KUALIFIKASI
PEROWI DAN TRANSMISI HADIS
Oleh: Aminatul
Zahroh
Akademisi Pascasarjana
STAIN Tulungagung
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad saw baik itu perkataan, ataupun pengakuan beliau. Hadis merupakan
sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur'an.[1]
Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu melalui
proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah.
Ar-riwayah adalah bentuk masdar dari kata rawa yang berarti penukilan,
penyebutan, pemintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika dihubungkan dengan hadis,
berarti berita atau kabar yang umum untuk menerangkan hukum syara'. Dalam
bahasa Arab biaa diistilahkan dengan:
حبرُ عامُّ يُقصدبه تعريْفُ دليلِ حكمٍ شرعيٍّ
Sedangkan menurut istilah ilmu hadis berarti
memindahkan hadis dan menyandarkan kepada seseorang dengan metode tertentu.
Atau kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta pengandarannya kepada
rangkaian para periwayat dengan bentuk-bentuk tertentu. Dalam periwayatan hadis
harus memenuhi tiga unsur, yaitu:
1. Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis (at-tahammul)
2. Kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain (al-ada')
3. Penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan hadis (al-isnad).[2]
Periwayatan semakin mendapat perhatian khusus dari
umat Islam. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:
وَحَدِّثُواعَنِّى وَلاَحَرَجَ وَمضنْ كَدَبَ عَلَىَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَّؤَا مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه البخارى ومسلم)
"Dan ceritakanlah
daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar
dari padaku. Barangsiapa berdusta terhadap diriku hendaklah dia bersedia
menempati kediamannya di neraka". (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah
adanya keharusan persambungan dalam sanadnya, mulai dari periwayat tingkat yang
disandari oleh mukharrif sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima
hadis dari Nabi SAW, yang semuanya itu harus diterima dari periwayat yang adil
dan dabit.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian periwayatan (Ar-Riwayah)?
2. Bagaimana kualifikasi perawi dalam menerima hadis?
3. Bagaimana kualifikasi perawi dalam menyampaikan hadis?
4. Bagaimana metode yang digunakan perawi dalam menerima hadis?
5. Bagaimana metode yang digunakan perawi dalam menyampaikan hadis?
6. Bagaimana periwayatan hadis dari abad I sampai pertengahan abad VII H?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian periwayatan (Ar-Riwayah).
2. Untuk mengetahui kualifikasi perawi dalam menerima hadis.
3. Untuk mengetahui kualifikasi perawi dalam menyampaikan hadis.
4. Untuk mengetahui metode yang digunakan perawi dalam menerima hadis.
5. Untuk mengetahui metode yang digunakan perawi dalam menyampaikan hadis.
6. Untuk mengetahui periwayatan hadis dari abad I sampai pertengahan abad
VII H.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Periwayatan
Yang dimaksud dengan Rawi ialah "Orang yang menyampaikan
atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atu diterimanya dari
seseorang (gurunya)". Bentuk jamaknya Ruwat, perbuatan menyampaikan hadis
tersebut dinamakan me-rawi (riwayatkan) hadis.[3]
Kata riwayat, dari segi bahasa berarti "memindahkan
dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain".[4]
Periwayatan (ar-riwayah) adalah salah satu jalan
menuju kabar, berita. Dan setiap kabar berfungsi untuk memberitakan. Dalam
ar-riwayah disamping akal dan pancaindera yang sempurna bisa juga berfungsi
untuk memberitahukan.[5]
Periwayatan hadis mempunyai keistimewaan dan ciri-ciri
khusus yang membedakan dari periwayatan-periwayatan yang ada sebelumnya yakni.
1. Periwayatan umat
Islam terhadap aspek periwayatan
Periwayatan sebelum umat Islam dikalangan orang Arab
dan lainnya sebatas pada penyampaian kabar atau berita tanpa memperhatikan
orang yang menyampaikan dan kebenaran berita itu. Namun ketika Islam datang
dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw, yang membawa ajaran yang benar, sangat
menekankan pentingnya penelitian berita yang diterima. Hal ini sesuai dengan
perintah Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
kr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR
"Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu."
2. Aspek
persambungan sanad hadis
Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah
adanya keharusan persambungan dalam sanadnya, mulai dari periwayat tingkat yang
disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima
hadis yang bersangkutan dari Nabi saw, yang semuanya itu harus diterima dari
periwayat yang adil dan dabit.[6]
B.
Kualifikasi Perawi dalam
Menerima Hadis
1. At-tahammul
At-tahammul adalah (cara) seseorang mendapatkan atau
menerima hadis dari seorang guru dengan cara atau metode-metode tertentu.[7]
Tahammul adalah pengambilan hadis (oleh murid dari
guru) dengan salah satu cara dari cara-cara tahammul.[8]
2. Syarat-syarat
At-tahammul
Adapun syarat At-tahammul yakni baliq, dewasa, Islam,
adil, dhabil. Adapun uama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya anak kecil
(yang belum baliq) menerima atau mendengar hadis. Hanya saja mereka
memperselisihkan tentang batas-batas minimal umur anak yang belum dewasa yang
dapat diterima riwayatnya yakni:
a. Batas minimalnya
ialah umur lima tahun.
b. Pendapat Al-Hafidz
Musa bin Harun, menurutnya pendengaran anak dianggap sah bila sudah bisa membedakan
antara sapi dan keledai (maksudnya adalah tamyiz).
c. Pendapat yang
ketiga adalah ukuran tamyiz, yaitu jika si anak itu sudah bisa memahami
suatu pembicaraan, maka dia disebut mumayyiz dan sah pendengarannya (walaupun
usianya mungkin dibawah lima tahun).[9]
C.
Kualifikasi Perawi dalam
Menyampaikan Hadis
1. Al-Ada'
Al-ada' adalah cara seseorang menyampaikan atau
meriwayatkan hasil kepada orang atau periwayat lain dengan menggunakan
sighat-sighat tertentu.[10]
2. Syarat-syarat
Al-Ada'
a. Beragama Islam
Riwayat orang kafir maupun fasiq tidak dapat diterima.
Karena orang Islam dalam menerima hadis nabi adlah dalam rangka menjalankan
ajaran agamanya yang benar. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat
orang fasik sebagai yang diterangkan dalam firman Allah surat Al-Hujurat: 6
kr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR
"Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu."
b. Baliqh
Riwayatnya anak-anak yang belum dewasa (baligh) tidak
bisa diterima dengan alasan hasil yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud
dan Hakim dari Umar dan Ali, yaitu:
رُفعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَنْ المَجْنُوْنِ
الْمَغْلُوْبِ عَلَى مَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَوَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِّيِ حَتَّى يَحْتَلِمَ
"Diangkat kalam dari tiga
orang, dari orang gila, yang digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang
tidur sehingga dia bangun, dari anak kecil sehingga dia dewasa."
c. Adil
(al-'adalah)
Yaitu sifat yang terhunjam pada diri seseorang yang
mendorong untuk selalu bertaqwa dan menjaga muru'ah dirinya yang bisa
menimbulkan suatu kepercayaan (siqat). Atau dengan kata lain al-'adalah
(العدالة)
adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh perawi dari segi kepribadiannya
(kualitas pribadi periwayat), yang mencakup aspek agama Islam, mukallaf,
melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru'ah.
Dengan sifat tersebut maka seseorang itu akan menjauhi
perbuatan dosa besar dan sebagian dosa kecil, seperti mencuri sesuap makanan
serta menjauhi perbuatan yang mubah yang dapat merusak muru'ahnya,
seperti makan sambil berjalan, buang air kecil di jalan besar, bergaul dengan orang-orang yang rendah budi
pekertinya dan terlalu sering bergurau.
Disebutkannya syarat ini disamping dua syarat
sebelumnya adalah untuk penekanan semata, bahwa orang Islam dan baligh belum
tentu memiliki sifat al-adalah ini; atau seorang baru dikatakan bersifat
adil, dalam istilah ilmu hadis apabila orang itu telah memenuhi beberapa
syarat diantaranya beragama Islam dan mukallaf.
Ibnu Hajar al-Asqalaniy menyebutkan ada beberapa
perilaku atau keadaan yang dapat merusak sifat adil seseorang yaitu: (1) suka
berdusta; (2) tertuduh telah berdusta; (3) berbuat atau berkata fasik tetapi
belum sampai menjadikannya kafir; (4) tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan
diri orang itu sebagai perawi hadis; (5) berbuat bid'ah yang mengarah kepada
fasik, tetapi belum menjadikannya kafir.
Sedangkan cara untuk mengetahui keadilan perawi adalah
berdasarkan:
1) Popularitas
keutamaan perawi di kalangan ulama hadis. Perawi yang terkenal keutamaan
pribadinya, misalnya: malik bin Anas, Sufyan as-Sauriy.
2) Penilaian dari
para kritikus perawi hadis. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan
kekurangan yang ada pada diri perawi hadis.
3) Penerapan kaedah
al-jarh wa at-ta'dil. Cara ini ditempuh bila para kritikus perawi hadis
tidak sepakat tentang kualitas pribadi perawi hadis.
3. Dhabit (adh-dhabit
الضبط.)
Dabit yaitu bhwa perawi itu sadar benar apa yang
diterimanya, memahaminya dan menjaganya sejak menerima sampai menyampaikan
berita itu kepada orang lain. Arti harfiah dabit ada beberapa macam, yakni yang
kokoh, yang kuat, yang tepat dan yang hafal dengan sempurna. Pengertian harfiah
tersebut jika diserap ke dalam pengertian istilah hadis dihubungkan dengan
kapasitas intelektual seorang perawi.
Dhabt tersebut
mencakup dua hal, yaitu dhabt shadr dan dhabit kitab. Maksudnya
adalah si perawi itu hafal ketika menyampaikan hadis berdasar hafalannya
disamping juga hafal atas tulisannya di kitab, sehingga ketika dia menyampaikan
hadis berdasarkan kitabnya dia juga akan mudah mendeteksi jika ada perubahan,
pergantian maupun kekurangan.
Adapun untuk mengetahui ke-dhabtitan seorang
perawi, menurut berbagai pendapat umala diketahui dengan cara sebagai berikut:
a. Berdasarkan
kesaksian ulama.
b. Berdasarkan
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi lain yang
telah dikenal ke-dhabt-annya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin pada
tingkat narfiahnya.
c. Apabila seorang
perawi itu sesekali mengalami kekeliruan, maka ia masih dapat dinyatakan
sebagai perawi yang dhabit. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi,
maka perawi yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai perawi yang dhabit.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa riwayat
seorang perawi dapat diterima jika memenuhi syarat:
a. Ketika
menyampaikan hadis (ada' a;-hadis) yaitu harus Islam, mukallaf (akil dan
baligh), Adil dan Dhabit.
b. Ketika menerima
hadis (tahammul al-hadis) cukup dengan tamyiz (mumayyiz)[11]
D.
Metode yang Digunakan
Perawi dalam Menerima Hadis
Pada umumnya ulama membagi metode yang digunakan
perawi dalam menerima hadis kepada delapan macam:
1.
As-sama'
As-sama' ialah penerimaan hadis dengan cara mendengar
secara langsung lafal hadis dari guru hadis (syaikh). Hadis ini didektekan atau
disampaikan dalam mengajian oleh guru hadis berdasarkan hafalannya atau
catatannya. Cara periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadis dinilai
sebagai cara yang tinggi kualitasnya.[12]
Mayoritas ulama hadis memberikan status tertinggi cara
as-sama' ini dalam periwayatan, dengan mengajukan dua alasan pokok, yaitu:
a.
Masyarakat waktu itu masih
menempatkan cara hafalan sebagai cara yang terbaik dalam menerima ilmu dari
pada melalui catatan. Oleh karenanya, kemampuan seseorang dalam bidang
menghafal akan menjadikannya memiliki kedudukan yang tertinggi. Sehingga metode
verbal sama juga dihargai lebih tinggi daripada metode nalar.
b.
Hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas menyatakan:
تسمعون ويسمع منكم ويبمع عمّن سمع
منكم
"Kalian mendengar (hadis
dari saya) kemudian dari kalian hadis itu didengar oleh orang lain, dari orang
lain tersebut hadis yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain
lagi."
Hadis tersebut memberikan isyarat bahwa periwayatan
hadis yang secara tegas diakui keabsahannya oleh Nabi adalah dengan cara
as-sama'. Sabda Nabi tersebut memang relevan dengan kondisi umat Islam pada
zaman itu, yakni umat yang mengandalkan hafalan dalam menuntut ilmu
pengetahuan.
Apabila perawi hendak meriwayatkan hadis yang diterima
dengan jalan ini, maka yang sangat baik dipergunakan lafadh:
قَرَأْتُ عَلَى فُلاَنٍ
“Saya baca di hadapan si-anu”
Atau
قُلِائ عَلَى فُلاَنٍ
وَاَنَااَسْمَعُ
“Telah dibaca di hadapan
si-anu sedang aku mendengarnya”
Salah
satu lafadh yang telah diterangkan di jalan pertama, asal dikaitkan dengan
bacaan, seperti dikatakan:
حَدَّثَنَاقِرَأَةً عَلَيْهِ
"Telah diceritakan kepada
kami dengan jalan membaca di hadapannya"
Atau
اَخْبَرَنَاقِرَأَةً عَلَيْهِ
"Telah dikhabarkan kepada
kami dengan jalan aku bacakan di hadapannya".[13]
Istilah atau kata yang dipakai untuk cara as'sama'
diantaranya ialah; sami'tu, sami'na, haddatsana, haddatsani, akhbarana, qala
lana, dzakara lana. Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak
disepakati ulama. Misalnya saja menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w.463 H = 1072
M), kata yang tertinggi adalah sami'tu kemudian haddatsana dan haddatsani.
Alasannya adalah, kata sami'tu menunjukkan kepastian periwayatan
mendengar langsung hadis yang diriwayatkannya. Sedang dua macam kata terakhir
masih bersifat umum; ada kemungkinan periwayat yang bersangkutan tidak mendengar
langsung.
2.
Al-qira'ah
Yaitu periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru
hadis dengan cara periwayatan itu sendiri membacanya atau orang lain yang
membacakannya dan dia mendengarkan.[14]
Riwayat hadis yang dibacakan itu bisa saja berasal dari catatannya atau bisa
juga dari hafalannya. Sedangkan guru (syaikh) hadis yang disodori bacaan
tadi aktif menyimak melalui hafalannya sendiri atau melalui catatan yang ada
padanya. Cara ini hampir mirip dengan pemeriksaan hafalan dalam menghafal
al-Qur'an.
Mengenai kedudukan penerimaan hadis dengan cara al-qira'ah
ini, ulama berbeda pendapat, menurut az-Zuhriy dan al-Bukhariy, cara al-qira'ah
sama kedudukannya dengan cara as-sama'. As-Suyuty, Ahmad bin Hambal dan
Ibn as-Salah menilai kedudukan as-sama' lebih tinggi daripada al-qira'ah.
Sedang Abu Hanifah menilai al-qira'ah lebih tinggi daripada as-sama'.
Apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap
riwayat hadis, maka cara al-qira'ah lebih berpeluang daapat terhindar
dari kesalahan atau lebih korektif dibandingkan dengan cara as-sama'.
Karena dalam cara al-qira'ah, pemeriksaan riwayat hadis dilakukan oleh
guru hadis selaku penyampai riwayat dan murid selaku penerima riwayat. Guru
hadis menyimak hadis yang dibacakan muridnya. Jadi dalam hal ini guru berfungsi
sebagai penguat dan pemeriksa terakhir terhadap hadis yang telah diperiksa oleh
murid.
Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan
cara al-qira'ah ada yang disepakati oleh ulama, antara lain adalah:
a.
"قرأت على فلان", kata-kata ini dipakai bila periwayat
membaca sendiri di hadapan guru hadis yang menyimaknya.
b.
"قرأت على فلان وأنا اسمع فأقربه", kata-kataini dipakai bila periwayat tidak
membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang guru
hadis menyimaknya.[15]
Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya
oleh ulama antara lain adalah kata haddatsana dan akhbarana yang
tanpa diikuti kata-kata lain.
3.
Al-Ijazah
Yaitu guru hadis memberikan ijin kepada seseorang baik
secara lisan maupun tulisan untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya.
Jenis ijazah ini ada dua macam:
a.
Al-ijazah disertai
al-munawalah, yang mempunyai dua bentuk:
1)
Seorang guru hadis yang
menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya lalu guru tadi berkata,
"Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang saya peroleh
ini."
2)
Seorang murid menyodorkan
hadis kepada guru, lalu guru memeriksanya, selanjutnya ia mengatakan:
"Hadis ini saya terima dari guru saya dan ansa saya beri ijazah untuk
meriwayatkan hadis ini dari saya."
b.
Al-Ijazah al-mujarradah (ijazah murni)
Diantaranya ialah ijazah diberikan kepada guru hadis
kepada:
1)
Orang tertentu untuk hadis
tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat dalam kitab Shahih- al-Bukhariy.
2)
Orang tertentu untuk semua
hadis yang telah didengarnya (diriwayatkannya), atau
3)
Orang yang tidak tertentu,
misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau hadis tidak tertentu.
Ijazah murni yang disebutkan pertama oleh mayoritas
ulama hadis dan fiqih disepakati kebolehannya, sedang ijazah murni lainnya masih
diperselisihkan.
Adapun kata-akata yang biasa dipakai oleh mayoritas
ulama diantaranya ialah haddatsana ijazatan, haddatsana idznan, ajaza lii,
anba'ani ijazatan, dan lain-lain.[16]
4.
المناولة
(al-munawalah)
Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadis
atau kitab untuk meriwayatkan. Misalnya, seorang guru berkata kepada muridnya,
"ini hadis dari saya, atau dari hasil pendengarannya," tanpa
mengatakan "riwayatkanlah dari saya". Metode ini mirip dengan ijazah.
Berdanya, dalam metode ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid
diberi ijazah boleh meriwayatkan hadis yang diberikan, sedangkan dalam
menawalah, ungkapan eksplisit itu tidak ada.
Al-Munawalah mempunyai dua bentuk:
a.
Al-Munawalah yang disertai jazah,
sebagaimana telah dikemukakan di atas
b.
Al-Munawalah yang tidak
disertai dengan ijazah, yaitu pemberian kitab oleh guru hadis kepada
muridnya sambil berkata: "Hadza min haditsi", artinya ini
hadis yang telah saya riwayatkan, atau "Hadza min Sima'ati",
artinya hadis yang telah saya dengar; dan guru tadi mengatakan "Irwihi
'Anni" yakni riwayatkanlah hadis ini dariku.
Adapun kata-kata yang biasa dipakai untuk cara al-munawalah
tanpa ijazah ialah nawalana atau nawalani.
5.
Al-Mukatabah
Yaitu seorang guru menuliskan hadis yang
diriwayatkannya atau orang lain atas permintaannya untuk diberikan kepada orang
tertentu, baik itu berada di hadapannya atau di tempat lain.
Cara al-Mukatabah ada dua macam:
a.
Al-Mukatabah yang disertai
dengan ijazah
b.
Al-Mukatabah yang disertai
dengan ijazah
Pada umumnya, ulama membolehkan kedua macam al-mukatabah
tersebut. Ibn as-Shalah menganggap al-mukatabah yang disertai ijazah
kekuatannya sama dengan al-munawalah yang disertai ijazah. Perbedaan
antara keduanya ialah bahwa al-munawalah hadis-hadisnya tidak mesti
dalam bentuk tulisan, sedangkan al-mukatabah hadi-hadisnya mesti
tertulis. Perbedaan lain adalah bahwa dalam al-mukatabah, ketika hadis dicatat
telah ada maksud untuk diberikannya kepada periwayat tertentu. Sedang dalam al-munawalah,
dalam hal ini yang berbentuk tulisan, maksud penyerahan guru tampaknya baru
muncul setelah hadis yang bersangkutan selesai ditulis. Kata-kata yang dipakai
untuk periwayatan cara al-mukatabah cukup banyak. Misalnya Kataba ilayya
fulan, Akhbarani bihi Mukatabatan, dan Akhbarani bihi Kitaban.[17]
6.
Al-I'lam
Yaitu guru hadis memberitahukan kepada muridnya, hadis
atau kitab hadis yang telah diterimanya dari periwayatannya, misalnya melalui as'sama',
tanpa diikuti pernyataan agar muridnya tadi meriwayatkannya lebih lanjut.
Ibn as-Shalah tidak menganggap sah periwayatan dengan
cara al-I'lam ini dengan alasan:
a.
Hadis yang diberitahukan
itu ada cacatnya, karenanya guru tersebut tidak menyuruh muridnya untuk
meriwayatkannya.
b.
Periwayatan cara al-I'lam
ini memiliki kesamaan dengan pemberitahuan seseorang saksi kepada orang lain
atas suatu, kemudian orang lain itu memberikan kesaksian tanpa izin dari saksi
yang sesungguhnya.
Namun kebanyakan ualma membolehkan al-i'lam
dengan alasan:
a.
Guru hadis tidak
menyatakan agar muridnya meriwayatkan hadisnya, tidak mesti ada cacat dalam
hadis tersebut
b.
Penganalogian al-i'lam
dengan kesaksian suatu perkara tidaklah tepat, karena kesaksian memang
memerlukan izin, sedang periwayatan tidak selalu perlu ada izin.
c.
Bila periwayatan dengan
cara as-sama dan al-qira'ah dinyatakan sah walaupun tanpa diikuti
adanya izin dari guru, maka al-i'lam harus diakui juga keabsahannya.
Adapun kata-kata yang lazim dipakai untuk cara al-i'lam
ialah Akhbarana I'laman atau kata-kata lain yang semakna.[18]
7.
Al-Washiyyah
Yakni seorang periwayat hadis mewasiatkan kitab hadis
yang diriwayatkannya kepada orang lain sebelum pemberi wasiat tersebut
melakukan perjalanan atau meninggal dunia.
Ulama berbeda pendapat tentang cara ini. Pangkal
perbedaannya hampir sama dengan periwayatan cara al-i'lam, yakni
sama-sama tidak diikuti pernyataan agar hadis itu diriwayatkan lebih lanjut.
Bagi yang membolehkan, mereka beralasan bahwa memberikan (mewasiatkan) kitab
kepada seseorang termasuk salah satu bentuk izin, sebagaimana cara al-i'lam.
Kata-kata yang biasa dipakai periwayatan cara wasiat
ini adalah Ausha ilaiyya, atau kata-kata yang semakna, dan tidak boleh
menggunakan kata-kata haddatsani Fulan bi kadza. Karena seorang guru
tidak pernah menyampaikan hadis dengan muhadasah.[19]
8.
Al-Wijadah
Yaitu seseorang, dengan tidak melalui cara as-sama'
atau ijazah maupun munawalah, mendapatkan hadis yang ditulis oleh
periwayatnya. Orang yang mendapat tulisan tersebut bisa saja semasa atau tidak
semasa dengan si penulis hadis, pernah atau tidak pernah bertemu, pernah atau
tidak pernah meriwayatkan hadis dari penulis yang dimaksud.
Adapun kata-kata atau pernyataan yang dipakai untuk
periwayatan dengan cara al-wijadalah ini, diantaranya ialah:
a.
|
-
وجدت بخط فلان حدثنا فلان
|
b.
|
-
وجدت فى كتاب فلان بخطه حدثنا فلان
|
c.
|
-
وجدت عن فلان أو: بلغنى عن فلان
|
d.
|
-
وجدت فى كتاب ظننت أنه بخط فلان
|
Dari pembahasan cara-cara penerimaan riwayat hadis di
atas dapatlah dinyatakan bahwa:
1.
Periwayat hadis ketika
menyampaikan suatu hadis harus mengemukakan sedikitnya dua hal: a) cara
penerimaan hadis yang telah ditempuhnya; dan b) nama-nama periwayat hadis yang
menyampaikan hadis itu kepadanya. Fungsi terpenting dari kedua hal ini adalah
sebagai pertanggung-jawaban sumber yang telah dipakai.
2.
Tidak seluruh penerimaan
riwayat hadis dinilai memiliki kualitas yang tinggi. As-sama, al-qira'ah,
al-ijazah al-maqrunah bi al-munawalah (al-munawalah al-maqrunah bi al-ijazah)
dan al-mukatabah, oleh mayoritas ulama dinilai lebih tinggi kualitasnya
daripada cara-cara yang selainnya.
3.
Kata-kata pernyataan yang
dia pakai sebagai penghubung antara periwayat dengan periwayat yang terdekat
sebelumnya, menggambarkan cara-cara penerimaan riwayat hadis yang telah dipakai
oleh periwayat yang bersangkutan, walaupun kata-kata itu ada yang disepakati
dan ada yang tidak disepakati oleh ulama. Selanjutnya, kata-kata tersebut ada
yang ditulis lengkap dan ada yang ditulis dalam bentuk singkatan. Misalnya kata
"حدثنا" ditulis "ثنا"
atau "نا" "حا";
kata "أخبرن" ditulis "هنا";
kata "حمثنى" ditulis "ثنى"
atau "دثنى" dan sebagainya.[20]
Dalam sanad hadis, sering pula dijumpai huruf "ح"
atau "حا" yang merupakan
singkatan dari pernyataan "التحويل سن إسنارالى إسناد" (perpindahan darisanad yang satu ke sanad
yang lain). Singkatan ini tidak dimaksudkan untuk menerangkan cara periwayatan,
melainkan untuk menunjukkan perpindahan sanad. Menurut an-Nawawiy, bila hadis
memiliki dua sanad atau lebih, maka ketika dikemukakan perpindahan sanad dari
yang satu kepada sanad yang lainnya, biasanya diberi tanda huruf tersebut.[21]
E.
Metode yang Digunakan
Perawi dalam Menyampaikan Hadis
1.
Periwayatan secara lafal (Ar-riwayah
bi al-lafz)
Periwayatan hadis secara lafal (ar-riwayah bi
al-lafz) ialah:
أَنْ يُؤَدِّي الرَّاوِي
الْحَدِيْثَ بِحُرُوْفِهِ عَلَى النَحْوِ الَّذِيْ تَحملُهُ بِهِ دُوْنَ
تَفْيِيْرٍفيه وتَبْدِيْلِ أَوْتَحْرِيْفٍ أوْزِيَادَةٍ أو نَقْصٍ
"Seorang perawi
menyampaikan hadis secara leterlek yaitu dengan lafal yang diterimanya, tanpa ada
perubahan, penggantian, penambahan maupun pengurangan sedikitpun."[22]
Menurut Subhi Shalih periwayatan adalah cara
periwayatan hadis yang disampaikan sesuai dengan lafal yang disabdakan oleh
Nabi SAW secara persis tanpa ada perubahan sedikitpun pada tatanan kalimatnya.
Atau dengan kata lain, meriwayatkan hadis dengan lafal yang masih asli dari
Nabi SAW.[23]
Hadis Nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal
(ar-riwayah bi al-lafz) oleh sahabat Nabi sebagai sanksi pertama, hanyalah
hadis yang dalam bentuk sabda (hadis qauliyyah), dan inipun sangat sulit
dilakukan kecuali untuk sabda-sabda tertentu. Sedangkan hadis-hadis dalam
bentuk lain yang berupa perbuatan (hadis fi'liyyah), taqrir Nabi dan
hall ihwal (ahwal Nabi) hanya mampu diriwayatkan oleh sahabat secara
makna dengan menggunakan ungkapan dari masing-masing sahabat berdasarkan
kesaksian masing-masing. Padahal jelas kemampuan sahabat dalam menangkap,
mengungkap dan menerjemahkan isyarat-isyarat dan perilaku Nabi tidak mungkin
sama. Untuk itu sangat membuka peluang terjadinya periwayatan secara makna.
Selanjutnya ulama ahli hadis sepakat akan keharusan
periwayatan hadis secara lafal untuk hadis-hadis berikut ini:
a.
Hadis-hadis yang berkaitan
dengan penyebutan-penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Mereka
memandangnya sebagai suatu hal yang taufiqiy dan tidak boleh diganti
dengan kalimat atau kata lain walaupun sepadan.
b.
Hadis-hadis yang
mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah (ta'abbudiy) misalnya
hadis-hadis do'a.
c.
Hadis-hadis tentang jawami'
al-kalim (جوامع الكلم),
yakni uangkapan pendek sarat makna yang mengandung nilai balaghah yang tinggi
dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan
makna hadis yang dimaksud.
d.
Hadis-hadis yang berkaitan
dengan lafal-lafal ibadah, misalnya hadis tentang azan, iqamat, takbir, salat,
sighat syahadat, dan sighat akad.[24]
Perlu ditegaskan pula, ulama ahli hadis sepakat bahwa
menjaga lafal hadis, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diterima dan
didengarnya, tanpa merubah, mengganti huruf atau hata, adalah lebih utama
daripada periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah
perkataan yang mengandung fasahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya. Dan
periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari
redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda). Bahkan redaksi hadis ini ada
yang menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadis.
2.
Periwayatan secara makna
(ar-riwayah bi al-ma'na)
Periwayatan hadis secara makna (ar-riwayah bi
al-ma'na) ialah:
أَنْ يُؤَدِّيَ الرَّاوِى
الْحَدِيْثَ الّذِىْ تحملُه بأَلْفَاظٍ مِنْ عِنْده كُلاًّ أَوْبَعْضًا مَعَ
المُحَافَظَةِ عَلَى كُلِّمَعْنَاهُ بِحَيْثُ لايَضِيْعُ منه شَيْءٌ إِذَا
مَاقُوْرِنَبِاللَّفْظِ الَّذِي تحمل الخدِيْثُ به.
“Seorang perawi menyampaikan
hadis yang diterimanya dengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik
keseluruhan maupun sebagian saja, dengan tetap menjaga artinya tanpa
menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan secara
lafal atau sesuai dengan teks aslinya”.[25]
Periwayatan secara makna juga bisa didefinisikan bahwa
periwayatan hadis dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri
oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain, apa yang diungkapkan oleh
Rasulullah SAW hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para
sahabat dengan lafal atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan
para sahabat memiliki kualitas daya ingatan yang beragam, ada yang kuat dan ada
pula yang lemah. Disamping itu, kemungkinan masanya sudah lama sehingga yang
masih diingat hanya maksudnya, sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak
diingatnya lagi.[26]
Konsep ar-riwayah bi al-ma'na, di kalangan umat Islam
masih sering dipahami secara salah. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa
setiap perbedaan redaksi pada hadis disebabkan oleh ar-riwayat bi al-ma'na.
Sehingga menurut mereka, ar-riwayah bi al-ma'na itu mencakup semua hadis
yang membahas tema yang sama dengan menggunakan redaksi yang berbeda. Maka,
bila menemukan suatu hadis dengan redaksi yang berbeda untuk satu tema, akan
langsung dikatakan bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan secara makna.
Ada beberapa faktor dan sebab pendukung terjadinya
periwayatan secara makna, diantaranya ialah:
a.
Tidak seluruh hadis Nabi
diriwayatkan secara mutawatir lafdziy, berbeda dengan periwayatan
al-Qur'an.
b.
Pada masa Nabi sampai masa
sahabat, hadis Nabi belum dibukukan (tadwin) bahkan pada awalnya para
sahabat tidak menulis hadis Nabi, kecuali untuk sahabat-sahabat tertentu.
Sedangkan periwayatan hadis banyak berlangsung secara lisan.
c.
Perbedaan kemampuan
periwayat dalam menghafal dan meriwayatkan hadis Nabi.
d.
Hanya hadis yang berbentuk
sabda (hadis qauliyyah) saja yang mungkin diriwayatkan secara tekstual.
Padahal hadis Nabi itu bisa berupa sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi.[27]
Ulama berbeda pendapat dalam hal hukum kebolehan
periwayatan hadis secara makna bagi orang cukup mampu menjaga lafal hadis.
Dalam hal ini pembahasan berkisar pada dua hal, yakni hukum ar-riwayah bi
al-ma'na sebelum tadwin dan sesudah tadwin.
a.
Ar-riwayah bi al-ma'na
sebelum tadwin
Tentang hukum ar-riwayah bi al-ma'na pada masa
sebelum dibukukannya (tadwin) hadis secara resmi, ulama berbeda
pendapat, mayoritas ulama membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang
telah memenuhi syarat, diantaranya harus mempunyai kemampuan bahasa yang
mendalam, sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat yang ditentukan,
mereka sepakat akan keharusannya untuk meriwayatkan hadis sesuai dengan lafal
yang diterima.
Penganut madzhab ini bermaksud untuk meringankan beban
dan kesulitan para periwayat dalam meriwayatkan hadis. Jika periwayat dituntut
untuk meriwayatkan hadis sesuai dengan lafal asli seperti ketika hadis itu
diterima, sedangkan catatan hadis tidak ada pada mereka, maka demikian itu akan
mempersulit mereka. Alasan lain, secara ijma, ulama membolehkan penerjemahan
hadis dari bahasa Arab ke bahasa asing (al-lughah al-a'jamiyyah) bagi
orang yang mengetahui bahasa tersebut. Logikanya, jika penerjemahan ke dalam
bahasa asing saja diperbolehkan, maka penerjemahan (perubahan) ke dalam bahasa
Arab sendiri dengan lafal yang semakna berarti lebih baik.
b.
Ar-riwayah bi al-ma'na
sesudah tadwin
Para ulama sepakat bahwa periwayatan hadis secara
makna tidak diperbolehkan sesudah hadis itu tertulis dalam kitab-kitab hadis.
Ketika hadis-hadis itu telah tertulis dalam kitab-kitab, maka lafal dan
hurufnya telah jelas. Oleh karenanya, periwayatan tidak diperbolehkan,
mengingat makna asal ar-riwayah (periwayatan) adalah memindahkan hadis
sesuai dengan lafal yang diterima dan didengar dari Nabi. Sedangkan ar-riwayah
bi al-ma'na menyimmpang dari makna asal ini.
Sementara alasan diperbolehkannya ar-riwayah bi
al-ma'na adalah karena adanya darurat dalam pelaksanaannya dan kondisi
khusus misalnya lupa lafalnya. Namun setelah dibukukannya hadis Nabi dalam
kitab-kitab, 'illah (alasan) yang menyebabkannya adanya rikhsah telah
hilang, suhingga tetap wajib untuk meriwayatkan hadis secara lafal.
Pandangan ulama tentang ar-riwayah bi al-ma'na, secara
garis besar dapat dikategorikan pada tiga macam, yaitu tidak boleh secara
mutlak, boleh secara mutlak dan boleh dengan syarat.
1) Tidak membolehkan secara mutlak
Pendapat ini berpegang ketat pada keharusan periwayata
hasi secara lafal, dan melarang sama sekali periwayatan secara makna. Mereka
ini termasuk golongan mutasyaddid dalam periwayatan. Ulama yang melarang
secara keras periwayatan hadis secara makna ini berargumentasi bahwa:
a) Perkataan Nabi mengandung fasahah dan balaghah yang tinggi
dan hadis-hadisnya merupakan agama yang bersumber dari wahyu Allah.
b) Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadis
"nabiyyika" dengan lafal lain "rasulika", yaitu
hadis dari al-Barra' bin 'Azib.
Selain itu mereka mendasarkan pendapatnya kepada dalil
naqli dan logika, diantara dalil naqli adlah hadis Nabi yang berbunyi:
رَحِمَ اللهُ اسْرَاءً سَمِعَ
مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا ثُمَّ أَدَّاهَا كَمَا سَمِعَهَا فَرُبَّ مُبلغٍ أَوْعَب
مِنْ سَامِعٍ (رواه الزعذى)
"Allah akan mengelokkan
rupa seseorang yang mendengar perkataan dariku dan menjaganya, kemudia ia
menyampaikan sebagaimana ia mendengarnya sendiri."
Alasan yang berdasarkan logika (aqli) yaitu,
jika periwayat diperbolehkan mengganti lafal Nabi dengan lafal dari dirinya
sendiri, maka periwayat pada tabaqat kedua juga akan mengganti lafal yang
didengar dari gurunya dengan lafalnya sendiri. Jika penggantian ini terjadi
pada tiap-tiap tabaqat, maka sangat mungkin lafal yang pertama akan hilang.
Karena walaupun manusia berusaha menyesuaikan setepat mungkin terjemahan dengan
aslinya, tidak mungkin dia akan terlepas dari perbedaan. Perbedaan inilah yang dikhawatirkan akan menyimpang
jauh dari makna atau lafal aslinya.[28]
Ulama yang termasuk golongan ini adalah Umar bin
Khattab, Abdullah bin Umar, al-Qasim, Muhammad bin Sirin, Imam Malik bin Anas,
Ahmad bin Hambal, dan lainnya.
2) Membolehkan secara mutlak
Pendapat yang kedua ini termasuk golongan mutasahil
dalam periwayatan. Pendapat ini merupakan bentuk yang terlarang, karena
dengan kesembronoan dan ketidak hati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan
perubahan-perubahan lafal yang menyebabkan perubahan makna. Namun demikian,
praktik seperti ini telah ada dan berkembang.
Periwayat yang termasuk dalam kelompok ini adalah
hasal al-Basriy, as-Sya'biy dan Ibrahim an-Nakha'iy. Dalam suatu riwayat
dijelaskan bahwa Hasan al-Basriy tidak memperdulikan perbedaan-perbedaan lafal
hadis yang diucapkan pada hari ini dan hari esok. Dia juga tidak memperdulikan taqdim,
ta'khir dan ziyadah maupun nuqson, asal maknanya masih sama.
Selain itu, ia beralasan bahwa yang termasuk dusta kepada Nabi adalah bagi
orang yang menyengaja (berbuat salah dan melakukan perubahan).
3) Membolehkan dengan syarat
Bentuk yang ketiga ini lebih bersifat sebagai penengah
(mutawasit) antara bentuk mutasyaddid dan mutasahul. Dengan
menentukan persyaratan-persyaratan, mereka menghendaki supaya periwayat tidak
terlalu sembrono dan lengah yang disebabkan oleh longgarnya ketentuan yang ada.
Selanjutnya mereka menganggap, bahwa ar-riwayah bi al-ma'na ii merupakan
rikhsah bagi periwayat dalam keadaan darurat, misalnya lupa lafal aslinya.
Pendapat yang ketiga ini banyak dianut oleh sahabat
dan tabiin, diantaranya Aisyah ra, Abu Sa'id al-Khudriy, Amr bin Dinar, Amr bin
Murrah, Sufyan as-Sauriy, Sufyan bin 'Uyainah dan lain-lain.
Mereka yang menganut bentuk yang ketiga ini mengajukan
argumentasi:
a) Perbedaan lafal hadis asal tidak merubah arti diperbolehkan; yang tidak
diperbolehkan adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
b) Mengganti lafal hadis Nabi dengan bahasa lain selain bahasa Arab saja
diperbolehkan, maka mengganti lafal hadis dengan bahasa Arab yang muradis
tentunya lebih baik.
c) Yang dilarang oleh agama adalah dusta kepada Nabi dan merubah
hadis-hadisnya. Sedangkan meriwayatkan secara makna dengan tetap menjaga maksud
hadis berarti boleh.[29]
Adapun syarat-syarat yang diajukan oleh ulama penganut
madzhab ini sangat beragam, baik itu berkaitan periwayat (sanad) maupun matan.
Misalnya Tahir al-Jawabiy dalam kitabnya Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matan
al-Hadis an-Nabawiy, menyebutkan syarat yang harus dimiliki oleh periwayat
yang meriwayatkan secara makna, diantaranya adalah:
a) Periwayat harus menguasai bahasa Arab secara mendalam dan yakin akan
maksud lafal, sasaran atau obyek pembicara serta perbedaan penggunaan lafal
dalam bahasa Arab.
b) Mengetahui tema hadis dan maksud (ucapan) hadis Nabi.
c) Hendaknya periwayat mendalami ilmu syari'ah, fiqih dan usulnya, supaya
mampu memahami hadis-hadis yang mengandung persoalan-persoalan syar'iy.
Sedangkan syarat-syarat yang berkaitan dengan matan
adalah:
a)
Hadis yang diriwayatkan
secara makn harus sama dengan aslinya dari sisi maknanya. Sedangkan perbedaan
dari segi susunan lafal merupakan suatu kewajaran sebagai konsekwensi adanya
penggantian lafal.
b)
Antara hadis yang
diriwayatkan secara mkna dengan lafal hadis aslinya harus sama dalam hal jala'
(arti jelasnya) dan khafa' (arti tersembunyi).
Ada beberapa syarat yang disepakati oleh jumhur,
yaitu:
a) Periwayat harus memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam.
b) Periwayat secara makna dilakukan karena sangat terpaksa.
c) Yang diriwayatkan secra makna bukan sabda yang bersifat ta'abbudiy, seperti
zikir, do'a, azan, dan hadis jawami' al-kalim.
d) Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna atau yang ragu akan
susunan matan hadis yang diriwayatkan, agar menambah lafal "Au Kama
Qala" atau yang semakna dengannya, setelah mengatakan matan hadis yang
bersnagkutan.
e) Kebolehan periwayatan hadis secara makna terbatas pada masa sebelum
kodifikasi (tadwin) hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa tadwin hadis,
periwayatan hadis harus secara lafal.
Abu Rayyah dengan mengutip pendapat al-Jazairiy
mengatakan bahwa ar-riwayah bi al-ma'na mengandung bahaya yang besar dan
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab perbedaan umat. Ada beberapa alasan
yang dikemukakannya, diantaranya adalah:
a)
Ar-riwayah bi al-ma'na yang menyebabkan
perbedaan redaksi akan menimbulkan kesalahan arti aau maksud hadis. Bahkan
menyebabkan kedustaan walaupun tanpa sengaja dengan menyandarkan perkataan
kepada Nabi, yang sebenarnya Nabi tidak mengatakan.
b)
Ar-riwayah bi al-ma'na bisa merusak
kesempurnaan makna hadis. Dengan menghilangkan salah satu lafal hadis,
khususnya yang mengandung istisna' maka suatu hadis menjadi tidak
sempurna maknanya bahkan berubah atau risak.
Ada beberapa hal yang menjadi implikasi dari adanya bentuk
periwayatan dengan makna diantaranya:
a) Adanya bentuk periwayatan hadis dengan cara al-ikhtisar (meringkas)
dan at-taqti' (memenggal). Maksudnya, meriwayatkan sebagian lainnya.
Periwayatan hadis dengan cara ini memberi praduga adanya pengurangan pada salah
satu riwayatnya, baik itu disengaja atau karena lupa.
b) Adanya at-taqdim (mendahulukan lafal yang tidak semestinya
didahulukan) dan at-ta'khir (mengakhirkan lafal yang mestinya
didahulukan). Adanya at-taqdim dan at-ta'khir, jika sampai
merubah dilalah, tidak diperbolehkan, karena akan menyebabkan hadis yang
bersangkutan menjadi dhaif dan masuk pada kategori hadis maqlub.
c) Adanya az-ziyadah dan an-nuqsan. Maksudnya adalah menambaj
atau mengurangi lafal (matan) hadis yang sebenarnya. Penambahaan atau pengurangan
lafal hadis yang dilakukan oleh perawi karena meriwayatkannnya secara makna
adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Kalau lafal tambahan dari
masing-masing perawi itu saling menjelaskan atau melengkapi, tidak menimbulkan
masalah. Namun jika lafal tambahan itu menjadikannya saling bertentangan, ini
akan membahayakan. Karena akan menyebbakan hadis yang bersangkutan menjadi
dhaif dan masuk pada kategori hadis mudraj atau hadis mudhtharib.
d) Adanya al-ibdal, yaitu mengganti huruf, kata, atau kalimat. Bentuk
ini hampir bisa dipastikan ditemukan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan secara
makna. Penggantian tersebut ada yang merusak makna dan ada yang tidak.[30]
F.
Periwayatan Hadis dari Abad I – Pertengahan Abad VII H
1.
Periode pertama (pada abad I H) pada masa Rasulullah
Periode ini, disebut dengan
عَصْرُالْوَحْرِوَالتَّكْوِيْنِ
"Masa
turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam"
a.
Kebijakan Rasulullah tentang hadisnya
1)
Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk
menghafal dan menyampaikan/menyebarkan hadis-hadisnya.
2)
Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis
hadis-hadisnya.
3)
Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat untuk
menulis hadis-hadisnya.
b.
Shahifah (catatan) hadis pada zaman Rasulullah
Pada zaman
Rasul, ternyata tidak sedikit diantara sahabat yang secara pribadi telah
berusaha mencatat hadis-hadis rasul.
Diantara
para sahabat yang telah menulis hadis-hadis Nabi dalam shahifah-shahifah,
ialah: Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah Al-Anshary, Abdullah bin
Abi Aufa, Samurah bin Jundab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abu Bakar
Ash-Shiddiq.
c.
Peristiwa dan cara penyampaian hadis
Hadis Rasul
ada yang bernetuk sabda, perbuatan, hal ihwal dan taqrir Rasulullah.
Hadis-hadis rasulullah disampaikan dalam berbagai peristiwa dan cara, yakni:
1)
Pada majelis-majelis Rasulullah
2)
Pada peristiwa yang Rasulullah mengalaminya kemudian
beliau menerangkan hukumya.
3)
Pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin,
kemudian menanyakan hukumnya kepada Rasulullah.
4)
Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh para
sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan Rasulullah.
d.
Cara-cara sahabat menerima dan menyampaikan hadis
1)
Cara-cara sahabat menerima hadis
-
Secara langsung dari Nabi
-
Secara tidak langsung dari nabi
2)
Cara-cara sahabat menyampaikan hadis
-
Dengan lafadz asli atau secara lafdziyah
-
Dengan makna saja, atau secara maknawy
e.
Sebab-sebab para sahabat tidak sederajat
pengetahuannya tentang hadis antara lain tempat tinggal yang jauh, kesibukan
sehari-hari, intelektual dan kecakapan, keintiman/keakraban pergaulannnya
dengan Nabi, dan masa cepat atau lambatya masuk Islam.[31]
2.
Periode kedua (pada abad I H) pada masa Khulafa'ur
Rasyidin
Periode ini disebut:
زَمَنُ التَّثَبُّتِ وَاْلإِقْلاَلِ مِنَ الرِّوَايَةِ
"Zaman
kehati-hatian dan penyederhanaan riwayat".
Periode ini
terjadi pada zaman Khulafa'ur Rasyidin atau zaman sahabat besar. Yakni, dimulai
sajak wafatnya Rasul sampai berakhirnya khalifah Ali bin Abi Thalib.
a.
Pembinaan dan pengembangan hadis pada zaman Khulafa'ur
Rasyidin
1)
Khalifah Abu Bakar dan Umar
Khalifah Abu
Bakar dan Umar menyerukan kepada umat Islam untuk lebih berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis serta meminta kepada para sahabat untuk menyelidiki riwayat.
Kebijakan
ini dimaksudkan:
a) Untuk memelihara Al-Qur'an
b) Agar umat Islam, perhatiannya
hanya tercurah kepada pengkajian dan penyebaran Al-Qur'an.
c) Agar masyarakat tidak
bermudah-mudah dalam meriwayatkan hadis.
Akibat dari
kebijakan ini ialah:
a)
Periwayatan hadis, sedikit sekali (sangat terbatas).
b)
Hadis dan ilmu hadis, belum merupakan pelajaran yang
bersifat khusus.
c)
Pengetahuan dan penghafalan hadis, umumnya masih
bersifat indvidual.
2)
Pada masa Khalifah Ustman dan Ali
Pada masa
Khalifah Ustman dan Ali, keadaannya tidak terlalu berbeda dengan keadaan masa
Khalifah Abu Bakar dan Umar, tentang sikap Khalifah terhadap periwayatan dan
pendewanan hadis.
b.
Sikap dan cara sahabat mengembangkan hadis pada
periode kedua
1)
Sikap sahabat dalam mengembangkan hadis
a)
Sangat memperhatikan rawi dan matan hadis dalam hal
periwayatan dan penerimaan hadis.
b)
Tidak memperbanyak periwayatan dan penerimaan hadis.
c)
Para sahabat kecil, telah mulai banyak yang mengadakan
perlawatan ke daerah-daerah/luar kota Madinah, sebab para sahabat besar telah
mulai banyak yang meninggal dunia.
2)
Cara sahabat menyampaikan hadis
a) Dari mulut ke mulut, jadi belum
secara tertul;is.
b) Periwayatan dengan cara lafdziyah
dan ma'nawiyah.
c) Banyak bersandar kepada ingatan
dan hafalan.[32]
3.
Periode Ketiga (Abad I H)
Periode ini disebut:
زَمَنُ اِنْتِشَارِالرِّوَايَةِ إِلَى اْلاَمْصَارِ
"Zaman
penyebaran riwayat ke kota-kota."
a.
Sikap umat Islam terhadap periwayatan hadis
Umat Islam,
pada periode ini telah mulai mencurahkan perhatiannya terhadap periwayatan
hadis. Hal ini disebabkan:
1)
Al-Qur'an telah dikodifikasikan
2)
Peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh umat Islam
telah makin banyak. Dan ini berarti memerlukan petunjuk-petunjuk dari
hadis-hadis Rasulullah yang lebih banyak lagi, disamping petunjuk-petunjuk
Al-Qur'an yang mereka tetap pegang.
3)
Jumlah sahabat yang meninggal dunia telah bertambah
banyak dan yang masih hidup telah banyak yang terpencar-pencar tempatnya di
daerah-daerah.
b.
Cara umat Islam meriwayatkan hadis
1)
Para sahabat lebih berhati-hati dalam meriwayatkan dan
menerima hadis
2)
Bentuk periwayatan hadis pada periode ini, masih sama
dengan periode sebelumnya, yakni dengan cara
a)
Dari mulut ke mulut, jadi belum secara tertulis dan
olehnya itu belum dalam bentuk kodifikasi.
b)
Periwayatan dilakukan dengan lafdziyah dan ma'nawiyah.
c)
Bersandar kepada ingatan dan hafalan.[33]
4.
Periode Keempat (abad II Hijriah)
Periode ini disebut:
عَصْرُالْكِتَابَةِ والتَّدْوِيْنِ
"Masa
penulisan dan pendewanan/pembukuan hadis."
Periode
keempat ini, dimulai masa khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai akhir abad II
Hijry (menjelang akhir masa dinasti Abbasiyah angkatan pertama).
Khalifah
Umar bin Abdul Aziz melihat, bahwa Rasulullah dan Khulafa'ur Rasyidin tidak
membukukan hadis Rasul, dianatar sebabanya yang terpenting adlah karena
dikhawatirkan akan terjadi bercampur aduknya Al-Qur'an dengan yang bukan
Al-Qur'an, sedangkan pada saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan,
Al-Qur'an telah selesai dikodifisir secara resmi dan lestari. Dengan demikian,
maka bila hadis-hadis Rasul didewankan/dikofikasikan, tidaklah akan mengganggu
kemurnian Al-Qur'an.[34]
Atas dasar
pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka penghujung tahun 100 H, Khalifah Umar
menulis surat instruksi kepada para gubernurnya dan juga kepada para ulama
untuk mendewankan/membukukan hadis.
Ulama-ulama
yang terkenal telah berhasil mendewankan hadis-hadis Nabi, setelah masa
Muhammad Ibnu Hazim dan Muhammad Ibnu Syihab Az-Zuhry, diantaranya ialah:
1. Di Mekah
|
:
|
Ibnu Juraij (80-150 H / 669-767 M)
|
2. Di Madinah
|
:
|
1. Ibnu Ishaq (W. 151 H / 768 M)
2. Malik bin Anas (93-179 H / 703 – 798 M)
|
3. Di Basrah
|
:
|
1. Ar-Rabi' Ibnu Shabih (W. 160 H)
2. Said Ibnu Abi Arubah (W. 156 H)
3. Hammad Ibnu Salamah (W. 176 H)
|
4. Di Kufah
|
:
|
Sufyan Ats-Tsaury (W. 161 H)
|
5. Di Syam
|
:
|
Al-Auza'iy (W. 156 H)
|
6. Di Wasith
|
:
|
Husyain Al-Wasithy (W. 188 H / 804 M)
|
7. Di Yaman
|
:
|
Ma'mar Al-Azdy (95-153 H / 753 – 770 M)
|
8. Di Rei
|
:
|
Jarir Adl-Dlabby (110-188 H / 728 – 804 M)
|
9. Di Khurasan
|
:
|
Ibnu Mubarak (118 – 181 H / 735 – 797 M)
|
10. Di Mesir
|
:
|
Al-Laits Ibnu Sa'ad (W. 175 H)[35]
|
Diantara
kitab-kitab hadis pada periode ini adalah: Al Muwattha', Musnad Asy-Syafi'i,
Mukhtaliful hadis, dan As-Siratun Nabawiyah.
Ciri-ciri
sistem pembukuan hadis pada periode ini:
1. Hadis yang disusun dalam
dewan-dewan hadis, mencakup hadis-hadis rasul, fatwa-fatwa sahabat dan Tabi'in.
2. Hadis yang disusun dalam
dewan-dewan hadis, umumnya belumlah dikelompokkkan berdasarkan judul-judul (maudlu')
masalah-masalah tertentu.
3. Hadis-hadis yang disusun,
belumlah dipisahkan antara yang berkualitas shahih, Hasan dan Dha'if.[36]
5.
Periode kelima (Abad III H)
Periode ini disebut:
عَصْرُالتجرِيْدِوَالتَصْحِيْعِ وَالتَنْقِيعِ
"Masa
pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan."
Periode ini
dimulai sejak masa akhir pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan pertama
(Khalifah Al-Ma'mun) sampai awal pemerintahan dinasti Abbasiyah angkatan kedua
(Khalifah Al-Muqtadir).
Keadaan umat
Islam pada periode ini yakni adanya pertikaian faham dikalangan ulama, sikap
penguasa terhadap ulama hadis, dan kegiatan para pemalsu hadis. Untuk itu pra
ulama melakukan kegiatan dalam melestarikan hadis-hadis diantaranya:
Kegiatan
yang ditempuh: 1) mengadakan perlawatan ke daerah-daerah yang jauh, 2) sejak
permulaan abad II H, ulama hadis telah mengadakan klasifikasi antara
hadis-hadis yang marfu', mauquf, maqthu' serta seleksi kualitas hadis shahih
dan dhaif, 3) menghimpun segala kritik yang telah dilontarkan oleh ahli ilmu
kalam, baik ditujukan kepada pribadi perowi maupun kepada matan hadis, 4)
penyusunan kitab fiqh dengan menyajikan bab-bab tertentu dikenal dengan metode
mushannaf.[37]
Bentuk
penyusunan kitab hadis pada masa ini yakni kitab shahih, kitab sunan dan kitab
musnad. Selain itu ada juga kitab-kitab standar seperti: khutubul khamsah,
kutubus sittah, dan kutubus sab'ah.
6.
Periode keenam (Abad IV sampai pertengahan abad VII H)
Periode ini disebut:
عَصْرُالتَّهْذِيْبِ وَالتَّرْتِيْبِ وَإِْلاِسْتِدْ
رَاكِ وَالْحَمْعِ
"Masa
pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan."
Periode
keenam ini, terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah angkatan kedua (Khalifah
Al-Muqtadir sampai Khalifah Al-Mu'tashim). Pada periode ini ulama hadis pada
umumnya hanya memperpegangi kitab-kitab hadis yang telah ada, sebab-sebab
hadis. Kegiatan ulama yang menonjol dalam memelihara dan mengembangkan hadis
Nabi yang telah terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut adalah: mempelajari,
menghafalkan, memeriksa dn menyelidiki sanad-sanadnya, serta menyusun
kitab-kitab haru dengan tujuan untuk memelihara, menertibkan dan menghimpun
segala sanad dan matan yang saling berhubungan. Adapun kitab-kitab pada masa
ini yakni: Kitab Alhraf, Kitab Mustakhraj, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami'.[38]
DAFTAR
RUJUKAN
Al-Khatib,
Muhammad 'Ajjaj, Usul al-Hadis 'Ulumuhwa Mustalahuh, Beirut: Dar
al-Fikr, 1989.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pokok-pokok
Ilmu Dinayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
http://siskanajwa.blogspot.com/2011/11/metode-periwayatan-hadis-oleh-siska.html,
diakses 15 Januari 2012
Ibn As-Shalah, Ibn
Abdurrahman Asy-Syahrazuwariy, 'Ulum al-Hadis, Madinah: Maktabah
al-Ilmiyyah, 1996.
Ismail, M. Syuhudi , Ilmu
Hadis, Bandung: Angkasa, 1991.
----------, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Ismail, Syuhudi, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Noorhidayati, Salamah, Ar-Riwayah
bi Al-Ma'na (Studi tentang Metode Periwayatan Hadis), Yogyakarta: Fak.
Ushuluddin, 1998.
----------, Diklat
Ulumul Hadis, Tulungagung, STAIN Tulungagung, 2002.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar
Mushtalah al Hadis, Bandung: Al Ma'arif, 1995.
Rayyah, Mahmud Abu, Adlwa
'Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah Auw Difa' al-Hadis, Mesir: Dar al-Ma'arif,
tt.
Shatih,
Subhi, Ulumul al-hadis wa Mustalahuh, Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin,
1988.
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Zuhri, Muh. Hadis Nabi
Telaah Historis dan Metodologi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003.
[10] Salamah
Noorhidayati, Ar-Riwayah bi Al-Ma'na (Studi tentang Metode Periwayatan
Hadis), (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 1998), 15
[14] M. Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 61
[15] Ibn
Abdurrahman Asy-Syahrazuwariy Ibn As-Shalah, 'Ulum al-Hadis, (Madinah:
Maktabah al-Ilmiyyah, 1996), 123
[16] Muh. Zuhri, Hadis
Nabi Telaah Historis dan Metodologi, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2003), 107
[19] Muhammad 'Ajjaj Al-Khatib, Usul al-Hadis 'Ulumuhwa Mustalahuh, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), 243
[26] http://siskanajwa.blogspot.com/2011/11/metode-periwayatan-hadis-oleh-siska.html,
diakses 15 Januari 2012
[28] Mahmud Abu
Rayyah, Adlwa 'Ala as-Sunnah al-Muhammadiyyah Auw Difa' al-Hadis, (Mesir:
Dar al-Ma'arif, tt), 78-79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar