaitu penulisan Al-Quran dengan cara memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran terpisah atau menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagian ditulis sesudah bagian yang lain.
c.       Pengumpulan Al-Quran dalam arti merekam suara bacaan Al-Quran
Rosulullah mengutus orang-orang yang ahli membaca Al-Quran kepada orang-orang yang baru masuk islam, dan apabila memungkinkan menuliskannya untuk mereka. Pada masa khalifah, mereka juga mengirimkan ahli baca Al-Quran ke negeri-negeri taklukkan seperti pengiriman mushaf pada masa Ustman juga didampingi para qari. Hal-hal yang mendasari pengumpulan Al-Quran dalam bentuk rekaman suara adalah: Tuntutan pelestarian Al-Quran dan memudahkan memahami Al-Quran serta menghafalkannya.[5]

  1. Pengumpulan Al-Quran Pada Masa Rosulullah SAW
Penulisan atau pengumpulan Al-Quran dimasa Rasulullah dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu: pengumpulan dalam dada berupa hafalan dan penghayatan, serta pengumpulan dalam catatan berupa penulisan kitab.[6]
Pada mulanya, bagian-bagian Al-Quran yang diwahyukan kepada Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi dan para Sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab telah memungkinkan terpeliharanya Al-Quran. Jadi, setelah menerima suatu wahyu, Nabi lalu menyampaikannya kepada para sahabat, yang kemudian menghafalkannya.[7] Setelah menerima ayat Al-Quran Nabi SAW memanggil para sahabat yang mampu baca tulis untuk menulis ayat-ayat yang baru saja diterimanya disertai informasi tempat dan urutan setiap ayat dalam suratnya. Ayat-ayat tersebut ditulis dalam lempengan batu, pelepah kurma, kulit-kulit, dan serpihan tulang binatang.[8]
Dalam penulisan Al-Quran, Rosulullah membentuk tim penulis yang terdiri dari beberapa sahabat antara lain Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Zaid bin Tsabit, Kholid bin Walid, Ubay bin Ka’ab, dan Tsabit bin Qois.[9] Kegiatan tulis menulis al-quran pada masa nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu didasarkan pada hadis Nabi, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:
 لاتكتبوا عني شيا إلاالقران ومن كتب عني سوى القران فليمحه
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Quran, hendaklah ia menghapusnya”.
Penulisan pada masa Nabi belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan beberapa faktor, yakni: Pertama, tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan Al-Quran menjadi satu mushaf mengingat rasulullah masih hidup dan banyaknya sahabat yang menghafal Al-Quran, dan sama sekali tidak ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian Al-Quran. Kedua, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur, maka suatu hal yang logis bila Al-Quran baru bisa dibukukan dalam satu mushaf setelah Nabi SAW wafat. Ketiga, selama proses turun Al-Quran masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat Al-Quran yang mansukh.
Faktor yang mendorong penulisan al-Quran pada masa Nabi adalah:
1.    Membukukan hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
2.    Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Hal ini karena hapalan para sahabat saja tidak cukup, terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka ada yang wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, penulisan al-Quran tidaklah pada satu tempat.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa Nabi al-Quran tidak ditulis pada satu tempat, melainkan pada tempat yang terpisah-pisah. Hal ini berdasarkan dua alasan berikut ini:
1.    Proses penurunan al-Quran masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun terdahulu.
2.    Penyusunan ayat dan surat Al-Quran tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu surat dan surat yang lain. Terkadang ayat atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.

  1. Pengumpulan Al-Quran Pada Masa Khalifah Abu Bakar
Pada dasarnya, seluruh Al-Quran sudah ditulis pada masa Nabi. Hanya saja, surat dan ayatnya masih terpencar-pencar dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Abu Abdillah al-Muhasibi berkata di dalamnya kitabnya Fahm As-Sunan, penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu yang baru sebab Rasulullah sendiri pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Quran masih terpencar-terpencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakarlah yang kemudian berinisiatif menghimpun semuanya. Usaha pengumpulan tulisan Al-Quran yang dilakukan Abu Bakar setelah terjadi perang yamamah.
Pada saat Abu Bakar menjadi Khalifah, banyak rintangan yang harus dihadapi, seperti maraknya orang murtad dan munculnya Nabi-Nabi palsu. Untuk itu, Abu Bakar menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang murtad. Perang yang terjadi tahun 12 H ini dikenal dengan sebutan perang Yamamah.[10]
Dalam perang ini, para sahabat penghafal Al-Quran yang gugur di medan perang mencapai sekitar 70 orang. Melihat semakin banyak para penghafal Al-Quran yang gugur, hati Umar bin Khattab terketuk dan mulai memikirkan cara yang harus ditempuh agar Al-Quran tetap terjaga. Setelah berfikir panjang, Umar menemui Abu Bakar agar segera mengumpulkan dan membukukan Al-Quran karena dikhawatirkan akan musnah. Sebab, perang yamamah mengakibatkan kematian para penghafal Al-Quran.
Mendengar usulan Umar bin Khattab tersebut, Abu Bakar menolak dan beralasan bahwa hal tersebut tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Namun setelah umar menyampaikan seluruh argumentasi tentang pentingnya pengumpulan Al-Quran, akhirnya Abu Bakar pun menerima alasan Umar.[11]
Abu Bakar kemudian menunjuk Zaid bin Tsabit menjadi koordinator tim pengumpulan Al-Quran. Ada beberapa alasan Khalifah Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit adalah:
1)   Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya.
2)   Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakar memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada anda.
3)   Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran.
4)   Pengalamannya dimasa lampau sebagai penulis wahyu.
5)   Zaid salah seorang yang bernasb mujur diantara beberapa orang sahabat yang sampai mendengar bacaan Al-Quran Malaikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadhan.[12]
Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Quran sebenarnya didasarkan pesan Abu Bakar kepada Zaid yakni:
 أقعداعلى باب المسجد فمن جاء كما بشا هدين على شيء من كتاب الله فا كتباه
“Duduklah kalian di dekat pintu masjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan al-quran dengan dua saksi, maka catatlah”
Pekerjaan yang dibebankan kepada Zaid dapat diselesaikan kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar dan para tokoh lainnya. Boleh dikatakan bahwa pada masa Abu Bakar inilah pembukuan Al-Quran dalam mushaf pertama kali dilakukan. Sebab, pada masa Rasulullah SAW, pencatatan Al-Quran masih dilakukan di berbagai media tulis yang tercerai berai, tidak dalam satu mushaf.[13]

  1. Pengumpulan Al-Quran Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah kepemimpinan Abu Bakar, dakwah islam semakin tersebar keseluruh penjuru dunia. Pada saat itu pula mulai muncul perbedaan-perbedaan dikalangan para qari’ (pembaca) Al-Quran di Mesir. Perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan huruf (bacaan) dalam Al-Quran.
Selama perang di Armenia dan Azerbeijan yang melibatkan banyak penduduk Syam dan Iraq, Hudzaifah Al-Yamani melihat begitu jelasnya perbedaan di kalangan para pembaca Al-Quran. Perbedaan itu sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan, dimana antara satu kelompok dengan kelompok yang lain sudah saling mengafirkan.
Inisiatif usman untuk menyatukan penulisan Al-Quran nampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa periwayat, perbedaan cara membaca Al-Quran pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perselisihan diantara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-Quran ini terlihat ketika terjadi pertemuan pasukan perang islam yang datang dari Irak dan Siria. Mereka yang datang dari Siria mengikuti Qira’at Ubay bin Ka’ab, sedangkan mereka yang berasal dari Irak megikuti Qira’at Ibn Mas’ud.[14]
Melihat realitas ini, Abu Huzaifah Al-Yamani segera menghadap Khalifah Usman bin Affan dan melaporkan peristiwa tersebut. Berdasarkan laporan Abu Huzaifah dan pertimbangan sisi madarat yang akan ditimbulkan, Khalifah Usman bin Affan kemudian berinisiatif menyeragamkan bacaan Al-Quran.[15] Hal ini dilakukan semata-mata demi kemaslahatan umat dan menjadi bukti janji Allah atas pemeliharaan Al-Quran, sebagaimana disampaikan dalam ayat:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Sesungguhya kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (QS. Al-Hijr:9)
Selanjutnya, Khalifah Usman memerintahkan kepada salah seorang sahabat untuk mengambil mushaf yang ditulis pada masa kepemimpinan Abu Bakar dirumah Hafsah. Setelah itu, beliau membentuk tim penulis Al-Quran dan memerintahkan kepada mereka untuk menjadikan hasil pengumpulan Al-Quran itu sebagai standar. Hal ini dilakukan untuk menghindari bahaya bahaya yang lebih besar, yakni perubahan Al-Quran serta perpecahan diantara umat islam.[16]
Setelah penyusunan Mushaf selesai, Usman bin Affan memerintahkan untuk menyebarkarnya ke beberapa wilayah. Salah satunya beliau simpan di Madinah. Mushaf ini kemudian disebut dengan “Mushaf al-Imam”, sedangkan mushaf lain yang ditulis pada masa usman ini disebut “Mushaf Usmani”.[17]
Sehubungan dengan perbedaan penulisan Al-Quran pada masa Abu Bakar dan Ustman dapat dilihat sebagai berikut:

Masa Abu Bakar
Masa Ustman bin Affan
  1. Motivasi penulisannya karena kekhawatiran sirnanya Al-Quran dengan syahidnya beberapa huffadz.
1. Motivasi penulisannya karena terjadi perselisihan dalam cara membacanya.
  1. Mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Quran yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan sebagainya.
2. Ustman melakukan dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf yang dengannya Al-Quran turun.

  1. Penyempurnaan Penulisan Al-Quran Setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah Ustman tidak mempunyai tanda baca baik baris (syakal) maupun titik (a’jam). Sepeninggal Ustman, mushaf Al-Quran belum diberi tanda baca. Karena daerah kekuasaan Islam semakin meluas keberbagai penjuru yang berlainan dialek dan bahasanya, dirasa perlu adanya tindakan preventif dalam memelihara umat dari kekeliruan membaca dan memahami Al-Quran.
Upaya tersebut baru terealisir pada masa khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan (40-60 H) oleh Imam Abu al-Aswad Al-Duali, yang memberi harakat atau baris yang berupa titik merah pada mushaf al-Quran. Untuk “d” (fathah) di sebelah atas huruf dan “i” (kasrah) di bawah huruf. Sedangkan syiddah berupa huruf lipat dua dengan dua titik di atas huruf.[18]
Ketika Islam sudah dipeluk oleh orang diluar bangsa Arab, sering terjadi kekeliruan dalam bacaan, sehingga menimbulkan kerusakan pada makna. Karena itu pada masa Khalifah Abd. Al-Malik (685-705) dilakukan penyempurnaan. Ada dua tokoh yang berjasa yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95). Ibnu Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Misalnya, tulisan qalat (قلت) dan kanat (كنت) diganti dengan ( قا لت) dan (كا نت).[19]
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M). Tercatat tiga nama yang disebut-sebut pertama kali meletakkan tanda titik pada Mushaf ‘Usmani, yaitu Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar, dan Nasr bin ‘Ashim Al-Laits.[20]
Penulisan Al-Quran ini kemudian diupayakan dengan tulisan yang bagus oleh generasi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-Walid (86-96 H) memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hayyaj yang terkenal keindahan tulisannya untuk menulis Mushaf Al-Quran. Al-Quran pertama kalinya dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M. Cetakan selanjutnya dilakukan oleh seorang Jerman bernama Hinkelman pada tahun 1694 M di Hamburgh (Jerman), kemudian disusul oleh Marracci pada tahun 1698 M di Padoue. Sayangnya, tak satu pun dari Al-Quran cetakan pertama, kedua, maupun ketiga itu yang tersisa di dunia islam. Dan sayangnya pula, perintis penerbitan Al-Quran pertama itu berasal dari kalangan bukan muslim.
Penerbit Al-Quran dengan label islam, baru dimulai pada tahun 1787 M. Yang menerbitkannya adalah Maulaya ‘Usman. Mushaf cetakan itu lahir di Sain-Petersbourg Uni Soviet atau Leningrad (Rusia sekarang). Kemudian terbit Mushaf cetakan di Kazan, lalu di Iran pada tahun 1248 H/1828 M tepatnya di kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833 terbit lagi Mushaf cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian tahun 1834 terbit lagi mushaf cetakan Leipzig Jerman.
Di negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus untuk penerbitan Al-Quran perempatan pertama abad XX. Panitia yang dimotori para Syeikh Al-Azhar pada tahun 1923 M berhasil menerbitkan Mushaf Al-Quran dalam cetakan yang bagus. Sejak itu, berjuta-juta Mushaf dicetak di Mesir dan di berbagai negara lainnya.[21]

  1. Rasm Al-Quran
1.      Pengertian Rasm Al-Quran
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Quran atau Rasm Usman adalah tata cara menuliskan Al-Quran yang ditetapkan pada masa Khalifah Ustman bin Affan. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mushaf Usman. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits. Mushaf Usman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu menjadi enam istilah, yaitu:
a.    Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’  يأْ يها الناس
b.    Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama بنواإسرائيل   
c.    Al-Hamzah, salah satu kaidahnya berbunyi bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya.
d.   Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata  الصلوة ,   الزكوة ,  الحيوة  
e.    Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diiringi kata ma ditulis dengan disambung كلما  
f.     Kata yang dapat dibaca dua bunyi.ملك يوم الدين  Ayat tersebut boleh dibaca dengan menetapkan alif yakni dibaca dua alif, boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat, yakni dibaca satu alif.[22]
2.      Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Al-Quran
Para Ulama berbeda pendapat mengenai status Rasm Al-Quran (tata cara penulisan Al-Quran)
a.    Sebagian mereka berpendapat bahwa Rasm Usmani itu bersifat taufiqi yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti oleh siapa saja ketika menulis Al-Quran.
b.    Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm Usmani bukan taufiqi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (istilahi) yang disetujui Usman dan diterima umat, sehingga wajib ditaati dan diikuti siapapun ketika menulis Al-Quran.
c.    Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Usmani bukanlah taufiqi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat untuk menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Quran yang berlainan dengan Rasm Usmani.[23]

  1.  Hikmah dari Pengumpulan, Pemeliharaan, dan Rasm Al-Quran Dikaitkan dengan Masa Sekarang.
Islam menempatkan Al-Quran pada posisi teratas sebagai rujukan yang mengatur umatnya. Sudah barang tentu keotentikannya adalah sebuah kemutlakan. Semua rujukan dalam Al-Quran adalah dari Allah SWT, kalam-Nya yang suci diperuntukkan kepada umat yang istimewa, yakni umat Nabi Muhammad SAW.
Melihat kenyataan saat ini, tentunya sikap kita sebagai pelajar muslim adalah melakukan kajian terhadap study Al-Quran salah satunya adalah dari sejarah teks Al-Quran, mulai dari penurunan, penulisan, sapai dengan pengumpulannya serta mengkritisi setiap informasi yang tersaji kepada kita. Al-Quran yang ada ditangan kita telah melalui proses perjalanan yang berat dan panjang.
Dalam dunia pendidikan, materi pemeliharaan, dan pengumpulan Al-Quran mengajari kepada pendidik tentang:
1)        Melihat back ground peserta didik sehingga mampu merumuskan metode yang tepat dengan pula memperhatikan konsekwensi serta toleransi dalam kegiatan pendidikan.
2)        Menggunakan bahasa yang komunikatif dan azaz kemaslahatan.
3)        Seorang pendidik harus visioner, artinya mempunyai pandangan positif kedepan dan dalam kegiatan evaluasi seorang pendidik harus mempunyai ketelitian dan kejelian yang tinggi.
4)        Menerapkan metode yang se-ideal mungkin ketika situasi dan kondisi sudah siap dan memungkinkan dan menyatukan visi dan misi pendidikan.[24]

BAB III
KESIMPULAN

v Pemeliharaan Al-Quran adalah penjagaan kemurnian Al-Quran baik lafadz maupun maknanya mulai pertama mulai pertama kali Al-Quran diturunkan sampai masa sekarang dan yang akan datang. Sebenarnya pemeliharaan kemurnian Al-Quran adalah lewat pengumpulan.
v Setiap mendapat wahyu, rasul senantiasa membaca langsung kepada para sahabat untuk dihafalkan dan kemudian untuk diwartakan kepada segenap keluarga dan sahabat yang lain. Rosulullah sangat memperhatikan perkembangan Al-Quran dengan meminta beberapa sahabat yang mampu baca tulis untuk melakukan pencatatan dengan peralatan sederhana seperti lempengan batu, pelepah kurma, dan serpihan tulang.
v Pada masa khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab mengusulkan agar pengumpulan Al-Quran dilakukan, karena Umar khawatir terhadap kelestarian Al-Quran yang hanya mengandalkan hafalan para sahabat, disamping itu banyaknya penghafal Al-Quran yang gugur akibat perang Yamamah pada tahun 12 H. Perang ini terjadi karena aksi murtad dan nabi palsu, sekitar 70 sahabat yang hafal Al-Quran gugur.
v Terbukti mutawatir, Mengabaikan ayat yang bacaanya di-nasahkan dan ayat tersebut tidak dibaca kembali di hadapan nabi pada saat terakhir, Kronologi surat dan ayatnya seperti yang telah ditetapkan atau berbeda dengan mushaf Abu Bakar, Sistem penulisan yang digunakan mampu mencakup qiro’ah yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Quran ketika diturunkan dan Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan, misalnya yang ditulis mushaf sebagian sahabat mencantumkan makna ayat atau penjelas nasikh mansukh didalam mushaf.
v Yang dimaksud dengan Rasm Al-Quran atau Rasm Usman adalah tata cara menuliskan Al-Quran yang ditetapkan pada masa Khalifah Ustman bin Affan. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mushaf Usman. Yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits.
v Dalam dunia pendidikan, materi pemeliharaan, dan pengumpulan Al-Quran mengajari kepada pendidik tentang: melihat back ground peserta didik sehingga mampu merumuskan metode yang tepat dengan pula memperhatikan konsekwensi serta toleransi dalam kegiatan pendidikan, menggunakan bahasa yang komunikatif, Seorang pendidik harus visioner, artinya mempunyai pandangan positif kedepan, dalam kegiatan evaluasi seorang pendidik harus mempunyai ketelitian dan kejelian yang tinggi, menggunakan azaz kemaslahatan, menerapkan metode yang se-ideal mungkin ketika situasi dan kondisi sudah siap dan memungkinkan dan menyatukan visi dan misi pendidikan.

DAFTAR RUJUKAN


Referensi Buku:
Al Munawar, Said Agil Husain, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Pers, 2003.
Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Al-Shabuni, Ali, Pengantar Studi Al-Quran, Bandung: Al-Ma’arif Offset, 1984.
Amal, Taufik Adnan, Rekontruksi Sejarah Al-Quran, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.
Amrullah, Fahmi, Ilmu Al-Quran untuk Pemula, Jakarta: Artha Rivera, 2008.
Anwar, Rosihan, Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Ibrahim Al-Abyani, Sejarah Alquran, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Kholis, Nur, Pengantar Studi Alquran dan Alhadits, Yogyakarta: Teras, 2008.
Marzuki dan Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Masyur, Kahar,  Pokok-Pokok Ulumul Quran, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Syaifuddin Zuhri, M, Diktat Ulumul Quran, Tulungagung: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1997.
Syubah, Abu, Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Referensi Internet:
Ali, Anwar, “Hikmah Al-Quran”, dalam http:hikmah-alquran.html, diakses tanggal 14 Desember 2011



[1] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal. 150
[2] Said Agil Husain Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2003), hal. 16
[3] Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 37
[4] Ibrahim Al-Abyani, Sejarah Alquran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 89
[5] Nur Kholis, Pengantar Studi Alquran dan Alhadits, (Yogyakarta: Teras, 2008), hal. 102-103
[6] Said Agil Husain Al Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, hal. 16
[7] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran, hal. 150-151
[8] Ali Al-Shabuni, Pengantar Studi Al-Quran, (Bandung: Al-Ma’arif Offset, 1984), hal. 9
[9] Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 85
[10] Fahmi Amrullah, Ilmu Al-Quran untuk Pemula, (Jakarta: Artha Rivera, 2008), hal. 48-49
[11] Ibid., hal. 48-49                                                             
[12] M. Syaifuddin Zuhri, Diktat Ulumul Quran, (Tulungagung: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1997), hal. 25
[13] Kahar Masyur, Pokok-Pokok Ulumul Quran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 111-112
[14] Rosihon Anwar, Ulumul Quran, hal. 47
[15] Fahmi Amrullah, Ilmu Al-Quran ..., hal. 50-51
[16] Ibid., hal. 51-52
[17] Marzuki dan Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 48
[18] Said Agil Husin Al Munawar, Al Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, hal. 22
[19] Rosihan Anwar, Ulumul Quran, hal. 16
[20] Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal. 161
[21] Rosihan Anwar, Ulumul Quran, hal. 50
[22] Ibid., hal. 51-52
[23] Abu Syubah, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 54
[24] Anwar Ali, “Hikmah Al-Quran dalam Dunia Pendidikan”, dalam  http:hikmah-alquran-dalam-dunia pendidikan.html, diakses tanggal 14 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar