KURIKULUM
PENDIDIKAN ISLAM FASE MAKKAH & MADINAH
Oleh:
Aminatul Zahroh
Penulis
Buku & Akademisi Pascasarjana
A.
Pengertian Kurikulum
Kata kurikulum berasal dari bahasa
Yunani yang semula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu “currere” yang berarti jarak tempuh lari,
yakni jarak yang harus ditempuh dari kegiatan berlari mulai dari start sampai finish. Pengertian ini
kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Arab, istilah
kurikulum diartikan sebagai “manhaj”,
yakni jalan terang atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang
kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang
dilalui oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilai-nilai. Al-Khauly menjelaskan al-manhaj sebagai seperangkat rencana
dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan
pendidikan.[1]
Pengertian
kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli rupanya sangat bervariasi, akan
tetapi dari beberapa definisi tersebut ditarik benang merah, bahwa disatu pihak
ada yang menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah dan dipihak lain lebih
menekankan pada proses atau pengalaman belajar.[2]
Pengertian yang
lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah,
dalam arti sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah di sekolah atau perguruan
tinggi, yang haru ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat, juga
keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga. Atau menurut
al-Syaibany terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang dikemukakan oleh guru
atau sekolah atau institusi pendidikan lainnya dalam bentuk mata pelajaran-mata
pelajaran atau kitab-kitab karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh
para peserta didik dalam tiap tahap pendidikannya. Definisi yang dikemukakan
oleh Kemp, Marrison dan Ros menekankan pada isi mata pelajaran dan
ketrampilan-ketrampilan yang termuat dalam suatu program pendidikan. Demikian
pula definisi yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 2/1989. Definisi
kurikulum yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dikembangkan ke arah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untu mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan demikian ada tiga komponen
yang termuat dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara
pembelajaran baik yang berupa strategi pembelajaran maupun evaluasinya.[3]
Definisi yang
dikemukakan oleh Kamil dan Sarhan menekankan pada sejumlah pengalaman
pendidikan, budaya, sosial, olahraga, dan seni yang disediakan oleh sekolah
bagi para peserta didiknya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud mendorong
mereka untuk berkembang menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku
mereka sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Doll menekankan pada
semua pengalaman yang ditawarkan kepada peserta didik dibawah bimbingan atau
bantuan sekolah atau perguruan tinggi. Pengalaman tersebut dapat berlangsung di
sekolah atau perguruan tinggi itu sendiri, di rumah atau masyarakat. Termasuk
di dalamnya berbagai upaya guru/dosen dalam mendorong terjadinya pengalaman
tersebut serta berbagai fasilitas yang mendukungnya. Definisi yang senada
dikemukakan oleh Saylor dan Alexander, bahwa kurikulum adalah segala usaha
sekolah/perguruan tinggi yang bisa menghasilkan atau menimbulkan hasil-hasil
belajar yag dikehendaki, apakah di dalam situasi-situasi sekolah ataupun di
luar sekolah/perguruan tinggi. Demikian pula Olivia yang mendefinisikan kurikulum
sebagai rencana atau program yang menyangkut semua pengalaman yang dihayati
peserta didik di bawah pengarahan sekolah atau perguruan tinggi.[4]
B.
Kurikulum Pendidikan Islam Fase Makkah dan Fase
Madinah
Salah satu
komponen operasional pendidikan Islam adalah kurikulum, ia mengandung arti yang
diajarkan secara sistematis dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada
hakekatnya antara materi dan kurikulum mengandung arti yang sama, yaitu
bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu
sistem institusional pendidikan. Seseorang yang akan membuat lesson
plan tidak cukup hanya mempunyai kemampuan membuat rumusan tujuan
pengajaran. Ia juga harus menguasai materi pengajaran. Bahkan rumusan tujuan
pengajaran itu diilhami oleh antara lain materi pengajaran. Oleh karena itu,
guru harus menguasai materi pengajaran.[5]
Kurikulum
pendidikan Islam pada periode Rasulullah baik di Makkah maupun Madinah adalah
al-Qur’an, yang Allah wahyukan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan
peristiwa yang dialami oleh umat Islam saat itu. Karena itu dalam praktiknya
tidak saja logis dan rasional tetapi juga secara fitrah dan pragmatis. Hasil
dari cara yang demikian itu dapat dilihat dari sikap ruhani dan mental para
pengikutnya yang dipancarkan ke dalam sikap hidup yang bermental dan semangat
yang tangguh, tabah dan sabar tetapi aktif dalam memecahkan masalah yang
dihadapinya. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya ternyata mereka ini
merupakan kader inti muballiq dan pendidik pewaris Nabi yang brillian dan
militant dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan.[6]
Rasulullah juga
menyuruh para sahabat untuk mempelajari bahasa asing. Rasulullah berkata kepada
Zait bin Tsabit: “saya hendak berkirim
surat kepada kaum Suryani, saya khawatir kalau mereka akan menambah-nambah atau
mengurangi sebab itu hendaklah engkau mempelajari bahasa Suryani (bahasa
Yahudi).” Lalu Zait bin Tsabit mempelajari bahasa Yahudi itu sehingga ia
menjadi ahli bahasa itu. Statement
ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam sifatnya universal, berlaku untuk semua
umat di dunia, bukan hanya tertentu untuk masyarakat Makkah dan Madinah. Di
samping itu, pernyataan Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa materi pelajaran
yang berasal dari dunia luar bukan barang haram bagi Islam (artinya sesuatu
yang tidak boleh dipelajari) akan tetapi hal yang wajib dilakukan untuk
pengembangan dakwah dan pendidikan Islam ke dunia luar Islam.[7]
Mahmud Yunus
mengklasifikasikan materi pendidikan kepada dua macam, yaitu materi pendidikan
yang diberikan di Makkah dan materi pendidikan yang diberikan di Madinah. Pada
fase Makkah terdapat tiga macam inti sari materi pelajaran yang diberikan di
Makkah: yaitu keimanan, ibadah dan akhlak. Dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama,
pendidikan keimanan. Materi keimanan
yang menjadi pokok pertama adalah iman kepada Allah Yang Maha Esa, beriman
bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah, diwahyukan kepada al-Qur’an sebagai
petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Muhammad sebagai Nabi dan
Rasul adalah guru yang pertama mendidik dan mengajar manusia, supaya bahagia dari
dunia sampai ke akhirat, dalam satu masyarakat yang adil dan makmur, lahir dan
batin dalam arti kata yang sederhana. Beriman kepada hari akhir, hari
pembalasan; amal baik dibalas dengan kebaikan dan amal buruk dibalas dengan
siksa. Untuk kebaikan ganjaran pahala dan surga sementara dosa ganjarannya
siksa dan neraka. Kedua, pendidikan ibadah. Amal ibadah yang diperintahkan di
Makkah ialah shalat, sebagai pernyataan mengabdi kepada Allah, ungkapan syukur,
membersihkan jiwa dan menghubungkan hati kepada Allah. Dengan sembahyang dapat
terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Mula-mula Nabi sembahyang bersama
sahabat-sahabat di rumah al-Arqam dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian setelah
dakwah mulai tersiar ke seluruh penjuru baru dilaksanakan secara
terang-terangan. Pada awalnya shalat belum lima kali sehari semalam. Akan
tetapi, setelah terjadi peristiwa Isra’ mi’raj barulah diwajibkan Allah lima
kali sehari semalam (tahun 11 SM/621 M). Adapun pelaksanaan zakat masa Mekkah,
berarti sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim dan membelanjakan harta
ke jalan kebaikan (amal sosial). Pendeknya zakat belumlah diatur dan diperinci
sebagaimana yang dilakukan Nabi di Madinah. Ketiga, pendidikan akhlak.
Nabi menganjurkan penduduk Makkah yang telah masuk Islam agar melaksanakan
akhlak yang baik, seperti adil, menepati janji, pemaaf, tawakkal, bersyukur
atas nikmat Allah tolong-menolong, berbuat baik kepada ibu bapak, member makan
orang miskin dan orang musyafir dan meninggalkan akhlak yang buruk.[8]
Inti sari
pendidikan agama yang diterapkan Nabi di Madinahdapat diklasifikasikan sebagai
berikut: Pertama, pendidikan keimanan. Tentang keimanan diperkuat dengan
keterangan-keterangan yang dibacakan oleh Nabi dari ayat-ayat al-Qur’an, serta
sabda beliau sendiri. Di Madinah ditetapkan keimanan itu terdiri dari enam
perkara: iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
rasul-rasul, dan iman kepada takdir. Kedua, pendidikan ibadah. Untuk ibadah shalat disamping shalat lima
waktu yang telah disampaikan di Makkah ditambah dengan shalat Jum’at, sebagai
ganti dhuhur. Di samping itu, shalat-shalat sunnah seperti shalat idul fitri
dan idul adha. Shalat dianjurkan tepat pada waktunya, sehingga ia menjadi tiang
agama. Ibadah puasa diperintahkan di Madinah pada tahun 2 hijrah (623 M), yaitu
puasa di bulan ramadhan. Ibadah haji diperintahkan pada tahun 6 hijrah.
Sementara ibadah zakat dalam al-Qur’an tidak diperincikan, hanyalah Nabi yang
menerangkan perinciannya. Al-Qur’an menerangkan orang-orang yang berhak
menerima zakat. Ketiga, pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak yang diberikan di
Makkah lebih diperinci lagi, seperti adab masuk rumah, adab bercakap-cakap,
bertetangga, bergaul dengan masyarakat, dan lain-lain. Keempat, pendidikan
kesehatan (jasmani). Pendidikan kesehatan dapat dilihat dari amal ibadah yang
dilakukan sehari-hari, seperti puasa, shalat, wudhu, mandi. Dalam al-Qur’an
ditegaskan supaya makan dan minum secara sederhana, tidak berlebih-lebihan dan
sebagainya. Kelima, pendidikan kemasyarakatan. Zakat termasuk ibadah yang
sangat penting di masyarakat. Syariat yang berhubungan dengan masyarakat
misalnya; hal yang berhubungan dengan rumah tangga yang dinamai: hal-hal
perseorangan, seperti hukum pernikahan dan hukum warisan; hal-hal yang
berhubungan dengan pergaulan sesama manusia, seperti hukum perdata; hal-hal
yang berhubungan dengan qishas, ta’zir, seperti hukum pidana; dan
hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi pemerintahan.[9]
Zukhairini
meteri pendidikan pada fase Makkah kepada dua bagian yaitu (1) pendidikan
tauhid; (2) pengajaran al-Qur’an.[10]
Pertama, materi pendidikan tauhid dalam teori dan praktiknya.
Materi ini lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawa
oleh Nabi Ibrahim, yang telah diselewengkan oleh kaum jahiliah. Secara teoritis
inti sari ajaran tauhid terdapat dalam kandungan surat al-fatihah ayat 1-7 dan
surat al-ikhlas ayat 1-5. Secara praktis pendidikan tauhid diberikan melalui
cara-cara yang bijaksana, menuntun akal pikiran dengan mengajak umatnya untuk
membaca, memerhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri
manusia sendiri. Kemudian beliau mengajarkan cara bagaimana mengaplikasikan
pengertian tauhid tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah langsung
menjadi contoh bagi umatnya. Hasilnya, kebiasaan masyarakat Arab yang memulai
perbuatan atas nama berhala, diganti ucapan bissmilahirrahmanirrahim.
Kebiasaan menyembah berhala, maka diganti dengan mengagungkan dan menyembah
Allah swt.
Kedua, materi pengajaran al-Qur’an. Pada awal turunnya
al-Qur’an, para sahabat mempelajari al-Qur’an dirumah-rumah, seperti di rumah
al-Arqam bin Arqam. Mereka berkumpul membaca al-Qur’an, memahami setiap
kandungannya dengan cara mentadarusinya secara sembunyi-sembunyi. Ketika Umar
bin Khatab masuk Islam mereka kemudian bebas membaca dan mempelajarinya. Pada
masa Nabi terbagi dua, pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan
penghayatan dan pengumpulan dalam dokumen atau catata berupa penulisan pada
kitab maupun berupa ukiran. Al-Qur’an dipelajari dengan mudah sesuai dengan
dielek yang digunakan masing-masing daerah yang dikenal qira’ah sa’ah (tujuh huruf).[11]
pada fase
Madinah, materi yang diberikan cakupannya lebih kompleks dibandingkan materi
pendidikan pada fase Makkah, seperti: (1) pembentukan dan pembinaan masyarakat
baru, menuju kesatuan sosial dan politik; (2) materi pendidikan sosial dan
kewarganegaraan, yang terdiri dari pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara
kaum muslimin, pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat yang dimaksud
dengan keluarga adalah suami, istri dan anak-anaknya, yang intinya terbentuk
umat manusia yang lebih luas, tenteram dan damai; (3) materi pendidikan khusus
anak-anak. Pendidikan untuk anak berupa: pendidikan tauhid, pendidikan shalat,
pendidikan adab sopan santun dalam keluarga, pendidikan adab sopan santun dalam
masyarakat, pendidikan kepribadian; dan (4) materi pendidikan pertahanan dan
ketahanan dakwah Islam.[12]
Disamping materi
pendidikan yang telah disampaikan di atas, terdapat juga materi baca tulis.
ketika terjadi perang Badar ada beberapa orang musuh yang dapat ditawan kaum
muslimin. Orang-orang tawanan yang mampu baca tulis, dapat menebus dirinya
dengan mengajarkan baca tulis kepada 10 orang anak-anak Madinah. Setelah
anak-anak yang diajar tawanan itu mampu baca tulis, mereka bebas dari tawanan
dan boleh kembali ke negerinya. Belajar baca tulis bukan hanya khusus
anak-anak, bahkan juga wanita. Nabi kepada Al-Syifak, supaya mengajarkan tulis
indah kepada Hafsah.[13]
Selain belajar baca
tulis, Nabi juga menyuruh sahabat untuk belajar bahasa asing. Nabi berkata
kepada Zaid bin Tsabit, “Saya hendak
berkirim surat kepada kaum Suryani, Saya khawatir kalau mereka akan
menambah-nambah atau mengurangi sebab itu hendaklah engkau mempelajari bahasa
Suryani (bahasa Yahudi).” Lalu Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa Yahudi
itu, sehingga ia menjadi ahli dalam bahasa tersebut.
Disamping materi
pendidikan Islam di atas, apa dasarnya bidang pendidikan masih banyak yang
diterapkan Rasulullah, seperti materi pendidikan ekonomi Islam. Berkenaan hal
ini banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang membahas tentang
aturan-aturan Islam tentang jual beli, karena kondisi masyarakat Arab
Makkah-Madinah yang gemar berdagang (at-tijarah),
misalnya: Nabi Muhamad saw., pernah mengatakan seorang muslim yang baik adalah
orang yang mau bersusah payah untuk mencukupi hidupnya, pergi ke hutan untuk
mencari kayu dan kemudian menjualnya demi membeli makanan yang akan dimakan
oleh anak keluarganya. Orang yang demikian jauh lebih baik daripada pengemis
yang hanya mengharapkan bantuan dan belas kasih sayang orang lain. dalam jual
beli agar tidak terjadi kekeliruan perlu dituliskan dan tidak boleh berlaku
curang dan berbuat riba.[14]
C.
Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Para Ahli.
Kurikulum
pendidikan Islam merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses
pendidikan Islam. Kekeliruan dalam penyusunan kurikulum, menyebabkan ahli
pendidikan mengemukakan berbagai macam ketentuan guna penyusunan kurikulum itu.
Beberapa ahli
mengatakan pendapatnya mengenai isi dari kurikulum pendidikan Islam,
diantaranya adalah sebagai berikut:[15]
v Imam al-Ghazali menyatakan ilmu-ilmu pengetahuan yang
harus dijadikan bahan kurikulum lembaga pendidikan adalah:
1)
Ilmu-ilmu yang fardu ‘ain yang wajib dipelajari oleh
semua orang Islam meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab
suci al-Qur’an dan al-Hadis.
2)
Ilmu-ilmu yang
merupakan fardu kifayah, terdiri dari
ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi,
seperti ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian
dan industri.
Dari kedua kategori ilmu-ilmu tersebut, al-Ghazali
merinci lagi menjadi:
1)
Ilmu-ilmu
al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqh, hadis dan tafsir.
2)
Ilmu bahasa,
seperti nahwu saraf, makhraj, dan lafal-lafalnya yang membantu ilmu agama.
3)
Ilmu-ilmu yang
fardu kifayah, terdiri dari berbagai ilmu yang memudahkan urusan kehidupan
duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, teknologi (yang beraneka macam
jenisnya), ilmu politik dan lainnya.
4)
Ilmu kebudayaan
seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
v Ibnu Sina memberikan klasifikasi ilmu pengetahuan
untuk diajarkan kepada anak didik dalam 2 macam, yaitu:
1)
Ilmu nadari atau
ilmu teoritis, yang termasuk dalam jenis ini adalah ilmu alam., ilmu riyadi
(ilmu matematika), ilmu Ilahi yaitu
ilmu yang mengandung iktibar tentang maujud dari alam dan isinya yang
dianalisis secara jujur dan jelas
2)
Ilmu-ilmu amali
(praktis) yang terdiri dari beberapa ilmu pengetahuan yang prinsip-prinsipnya
berdasarkan atas sasaran-sasaran analisisnya. Misalnya ilmu yang menganalisis
tentang perilaku manusia dapat dilihat dari aspek sosial, maka timbul ilmu
siasah (ilmu politik)
Dalam ilmu pendidikan Islam, kurikulum merupakan
komponen yang penting karena merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang
diproses di dalam sistem kependidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bagian
dari bahan masukan yang mengandung fungsi sebagai alat pencapai (input instrumental) pendidikan Islam.
v Menurut Moh. Fadlil al-Jamali menyatakan bahwa semua
jenis ilmu yang terkandung di dalam al-Qur’an harus diajarkan kepada anak
didik. Ilmu tersebut meliputi: ilmu agama, sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu
jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, biologi, ilmu hitung, ilmu hokum, dan
perundang-undangan, ilmu kemasyarakatan (sosiologi), ilmu ekonomi, balaghah,
serta bahasa Arab, ilmu pembelaan negara, dan semua ilmu yang dapat
mengembangkan kehidupan umat manusia dan yang mempertinggi derajatnya. Ahli
pendidikan Islam menyadari bahwa kurikulum pendidikan Islam harus mencerminkan
idealitas al-Qur’an yang tidak memilah-milah jenis disiplin ilmu secara taksonomis dikatomik (menjadi ilmu agama
yang terpisah-pisah) dari ilmu duniawi yang lazim disebut oleh umat Islam
khususnya di Indonesia sebagai ilmu-ilmu pengetahuan umum. Mereka mengaskan
bahwa kesempurnaan manusia itu tidak akan terwujud, kecuali dengan menyerasikan
antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan.
v Ibnu Khaldul menyatakan ilmu pengetahuan yang harus
dijadikan materi kurikulum lembaga pendidikan Islam mencakup tiga hal, yaitu:
1.
Ilmu lisan
(bahasa) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu, sharaf, balaghah, ma’ani, bayan,
adab (sastra) atau syair-syair.
2.
Ilmu naqli,
yaitu ilmu-ilmu yang dinukil dari kitab suci al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ilmu
ini terdiri dari ilmu membaca (qira’ah), al-Qur’an dan ilmu tafsir, sanad-sanad
hadis dan pentashihannya serta istinbat
tentang qanun-qanun fidyahnya.
3.
Ilmu aqli adalah
ilmu yang dapat menunjukkan manusia melalui daya kemampuan berfikirnya kepada
filsafat dan semua jenis ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan (teologi), ilmu
teknik, ilmu hitung, ilmu tentang tingkah laku manusia, ilmu sihir dan nujum
(kedua ilmu ini dilarang kerena bertentangan dengan ilmu tauhid)
v Menurut H. M. Arifin menyatakan kategori ilmu
pengetahuan Islam yang harus dijadikan materi kurikulum sebagai berikut:
1)
Ilmu pengetahuan
dasar yang esensial adalah ilmu-ilmu yang membahas ulumul Qur’an dan al-hadis
2)
Ilmu-ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang manusia sebagai individu dan sebagai anggota
masyarakat. Ilmu ini memasukan ilmu-ilmu: antropologi, pedagogik, psikologi,
sosiologi, sejarah, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
3)
Ilmu pengetahuan
tentang alam atau disebut juga al-ulum al-kauniyah yang termasuk di dalamnya
antara lain; biologi, botani, fisika, astronomi, dan sebagainya.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto,
Suharsimi, Dasar-Dasar Supervisi.
Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
_______,
Yuliana, Lia,
Manajemen Pendidikan.
Yogyakarta: Aditya Media, 2008.
Purwanto, Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
Shulhan,
Muahid, Administrasi Pendidikan. Jakarta:
PT. Bina Ilmu, 2004.
Suhertian, Piet A., Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan
dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
[1]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 1
[3]Ibid
[4] Ibid., 3
[5]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2007), 11
[6]Ibid
[7] Ibid., 12
[8]Ibid
[10]Zuhairini Dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi
Aksara bekerja sama dengan Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997), 23-31
[12]Ibid
[14]Ibid
[15]Hamdani Ihsan, A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2007), 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar