BANI UMAYYAH
“Perkembangan Ekonomi dan Administrasi
Serta Kemunduran dan Kehancuran Bani Umayyah”
Oleh: Aminatul Zahroh, 2841114007
Pascasarjana STAIN Tulungagung
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Zaman terus berputar,
peristiwa sejarah akan berulang, hanya pelaku, tempat dan situasinya yang
berbeda. Putaran zaman mempergilirkan antara kebaikan dan keburukan. Dan
kondisi suatu zaman akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang menjadi pemimpinnya
saat itu. Hal ini dapat kita saksikan pada perjalanan umat Islam
dari semenjak masa kenabian, khulafa’ur Rasyidin serta masa kedinastian Bani
Umayyah dan Abbasiyah.
Setelah pemerintahan Khulafa’ur Rasyidin berakhir, maka
Bani Umayyah muncul yang dibentuk oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Bani Umayyah
diakui secara resmi melanjutkan khilafah Islam setelah berakhirnya sengketa
antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai lambang penguasa
Daulah Umayyah.
Daulah Bani
Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang
politik, ekonomi dan sosial. Hal ini didukung oleh pengalaman
politik Mu`awiyah sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu
mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang
pemerintahannya.[1]
Nama “Daulah
Umayyah” berasal dari nama “Umaiyah ibnu ‘Abdi Syam ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu
salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy dizaman Jahiliyah. Umayah
ini senantiasa bersaing dengan pamannya Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut
pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Sesudah datang agama Islam
berubahlah hubungan antara Bani Umayah dengan saudara-saudara sepupu mereka
Bani Hasyim, oleh karena persaingan-persaingan untuk merebut kehormatan dan
kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang lebih nyata, Bani Umayah dengan
tegas menentang Rasulallah saw dan usaha-usaha beliau mengembangkan agama
Islam. sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulallah saw,
baik mereka yang telah masuk Islam maupun yang belum.[2]
Bani Umayyah
masuk Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya yaitu
ketika Nabi Muhammad saw bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar
percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu kekota Makkah. Tapi
setala masuk Islam, mereka dengan segera memperlihatkan semangat kepahlawanan
yang jarang tandingannya dan mereka benar-benar telah mencatat prestasi yang
baik sekali dalam peperangan memerangi kaum murtad dan terhadap orang-orang
yang mengaku nabi, dan orang-orang yang enggan membayar zakat.
Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750)
tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun mengandung banyak implikasi, di
antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang
sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.[3]
Walau pada awalnya Daulah Umayyah tidak
mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun kelompok ini memiliki
elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan
kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu kekuatan kesukuan,
gerakan oposan dan paham keislaman secara umum, yang tercermin dalam segala
aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan sosial kemasyarakatan.[4]
Sistem pemerintahan Bani
Umayyah telah mengubah sistem suksesi kepemimpinan dengan jalan
musyawarah menjadi monarkhi atau sistem kerajaan yang diwariskan secara turun
temurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap Muawiyah mengangkat anaknya sendiri
Yazid, sehingga pada umumnya sejarawan memandang negatif terhadap Muawiyah
karena pada awal keberhasilan memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam
perang di Shiffin dicapai melalui arbitrase.[5]
Kekuasaan Bani Umayyah
berumur kurang lebih 90 tahun. Ibukota Negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah
ke Damaskus. Wilayah Islam dimasa Bani Umayyah sangat luas, daerah
ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabiah, Irak,
sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
turkmenia, Uzbek, dan Tirgis di Asia Tengah. Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga berjasa
dalam pembangunan
diberbagai bidang seperti bidang politik, sastra, ilmu pengetahuan, ekonomi dan
administrasi.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan terkait dengan
perkembangan ekonomi dan administrasi Bani Umayyah serta kemunduran dan
kehancuran Bani Umayyah.
PEMBAHASAN
A.
PERKEMBANGAN EKONOMI BANI UMAYYAH
Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah Bait
al-Mal sebagai kas perbendaharaan Negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya
dimasukkan ke Bait al-Mal tersebut yang dikoordinir oleh Diwan al-Kharaj. Hasil bumi yang digarap oleh
masyarakat disetor 5% ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi
disetor sebesar 10%. Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200
dirham tidak dikenakan pajak.
Sumber dana lain untuk pengisian Bait al-Mal adalah pajak
kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang daerahnya dikuasai oleh
pemerintahan Islam. Dana-dana tersebut digunakan untuk pembangunan pada
sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur-sumur di sepanjang jalan dan
pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan hanya pada suatu
daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke daerah-daerah secara adil.[6]
Kemudian kebijakan yang strategis pada masa dinasti Bani Umayyah
adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa khalifah
Abdul Malik. Dia mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang diipakai di
daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada
tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut
terbuat dari emas dan perak sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya.
1. Kewajiban yang harus dibayar
oleh warga Negara (Al-Dharaaib)
Sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi
ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari
negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. dan negeri yang
baru ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak
istimewa. Kebijakan inilah yang menyebabkan adanya perlawanan diberbagai
daerah.
Sedangkan pada masa Umar bin Abdul Azis di bidang fiskal, Umar
memangkas pajak dari orang Nasrani. Tak cuma itu, ia juga menghentikan pungutan
pajak dari mualaf. Kebijakannya itu telah mendongkrak simpati dari kalangan
non-Muslim. Sejak kebijakan itu bergulir, orangorang non-Muslim pun
berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Bidang-bidang ekonomi
yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan kepada
rakyatnya yaitu:
- Dalam bidang pertanian
Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sektor pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi
tujuan meningkatkan hasil pertanian.
- Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan
telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.[7]
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa.
Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka memungkinkan untuk
mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat
mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini
membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut
pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut,
seperti Mesir, Suriah dan Irak.
b. Pengelolaan Baitul Mal
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani
Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa
sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah
SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal
berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau
dikritik oleh rakyat.
Pada era kekhalifahan Umayyah, pengelolaan baitulmal yang paling
bersih terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu
Khalifah Umar II itu berkuasa, tanpa ragu dan pandang bulu semua harta kekayaan
para pejabat dan keluarga bani Umayyah yang diperoleh secara tak wajar
dibersihkan. Ia lalu menyerahkannya ke kas negara. Umar berupaya untuk
membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha
mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan
dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya
bersumber dari sesuatu yang tidak sah.
Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya
sendiri, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal.
Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara
harta itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak
Nabi SAW wafat dijadikan milik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4
Bani Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai
milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. Langkah itu dilakukan
khalifah demi menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Setelah membersihkan
harta kekayaan tak wajar di kalangan pejabat dan keluarga bani Umayyah,
Khalifah Umar melakukan reformasi dan pembaruan di berbagai bidang.[8]
Kebijakan-kebijakan Umar melindungi rakyat kecil. Pada masanya
orang-orang kaya membayar zakat sehingga kemakmuran benar-benar terwujud.
Konon, saat itu sulit menemukan para penerima zakat lantaran kemakmuran begitu
merata. Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat
masa itu berkata, ‘’Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat
ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-
orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz
telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya
memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ kisah Yahya bin Said.[9]
Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di
seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid
mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Hamid bin
Abdurrahman, Gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi
itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, ‘’Saya sudah membayarkan
semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitulmal masih terdapat banyak uang.’’
Khalifah Umar memerintahkan, ‘’Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak
boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya!’’
Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, ‘’Saya sudah
membayarkan utang mereka, tetapi di baitulmal masih banyak uang.’’ Khalifah
memerintahkan lagi, ‘’Kalau begitu bila ada seorang lajang yang tidak memiliki
harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya!’’ Abdul Hamid
sekali lagi menyurati Khalifah. Dalam suratnya dia menyatakan,’’ Saya sudah
menikahkan semua yang ingin nikah. Namun, di Baitulmal ternyata masih juga
banyak uang.’’ Akhirnya, Khalifah Umar memberi pengarahan, ‘’Carilah orang yang
biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan
modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak
menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.
Akan tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar
bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama.
Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan
demikian berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah.
Saluran keuangan keluar Baitul Mal pada zaman Daulah Umayyah pada
umumnya sama seperti permulaan Islam, yaitu untuk: gaji
para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara, pembangunan
pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan ,ongkos bagi orang-orang hukuman atau
tawanan perang, perlengkapan
perang dan hadiah-hadiah untuk para pujangga
dan ulama.
c. Kebijakan
memacu Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan yang
dilakukan Bani Umayyah tidak hanya mengeksplotasi atau menguras sumber daya
alam saja tetapi ada juga kebijakan dan usaha-usaha untuk memakmurkan negeri
taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu
dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air
sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran
timbangan, takaran dan keuangan.
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap
pembangunan sektor
pertanian, dan telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan
hasil pertanian. Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah
menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi bani Umayyah.
Khalifah Umar bin abdul Azis pun menggunakan kas negara untuk
memakmurkan dan menyejahterakan rakyatnya. Berbagai fasilitas dan pelayanan
publik dibangun dan diperbaiki. Sektor pertanian terus dikembangkan melalui
perbaikan lahan dan saluran irigasi. Sumur-sumur baru terus digali untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih. Jalan-jalan di kota Damaskus dan
sekitarnya dibangun dan dikembangkan. Untuk memuliakan tamu dan para musafir
yang singgah di Damaskus, khalifah membangun penginapan. Sarana ibadah seperti
masjid diperbanyak dan diperindah. Masyarakat yang sakit disediakan pengobatan
gratis.
Kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah
adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abd
Al Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah
yang dikuasai Islam. Untuk itu, Dia mencetak mata uang sendiri pada tahun 659 M
dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Disalah satu sisinya tertulis
kalimat tauhid dan sisi lainnya tertulis namanya. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambang kesamaan
kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya, yang kemudian diedarkan
keseluruh penjuru negeri Islam kecuali Mesir.
B. Sistem
Administrasi Pemerintahan Bani Umayyah
Administrasi pemerintahan Bani Umayyah telah nampak pada masa
pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus. Muawiyah
dikenal dalam kepemimpinannya karena dalam dirinya terkumpul sifat seorang
politikus dan administrator. Di zaman ini pertama dikenalkan materai resmi
untuk mengirimkan memorandum yang berasal dari Khalifah serta pertama kali
menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan cepat.[10]
Pada permulaan Islam organisasi Administrasi Tata Usaha Negara
sangatlah sederhana, tidak diadakan pembidangan usaha yang khusus. Demikian
pula keadaannya pada masa Bani Umayyah Administari Negara sangat simple. Pada
umumnya didaerah-daerah Islam bekas daerah Romawi dan Persia, Administrasi
pemerintahan dibiarkan terus berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan
kecil.[11]
Penambahan administrasi pemerintahan besar-besaran terjadi pula
pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia melakukan pembenahan
administrasi negara dengan memerintahkan para pejabat negara menggunakan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi dalam pemerintahan. Hal tersebut pertama
kali diterapkan di Syiria dan Irak, kemudian di Mesir dan Persia.
a. Dewan Sekretaris Negara (Diwaanul
Kitabah)
Seperti halnya pada masa permulaan Islam, pada masa Bani Umayyah
dibentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwaanul Kitabah) untuk
mengurusi berbagai bidang urusan pemerintahan. Dalam masa ini urusan
pemerintahan telah banyak, maka ditetapkanlah lima orang sekretaris, yaitu :
a. Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan
pembesar-pembesar setempat.
b. Katib al-Kharraj yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara.
c. Katib al-Jund yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
d. Katib asy-Syurthahk yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e. Katib al- Qaadhi yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim
setempat.[12]
Diantara para sekretaris Katib ar-Rasaail yang paling
penting sehingga khalifah
memberikan jabatan ini diberikan kepada kaum kerabat khalifah sendiri atau orang tertentu
saja. Diantara khuttab yang paling terkenal pada masa Daulah Umayyah,
yaitu :
1. Ziyad bin Abihi (sekretaris Abi Musa al-Asy’ari)
2. Salim (sekretaris Hisyam
bin Abdul Malik)
3. Abdul Hamid (sekretaris Marwan bin Muhammad).
Dimasa ini diadakan satu jabatan baru yang bernama al-Hijabah, yaitu
urusan pengawalan keselamatan khalifah
atau dalam masa kini biasa dikenal Paspampres. Jabatan ini dibentuk atas dasar
kekuatiran terulangnya peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan percobaan
pembunuhan terhadap Mu’awiyah dan Amr bin Ash. Selanjutnya diadakan penjagaan
yang sangat ketat terhadap kholifah sehingga siapapun tidak dapat menghadap
kholifah sebelum mendapat izin dari para pengawal (Hujjab), kecuali Muazzin,
pengantar pos dan pengurus dapur.[13]
b. Organisasi Tata Usaha Negara (An-Nidhamul Idari)
Muawiyah mendirikan Dinas Pos dan tempat-tempat tertentu dengan
menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Pegawai pos mengambil
seekor kuda dan mengendarainya denga cepat sehingga sampai ke stasion
berikutnya. Disana ia mengambil kuda yang telah disiapkan kembali
mengendarainya dengan cepat kestasion berikutnya pula. Begitulah seterusnya.[14]
Setelah Khalifah Abdul Malik bin Marwan berkuasa maka diadakan perbaikan-perbaikan
dalam Organisasi Pos, sehingga ia menjadi alat vital dalam administrasi Negara.
badan ini bertugas menyiarkan berita dari pusat ke daerah atau sebaliknya. Selanjutnya Khalifah Umar bin Abdul
Azis pun memperbaiki pelayanan di dinas pos, sehingga aktivitas korespondesi
berlangsung lancar.[15]
Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah
membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai
lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
Pada masa Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah merintis penerjemahan
atau menyalin ilmu-ilmu asing ke bahasa Arab dan disempurnakan, untuk
kepentingan tamadun Islam. Sebagaimana contoh khalifah Khalid bin Yazid bin
Mu’awiyah memdatangkan orang-orang romawi yang bermukim di Mesir, diantaranya
seorang pendeta untuk mengajarkan ilmu kimia dan selanjutnya disalin kedalam
bahasa Arab.
Pada masa
Khalifah Abd Al-Malik bin Marwan berhasil melakukan pembenahan-pembenahan
administrasi pemerintahan dan melakukan perubahan bahasa dari bahasa Yunani dan
bahasa Pahlawi kebahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan
Islam.[16]
Kholifah Al-Walid ibn Abd. Malik (705-715M) seorang yang
berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti
Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang
yang infalid, Semua personel yang terlibat dalam kegiatan humanis digaji oleh
Negara secara tetap. Pada masa
pemerintahannya juga dibangun jalan-jalan yang menghungkan suatu
daerah dengan daerah yang lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan
dan masjid-masjid yang megah.[17]
Berkat jasa Gubernur Afrika Musa bin Nushair beserta mantan
budaknya yang diangkat sebagai panglima perang Thariq bin Ziyad pemerintahan
Kholifah Walid ibn Abd. Malik memperluas kekuasaan Islam di negeri spanyol,
disini toleransi keagamaan diterapkan secara maksimal. Keadilan ditegakkan
tanpa pandang bulu, bahkan tentara Islam yang melanggar juga harus menerima
hukuman yang berat. Tak ada harta rakyat atau tanah yang disita. Serta
menerapkan sistem perpajakan yang sangat jitu yang sampai membawa kemakmuran di
semenanjung itu.bahkan menjadi negeri teladan di Barat. Orang-orang Islam
dibiarkan memiliki hakim sendiri untuk memutuskan perkaranya. Semua komonitas
mendapat kesempatan yang sama dalam pelayanan umum.
Pemerintah
Islam sangat baik menjalankan pemerintahannya sehingga membawa efek yang luar
biasa terhadap kalangan Kristen bahkan pendetanya. Seorang penulis Kristen
pernah mengatakan, “Muslim-muslim Arab itu terorganisir kerajaan Cordoba dengan
baik. Ini
sebuah keajaiban di abad pertengahan. Mereka mengenakan obor pengetahuan,
peradaban, kecemerlanga dan keistimewaan bagi dunia Barat. Saat itu Eropa dalam
kondisi percekcokan, kebodohan dan gelap.”[18]
Khalifah Umar bin Abdul Azis (99-102 H/717-720 M) memerintah
Daulah Umayyah hanya dua setengah tahun, namun kebijakan yang dibuatnya sungguh
berjasa bagi umat Islam. dialah yang menerapka syariat Islam secara utuh dengan
minta bantuan ulama, seperti Hasan Basri. Pada masanya Hadis-hadis mulai
dibukukan. Sebuah kitab ilmu kedokteran yang dikarang Qis Ahran dalam
bahasa Suryani, kemudian disalin dalam bahasa Arab oleh Masarjuwaihi.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis dikeluarkanlah kitab ini dari
Kutubkhanah Syam untuk dikembangkan kepada masyarakat.[19]
c. Organisasi Pertahanan (An-Nidhamul
Harby)
Dimasa pemerintahan Muawiyah bin Sufyan berusaha menertibkan
angkatan bersenjata sebagai bentuk penyempurnaan dari organisasi pertahanan
yang telah dibuat oleh Khalifah Umar. Hanya bedanya pada masa Kholifaturrasyidin
tentara Islam adalah tentara sukarela namun pada masa daulah Umayyah orang
masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan Nidhamut
Tajridil Ijbari (seperti undang-undang wajib militer).[20]
Pengembangan
angkatan laut yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan
mengembangkan idenya dimasa Muawiah berkuasa, ketika Byzantium mengerahkan
tentaranya untuk mmperluas jajahannya, dan tiba diwilayah kekuasaan Muawiyah.
Untuk mengusir tentara Byzantium, Muawiyah mengerahkan kapal perang kecil
berjumlah 1700 buah dan mampu menghalau musuh. Dengan
tidak mengenal lelah, kaum Muslimin menaklukkan pulau Cyprus dan Rhodus di laut
tengah.[21]
Pada masa ini angkatan laut Islam masih sangat sederhana. Namun
ketika masa Mu’awiyah memegang kendali pemerintahan maka dibangunlah armada
Islam yang kuat dengan tujuan : Untuk mempertahankan daerah-daerah Islam dari
serangan armada Romawi dan untuk memperluas dakwah Islamiyah.
Begitu pula Mu’awiyah membangun armada musim panas dan musim dingin sehingga
dia sanggup bertempur disegala musim.[22]
d. Organisasi Kehakiman (An-Nidhamul Qadhaai)
Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah
membentuk lembaga yang bernama An Nidzamul Qadhaai (organisasi
kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
- Al-Qadha’: bertugas
memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab
empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum
sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
- Al-Hisbah: bertugas menyelesaikan
perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
- An-Nadhar fil Madhalim: yaitu mahkamah
tertinggi atau mahkamah banding.[23]
Pada masa
Khalifah Abd Al-Malik bin Marwan membentuk Mahkamah Tinggi untuk mengadili para
pejabat yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Selain itu, Khalifah Bani Umayyah juga
mengangkat pembantu-pembantu sebagai pendamping yang sama sekali berbeda dengan
Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non
Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat,
administrator, dokter dan kesatuan dalam militer. Hal ini terjadi sejak
Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya.
Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena
orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage
di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan
menganggap mereka rendah.[24]
C. Kemunduran Dan kehancuran Bani Umayyah
1. Kemunduran Bani Umayyah
Keberhasilan
kepemimpinan Dinasti Bani Umayyah dalam menjalankan roda
pemerintahan tidak terlepas dari peran utama kepemimpinan muawiyah selaku
penguasa pertama dari dinasti tersebut dengan sistem kekhalifahan patriomonial
sistem patrimonial dimaksud adalah sistem pemerintahan yang memberi hak mutlak
kepada pemimpin untuk menganggap negara sebagai hak miliknya dan bisa
diwariskan kepada keturunan turun temurun keluarganya, sementra rakyat dianggap
sebagai bawahanya yang mendapatkan perlingdungan dan dukungannya.
Proses Kemunduran yang dialami
oleh dinasti bani umayyah tidak terlepas dari pengaruh siapa yang memegang
kekuasaan tertinggi pada saat itu, meskipun pemerintahan berasal dari keturunan
bani umayyah perselisihan dan ambisi sering kali muncul dari kalangan
keluarga bani umayyah sendiri yang belum sempat menduduki posisi khalifah
sehingga pemberontakan internal Umayyah pun mewarnai setiap akhir-ahkir
pemerintahan khalifah yang berkuasa ketika itu sehingga menyebabkan terhentinya
perluasan wilayah, sekaligus menjadi awal dari akhir pemerintahan umayyah.[25]
Karena
masing-masing mempertahankan ke egoannya dan kontra persepsi dan visi serta
ingin merebut posisi tertinggi dikursih kekhalifahan, indikasi tersebut
mempengaruhi kebijakan politik bani umayyah, implikasinya mengkibatkan
frekuensi dedikasi dan loyalitas kepada khalifah mengalami degradasi yang
berarti sehingga perlahan-lahan rapuh ditambah dengan kekhalifahan Yazid
III dikenal dalam sejarah.dia adalah seorang yang fasik, peminun khamar dan
banyak merusak aturan-aturan Allah. suatu saat ia akan menunaikan ibadah haji
dengan tujuan meminum khamr diatas ka`bah karena kefasikannya banyak orang yang
membencinya hingga ketulang sum-sum, dan melakukan pemberontakan kepada pemerintahannya.
Akhirnya terbunuh pada bulan Jumadil Akhir tahun 126 H.[26]
2. Kehancuran Bani Umayyah
Sejarah perjalanan kekhalifahan dinasti bani umayyah
seringkali terjadi perebutan kursi kekhalifahan dengan cara pemberontakan yang
dilakukan oleh internal keturunan bani umayyah sendiri.dan tatkala yang menjadi
khalifah dari Bani Umayyah adalah anak-anak muda diahkir pemerintahan Umayyah
ini,semua menyebabkan terhentinya perluasaan wilayah, sekaligus menjadi awal
dari ahkir pemerintahan Umayyah.[27]
Marwan al-Himar adalah khilafah terakhir Bani
Umayyah dikenal dengan Abu Abdul Malik putra dari Muhammad bin Marwan al-Hakam
ia dikenal sebagai khalifah yang sabar dan ahli dalam berkuda dan pemberani
sangat aktif dalam berperag. namun masa pemerintahannya diwarnai konflik dan
instabilitas hingga mengalami pemerintahannya jatuh dan runtuh. Setelah
terjadi pertempuran antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Marwan Bin Muhammad
di sungai zab (antara Mosul dan Arbil ) marwan dan pasukannya kalah dalam peperangan
terjadi 131 H/749 M. pasukannya lari ke berbagai penjuru hingga akhirnya ia
terbunuh oleh pasukan Abbasyiah 132 H/749 M.dengan kematiannya maka hancurlah
pemerintahan bani umayyah dan berdirilah pemerintahan bani Abbasiyah.[28]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah
dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah
sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek
senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian
khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan
anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa
dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syiah
(para pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi
gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun
secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah.
Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara
suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang
sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini
mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang
persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali
(non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa
tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas,
ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh
sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak
sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping
itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap
perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah
adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn
Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim
dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani
Umayyah.[29]
Secara
Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah
Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya
meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya
persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan
keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai
kelompok penganut islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua,
sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa
terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler.
Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki
integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab,
setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni
kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah.
Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat
berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.[30]
3. Faktor-Faktor
yang Menyebabkan Kemunduran dan Kehancuran Bani Umayyah.
Faktor-faktor yang menyebabkan
kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah diklasifikasi menjadi dua bagian :
1.
Faktor internal, yaitu
berasal dari dalam istana sendiri antara lain :
a. Perselisihan antara
keluarga khalifah,
Diantara para putra mahkota yang pertama telah memegang maka ia berusaha untuk
mengasingkan keluarga yang lain da ingin menggantikan dengan anaknya sendiri, sehingga menurut Philip K.Hitti
sistim pergantian khalifah dari garis keturunan adalah suatu yang baru bagi
tradisi Arab. Yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat
dikalangan anggota keluarga istana.[31]
b. Perilaku khalifah atau
gubernur jauh dari aturan Islam
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gubernur untuk
hidup berfoya-foya, bersuka
ria dalam kemewahan, terutama
masa Khalifah Yazid II naik Tahta ia terpikat oleh dua biduanitanya, Sallamah dan Habadah serta suka
meminum minuman keras, ditambah
lagi para wazir dan panglima bani Umayyah sudah mulai korup dan mengendalikan
Negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.[32]
2. Faktor eksternal istana ,adalah yang berasal dari luar
istana
a Perlawanan dari
kaum Khawarij
Sejak
berdiri dinasti Bani Umayyah para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari
golongan khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
telah melakukan dosa besar perbedaan
sudut pandang pro Ali dan Pro Muawiyah ini menjadikan khawarij mengangkat pemimpin
dari kalangan
mereka sendiri.[33]
b. Perlawanna dari kalangan Syi`ah
Pada dasarnya kaum Syi`ah tidak pernah
mengakui pemerintahan Bani Umayyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka
terhadap Ali dan Husain hingga semakin aktif dan mendapat dukungan publik. Disisi
mereka berkumpul orang-orang yang merasa tidak puas, baik dari sisi politik, ekonomi maupun sosial terhadap
pemerintahan Bani Umayyah.
c. Perlawanan dari golongan Mawali
Ketidakpuasan
sejumlah pemeluk Islam non Arab. Asal mula kaum Mawali yaitu
budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan Mereka adalah pendatang baru dari kalangan
bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status tersebut
menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang
mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim
Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka
mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan
mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan.
Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih
kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.[34]
d. Pertentangan
etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
Masa khilafah Bani Umayyah, pertentangan
etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qaisy)
dan Arabia Selatan (Bani Qalb) yang sejak zaman sebelum islam makin
meruncing atas asumsi tersebut apabila
seorang khalifah berasal atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab Utara akan iri demikian
sebaliknya, perselisihan tersebut
berimplikasi pada kesulitan Bani Umayyah menggalang persatuan.
e. Perlawanan dari Bani Abbasiyah
Keturunan dari paman Rasulullah Keluarga Abbas, mulai
bergerak aktif dan menegaskan mereka untuk menduduki pemerintahan dengan cerdik
mereka bergabung dengan pendukung Ali dan menekankan hak keluarga Hasyim, dengan memanfaatkan kekecewaan
publik dan menampilkan sebagai pembelah sejati agama islam, para keturunan Abbas segera menjadi
pemimpin gerakan anti Umayyah.
Faktor-faktor tersebut diatas merupakan sebab kemunduran yang memebawa kepada
kehancuran Dinasti Bani Umayyah termasuk koalisi akbar ketiga kaum syi`ah,
Mawali dan Abbasiyah, menyusun kekuatan dalam melakukan agresi gerakan revolusi
pemerintahan dengan menumbang Dinasti Bani Umayyah dan bertujuan menciptakan
pemeritahan baru.
Berahkirlah kekusaan Dinasti Bani Umayyah dikota Damaskus yang dirintis
Muawiyah ibn Sufyan kurang lebih 90 tahun lamanya dan ditutup oleh khilafah ke
empat belas Marwan ibn Muhammad.
KESIMPULAN
Perkembangan Ekonomi Bani Umayyah
v Sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari
potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari
negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. dan negeri yang
baru ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak
istimewa. Kebijakan inilah yang menyebabkan adanya perlawanan diberbagai
daerah.
v Pengelolaan Baitul Mal secara bersih dan benar terjadi
pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Baitul Mal dikelola sedemikian rupa
guna menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Pada masa ini kemakmuran
terjadi di wilayah Afrika, Irak, dan Basrah.
v Kebijakan yang memacu pertumbuhan ekonomi yakni
penggunaan kas negara untuk memakmurkan
dan menyejahterakan rakyat. Dengan berbagai fasilitas didalamnya seperti
pembangunan fasilitas umum, perbaikan lahan dan saluran irigasi, pembangunan
jalan, pembangunan penginapan untuk memuliakan tamu dan para musafir yang
singgah di damaskus. Selain itu juga ada sistem penyamaan keuangan dengan
memakai tulisan arab.
Perkembangan Sistem Administrasi Bani Umayyah
v Perkembangan administrasi yang dialami oleh
bani umayyah adanya pembentukan Dewan Sekretaris Negara (Diwanul Kitabah), Katib ar-Rasail yaitu
sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat
dengan pembesar-pembesar setempat, Katib al-Kharraj yaitu sekretaris
yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara, Katib
al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang
berkaitan dengan ketentaraan, Katib asy-Syurthahk yaitu sekretaris yang
bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, dan Katib
al- Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum
melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
v Organisasi Tata Usaha Negara (an-Nidhamul
Idaari), adanya pendirian pos pada masa Muawiyah guna menyiarkan berita dari
pusat ke daerah dan sebaliknya, adanya kegiatan penerjemah ilmu-ilmu asing ke
bahasa Arab, adanya pembukuan Hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz.
v Organisasi Pertahanan (an-Nidhamul Harby),
adanya penertiban angkatan bersenjata dan pengembangan angkatan laut.
v Organisasi Kehakiman (an-Nidhamul Qadaai), Al-Qadha’: bertugas memutuskan
perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab empat”
ataupun mazhab-mazhab lainnya, Al-Hisbah: bertugas menyelesaikan
perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat, An-Nadhar
fil Madhalim: yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.
Kemunduran dan Kehancuran Bani Umayyah
v
Kemunduran Bani Umayyah tidak terlepas dari pengaruh siapa yang memegang
kekuasaan tertinggi pada saat itu, meskipun pemerintahan berasal dari keturunan
Bani Umayyah perselisihan dan ambisi sering kali muncul dari kalangan
keluarga bani Umayyah sendiri yang belum sempat menduduki posisi khalifah
sehingga pemberontakan internal Umayyah pun mewarnai setiap akhir-ahkir
pemerintahan khalifah yang berkuasa ketika itu sehingga menyebabkan terhentinya
perluasan wilayah, sekaligus menjadi awal dari akhir pemerintahan Umayyah.
v
Kehancuran Bani
Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya meningkatnya kekecewaan
kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa
Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk
memilki pemimpin karismatik. Sehingga pada tahun 750 M secara revolusioner
berdiri Daulah Bani Abbasiyyah.
DAFTAR RUJUKAN
Referensi
Buku:
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, Jakarta: Mutiara
Sumber Wijaya, 1995.
Abd.
Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah: Sejarah dan
Pembaharuan Islam, Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995.
Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Karisma, 2007.
Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam
Lintasan Sejarah Bandung: Pustaka
Setia, 2004.
Ahmad
Al-Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media, 2010.
Al-Hisyam, Sejarah Kebudayaan
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Ali Murodi, Islam di Kawasan
Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999
Andeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan
Sejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Anwar Ali, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: Islamika, 2003.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2006.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah
Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Pres, 1985
Hepi Andi Bastoni,
Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2008.
Imam as-Suyuti, Tarihk Khulafa`, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2010.
Joseph Schacht, Pengantar
Hukum Islam, Yogyakarta: Islamika, 2003.
Khairudin
Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah: Minyingkap Dinamika dan Sejarah
Politik Kaum Sunni, Yogyakarta: Safria Insani Press, 2005.
M. Abdul
Karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban
Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Referensi Internet:
Irwan Usa Mahmud, dalam http://zigaumarov.blogspot.com/2011/04/bani-umayyah-perkembangan-sastra-ilmu.html, diakses tanggal 22 November 2011
Iskandar Ahmad,
“Bani Umayyah Kemunduran dan Kehancuran” dalam http://zigaumarov.blogspot.com/2011/04/bani-umayyah-kemunduran-dan-kehancuran.html, , diakses tanggal 22 November 2011
M. Ridho, “Bani Umayah”, dalam http://ridhoibnambra.blogspot.com/2010/08/bani-umayah.html diakses 22 november 2011
Rudi Arlan al-Farisi, “Sejarah Islam Masa Bani Umayah” dalam http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-islam-masa-bani-umayah.html, diakses 22
November 2011
[1] Khairudin
Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah: Minyingkap Dinamika dan Sejarah Politik Kaum Sunni, (Yogyakarta: Safria Insani
Press, 2005), hal. 11
[3] Adeng Muchtar
Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam
Lintasan Sejarah (Bandung: Pustaka setia, 2004), hal. 52
[5] Irwan Usa Mahmud, dalam http://zigaumarov.blogspot.com/2011/04/bani-umayyah-perkembangan-sastra-ilmu.html, diakses tanggal 22 November 2011
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam;
Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 42
[10] M. Ridho,
“Bani Umayah”, dalam http://ridhoibnambra.blogspot.com/2010/08/bani-umayah.html diakses 22 November 2011
[16] Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah: Sejarah dan Pembaharuan Islam, (Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995), hal. 99
[21] Rudi Arlan
al-Farisi, “Sejarah Islam Masa Bani Umayah” dalam http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-islam-masa-bani-umayah.html, diakses 22 November 2011
[24] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), hal. 166
[25] Iskandar Ahmad, “Bani Umayyah
Kemunduran dan Kehancuran” dalam http://zigaumarov.blogspot.com/2011/04/bani-umayyah-kemunduran-dan-kehancuran.html, ,
diakses tanggal 22 November 2011
[30] Andeng
Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 56
[32] M. Abdul Karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2007), hal.131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar