Sabtu, 09 Februari 2013

Kurikulum Pendidikan Islam Fase Makkah & Madinah

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM FASE MAKKAH & MADINAH
Oleh: Aminatul Zahroh
Penulis Buku & Akademisi Pascasarjana


A.    Pengertian Kurikulum
Kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu “currere” yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus ditempuh dari kegiatan berlari mulai dari start sampai finish. Pengertian ini kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Arab, istilah kurikulum diartikan sebagai “manhaj”, yakni jalan terang atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilai-nilai. Al-Khauly menjelaskan al-manhaj sebagai seperangkat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan.[1]
Pengertian kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli rupanya sangat bervariasi, akan tetapi dari beberapa definisi tersebut ditarik benang merah, bahwa disatu pihak ada yang menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah dan dipihak lain lebih menekankan pada proses atau pengalaman belajar.[2]
Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran atau mata kuliah di sekolah atau perguruan tinggi, yang haru ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat, juga keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga. Atau menurut al-Syaibany terbatas pada pengetahuan-pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah atau institusi pendidikan lainnya dalam bentuk mata pelajaran-mata pelajaran atau kitab-kitab karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh para peserta didik dalam tiap tahap pendidikannya. Definisi yang dikemukakan oleh Kemp, Marrison dan Ros menekankan pada isi mata pelajaran dan ketrampilan-ketrampilan yang termuat dalam suatu program pendidikan. Demikian pula definisi yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 2/1989. Definisi kurikulum yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dikembangkan ke arah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untu mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan demikian ada tiga komponen yang termuat dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara pembelajaran baik yang berupa strategi pembelajaran maupun evaluasinya.[3]
Definisi yang dikemukakan oleh Kamil dan Sarhan menekankan pada sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, sosial, olahraga, dan seni yang disediakan oleh sekolah bagi para peserta didiknya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud mendorong mereka untuk berkembang menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Doll menekankan pada semua pengalaman yang ditawarkan kepada peserta didik dibawah bimbingan atau bantuan sekolah atau perguruan tinggi. Pengalaman tersebut dapat berlangsung di sekolah atau perguruan tinggi itu sendiri, di rumah atau masyarakat. Termasuk di dalamnya berbagai upaya guru/dosen dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta berbagai fasilitas yang mendukungnya. Definisi yang senada dikemukakan oleh Saylor dan Alexander, bahwa kurikulum adalah segala usaha sekolah/perguruan tinggi yang bisa menghasilkan atau menimbulkan hasil-hasil belajar yag dikehendaki, apakah di dalam situasi-situasi sekolah ataupun di luar sekolah/perguruan tinggi. Demikian pula Olivia yang mendefinisikan kurikulum sebagai rencana atau program yang menyangkut semua pengalaman yang dihayati peserta didik di bawah pengarahan sekolah atau perguruan tinggi.[4]  
                                          
B.     Kurikulum Pendidikan Islam Fase Makkah dan Fase Madinah
Salah satu komponen operasional pendidikan Islam adalah kurikulum, ia mengandung arti yang diajarkan secara sistematis dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada hakekatnya antara materi dan kurikulum mengandung arti yang sama, yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Seseorang yang akan  membuat lesson plan tidak cukup hanya mempunyai kemampuan membuat rumusan tujuan pengajaran. Ia juga harus menguasai materi pengajaran. Bahkan rumusan tujuan pengajaran itu diilhami oleh antara lain materi pengajaran. Oleh karena itu, guru harus menguasai materi pengajaran.[5]
Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rasulullah baik di Makkah maupun Madinah adalah al-Qur’an, yang Allah wahyukan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yang dialami oleh umat Islam saat itu. Karena itu dalam praktiknya tidak saja logis dan rasional tetapi juga secara fitrah dan pragmatis. Hasil dari cara yang demikian itu dapat dilihat dari sikap ruhani dan mental para pengikutnya yang dipancarkan ke dalam sikap hidup yang bermental dan semangat yang tangguh, tabah dan sabar tetapi aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya ternyata mereka ini merupakan kader inti muballiq dan pendidik pewaris Nabi yang brillian dan militant dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan.[6]  
Rasulullah juga menyuruh para sahabat untuk mempelajari bahasa asing. Rasulullah berkata kepada Zait bin Tsabit: “saya hendak berkirim surat kepada kaum Suryani, saya khawatir kalau mereka akan menambah-nambah atau mengurangi sebab itu hendaklah engkau mempelajari bahasa Suryani (bahasa Yahudi).” Lalu Zait bin Tsabit mempelajari bahasa Yahudi itu sehingga ia menjadi ahli bahasa itu. Statement ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam sifatnya universal, berlaku untuk semua umat di dunia, bukan hanya tertentu untuk masyarakat Makkah dan Madinah. Di samping itu, pernyataan Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa materi pelajaran yang berasal dari dunia luar bukan barang haram bagi Islam (artinya sesuatu yang tidak boleh dipelajari) akan tetapi hal yang wajib dilakukan untuk pengembangan dakwah dan pendidikan Islam ke dunia luar Islam.[7]
Mahmud Yunus mengklasifikasikan materi pendidikan kepada dua macam, yaitu materi pendidikan yang diberikan di Makkah dan materi pendidikan yang diberikan di Madinah. Pada fase Makkah terdapat tiga macam inti sari materi pelajaran yang diberikan di Makkah: yaitu keimanan, ibadah dan akhlak. Dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, pendidikan  keimanan. Materi keimanan yang menjadi pokok pertama adalah iman kepada Allah Yang Maha Esa, beriman bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah, diwahyukan kepada al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Muhammad sebagai Nabi dan Rasul adalah guru yang pertama mendidik dan mengajar manusia, supaya bahagia dari dunia sampai ke akhirat, dalam satu masyarakat yang adil dan makmur, lahir dan batin dalam arti kata yang sederhana. Beriman kepada hari akhir, hari pembalasan; amal baik dibalas dengan kebaikan dan amal buruk dibalas dengan siksa. Untuk kebaikan ganjaran pahala dan surga sementara dosa ganjarannya siksa dan neraka. Kedua, pendidikan ibadah. Amal ibadah yang diperintahkan di Makkah ialah shalat, sebagai pernyataan mengabdi kepada Allah, ungkapan syukur, membersihkan jiwa dan menghubungkan hati kepada Allah. Dengan sembahyang dapat terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Mula-mula Nabi sembahyang bersama sahabat-sahabat di rumah al-Arqam dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian setelah dakwah mulai tersiar ke seluruh penjuru baru dilaksanakan secara terang-terangan. Pada awalnya shalat belum lima kali sehari semalam. Akan tetapi, setelah terjadi peristiwa Isra’ mi’raj barulah diwajibkan Allah lima kali sehari semalam (tahun 11 SM/621 M). Adapun pelaksanaan zakat masa Mekkah, berarti sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim dan membelanjakan harta ke jalan kebaikan (amal sosial). Pendeknya zakat belumlah diatur dan diperinci sebagaimana yang dilakukan Nabi di Madinah. Ketiga, pendidikan akhlak. Nabi menganjurkan penduduk Makkah yang telah masuk Islam agar melaksanakan akhlak yang baik, seperti adil, menepati janji, pemaaf, tawakkal, bersyukur atas nikmat Allah tolong-menolong, berbuat baik kepada ibu bapak, member makan orang miskin dan orang musyafir dan meninggalkan akhlak yang buruk.[8]
Inti sari pendidikan agama yang diterapkan Nabi di Madinahdapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pertama, pendidikan keimanan. Tentang keimanan diperkuat dengan keterangan-keterangan yang dibacakan oleh Nabi dari ayat-ayat al-Qur’an, serta sabda beliau sendiri. Di Madinah ditetapkan keimanan itu terdiri dari enam perkara: iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, dan iman kepada takdir. Kedua, pendidikan ibadah. Untuk ibadah shalat disamping shalat lima waktu yang telah disampaikan di Makkah ditambah dengan shalat Jum’at, sebagai ganti dhuhur. Di samping itu, shalat-shalat sunnah seperti shalat idul fitri dan idul adha. Shalat dianjurkan tepat pada waktunya, sehingga ia menjadi tiang agama. Ibadah puasa diperintahkan di Madinah pada tahun 2 hijrah (623 M), yaitu puasa di bulan ramadhan. Ibadah haji diperintahkan pada tahun 6 hijrah. Sementara ibadah zakat dalam al-Qur’an tidak diperincikan, hanyalah Nabi yang menerangkan perinciannya. Al-Qur’an menerangkan orang-orang yang berhak menerima zakat. Ketiga, pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak yang diberikan di Makkah lebih diperinci lagi, seperti adab masuk rumah, adab bercakap-cakap, bertetangga, bergaul dengan masyarakat, dan lain-lain. Keempat, pendidikan kesehatan (jasmani). Pendidikan kesehatan dapat dilihat dari amal ibadah yang dilakukan sehari-hari, seperti puasa, shalat, wudhu, mandi. Dalam al-Qur’an ditegaskan supaya makan dan minum secara sederhana, tidak berlebih-lebihan dan sebagainya. Kelima, pendidikan kemasyarakatan. Zakat termasuk ibadah yang sangat penting di masyarakat. Syariat yang berhubungan dengan masyarakat misalnya; hal yang berhubungan dengan rumah tangga yang dinamai: hal-hal perseorangan, seperti hukum pernikahan dan hukum warisan; hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan sesama manusia, seperti hukum perdata; hal-hal yang berhubungan dengan qishas, ta’zir, seperti hukum pidana; dan hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi pemerintahan.[9]
Zukhairini meteri pendidikan pada fase Makkah kepada dua bagian yaitu (1) pendidikan tauhid; (2) pengajaran al-Qur’an.[10]
Pertama, materi pendidikan tauhid dalam teori dan praktiknya. Materi ini lebih difokuskan untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, yang telah diselewengkan oleh kaum jahiliah. Secara teoritis inti sari ajaran tauhid terdapat dalam kandungan surat al-fatihah ayat 1-7 dan surat al-ikhlas ayat 1-5. Secara praktis pendidikan tauhid diberikan melalui cara-cara yang bijaksana, menuntun akal pikiran dengan mengajak umatnya untuk membaca, memerhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau mengajarkan cara bagaimana mengaplikasikan pengertian tauhid tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah langsung menjadi contoh bagi umatnya. Hasilnya, kebiasaan masyarakat Arab yang memulai perbuatan atas nama berhala, diganti ucapan bissmilahirrahmanirrahim. Kebiasaan menyembah berhala, maka diganti dengan mengagungkan dan menyembah Allah swt.
Kedua, materi pengajaran al-Qur’an. Pada awal turunnya al-Qur’an, para sahabat mempelajari al-Qur’an dirumah-rumah, seperti di rumah al-Arqam bin Arqam. Mereka berkumpul membaca al-Qur’an, memahami setiap kandungannya dengan cara mentadarusinya secara sembunyi-sembunyi. Ketika Umar bin Khatab masuk Islam mereka kemudian bebas membaca dan mempelajarinya. Pada masa Nabi terbagi dua, pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan dan pengumpulan dalam dokumen atau catata berupa penulisan pada kitab maupun berupa ukiran. Al-Qur’an dipelajari dengan mudah sesuai dengan dielek yang digunakan masing-masing daerah yang dikenal qira’ah sa’ah (tujuh huruf).[11]
pada fase Madinah, materi yang diberikan cakupannya lebih kompleks dibandingkan materi pendidikan pada fase Makkah, seperti: (1) pembentukan dan pembinaan masyarakat baru, menuju kesatuan sosial dan politik; (2) materi pendidikan sosial dan kewarganegaraan, yang terdiri dari pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara kaum muslimin, pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat yang dimaksud dengan keluarga adalah suami, istri dan anak-anaknya, yang intinya terbentuk umat manusia yang lebih luas, tenteram dan damai; (3) materi pendidikan khusus anak-anak. Pendidikan untuk anak berupa: pendidikan tauhid, pendidikan shalat, pendidikan adab sopan santun dalam keluarga, pendidikan adab sopan santun dalam masyarakat, pendidikan kepribadian; dan (4) materi pendidikan pertahanan dan ketahanan dakwah Islam.[12]
Disamping materi pendidikan yang telah disampaikan di atas, terdapat juga materi baca tulis. ketika terjadi perang Badar ada beberapa orang musuh yang dapat ditawan kaum muslimin. Orang-orang tawanan yang mampu baca tulis, dapat menebus dirinya dengan mengajarkan baca tulis kepada 10 orang anak-anak Madinah. Setelah anak-anak yang diajar tawanan itu mampu baca tulis, mereka bebas dari tawanan dan boleh kembali ke negerinya. Belajar baca tulis bukan hanya khusus anak-anak, bahkan juga wanita. Nabi kepada Al-Syifak, supaya mengajarkan tulis indah kepada Hafsah.[13]
Selain belajar baca tulis, Nabi juga menyuruh sahabat untuk belajar bahasa asing. Nabi berkata kepada Zaid bin Tsabit, “Saya hendak berkirim surat kepada kaum Suryani, Saya khawatir kalau mereka akan menambah-nambah atau mengurangi sebab itu hendaklah engkau mempelajari bahasa Suryani (bahasa Yahudi).” Lalu Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa Yahudi itu, sehingga ia menjadi ahli dalam bahasa tersebut.
Disamping materi pendidikan Islam di atas, apa dasarnya bidang pendidikan masih banyak yang diterapkan Rasulullah, seperti materi pendidikan ekonomi Islam. Berkenaan hal ini banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang membahas tentang aturan-aturan Islam tentang jual beli, karena kondisi masyarakat Arab Makkah-Madinah yang gemar berdagang (at-tijarah), misalnya: Nabi Muhamad saw., pernah mengatakan seorang muslim yang baik adalah orang yang mau bersusah payah untuk mencukupi hidupnya, pergi ke hutan untuk mencari kayu dan kemudian menjualnya demi membeli makanan yang akan dimakan oleh anak keluarganya. Orang yang demikian jauh lebih baik daripada pengemis yang hanya mengharapkan bantuan dan belas kasih sayang orang lain. dalam jual beli agar tidak terjadi kekeliruan perlu dituliskan dan tidak boleh berlaku curang dan berbuat riba.[14]

C.    Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Para Ahli.
Kurikulum pendidikan Islam merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses pendidikan Islam. Kekeliruan dalam penyusunan kurikulum, menyebabkan ahli pendidikan mengemukakan berbagai macam ketentuan guna penyusunan kurikulum itu.
Beberapa ahli mengatakan pendapatnya mengenai isi dari kurikulum pendidikan Islam, diantaranya adalah sebagai berikut:[15]
v  Imam al-Ghazali menyatakan ilmu-ilmu pengetahuan yang harus dijadikan bahan kurikulum lembaga pendidikan adalah:
1)      Ilmu-ilmu yang fardu ‘ain yang wajib dipelajari oleh semua orang Islam meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan al-Hadis.
2)      Ilmu-ilmu yang merupakan fardu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri.
Dari kedua kategori ilmu-ilmu tersebut, al-Ghazali merinci lagi menjadi:
1)      Ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqh, hadis dan tafsir.
2)      Ilmu bahasa, seperti nahwu saraf, makhraj, dan lafal-lafalnya yang membantu ilmu agama.
3)      Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, terdiri dari berbagai ilmu yang memudahkan urusan kehidupan duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, teknologi (yang beraneka macam jenisnya), ilmu politik dan lainnya.
4)      Ilmu kebudayaan seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
v  Ibnu Sina memberikan klasifikasi ilmu pengetahuan untuk diajarkan kepada anak didik dalam 2 macam, yaitu:
1)      Ilmu nadari atau ilmu teoritis, yang termasuk dalam jenis ini adalah ilmu alam., ilmu riyadi (ilmu matematika), ilmu Ilahi yaitu ilmu yang mengandung iktibar tentang maujud dari alam dan isinya yang dianalisis secara jujur dan jelas
2)      Ilmu-ilmu amali (praktis) yang terdiri dari beberapa ilmu pengetahuan yang prinsip-prinsipnya berdasarkan atas sasaran-sasaran analisisnya. Misalnya ilmu yang menganalisis tentang perilaku manusia dapat dilihat dari aspek sosial, maka timbul ilmu siasah (ilmu politik)
Dalam ilmu pendidikan Islam, kurikulum merupakan komponen yang penting karena merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses di dalam sistem kependidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bagian dari bahan masukan yang mengandung fungsi sebagai alat pencapai (input instrumental) pendidikan Islam.
v  Menurut Moh. Fadlil al-Jamali menyatakan bahwa semua jenis ilmu yang terkandung di dalam al-Qur’an harus diajarkan kepada anak didik. Ilmu tersebut meliputi: ilmu agama, sejarah, ilmu falak, ilmu bumi, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, biologi, ilmu hitung, ilmu hokum, dan perundang-undangan, ilmu kemasyarakatan (sosiologi), ilmu ekonomi, balaghah, serta bahasa Arab, ilmu pembelaan negara, dan semua ilmu yang dapat mengembangkan kehidupan umat manusia dan yang mempertinggi derajatnya. Ahli pendidikan Islam menyadari bahwa kurikulum pendidikan Islam harus mencerminkan idealitas al-Qur’an yang tidak memilah-milah jenis disiplin ilmu secara taksonomis dikatomik (menjadi ilmu agama yang terpisah-pisah) dari ilmu duniawi yang lazim disebut oleh umat Islam khususnya di Indonesia sebagai ilmu-ilmu pengetahuan umum. Mereka mengaskan bahwa kesempurnaan manusia itu tidak akan terwujud, kecuali dengan menyerasikan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan.
v  Ibnu Khaldul menyatakan ilmu pengetahuan yang harus dijadikan materi kurikulum lembaga pendidikan Islam mencakup tiga hal, yaitu:
1.      Ilmu lisan (bahasa) yang terdiri dari ilmu lughah, nahwu, sharaf, balaghah, ma’ani, bayan, adab (sastra) atau syair-syair.
2.      Ilmu naqli, yaitu ilmu-ilmu yang dinukil dari kitab suci al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ilmu ini terdiri dari ilmu membaca (qira’ah), al-Qur’an dan ilmu tafsir, sanad-sanad hadis dan pentashihannya serta istinbat tentang qanun-qanun fidyahnya.
3.      Ilmu aqli adalah ilmu yang dapat menunjukkan manusia melalui daya kemampuan berfikirnya kepada filsafat dan semua jenis ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan (teologi), ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tentang tingkah laku manusia, ilmu sihir dan nujum (kedua ilmu ini dilarang kerena bertentangan dengan ilmu tauhid)
v  Menurut H. M. Arifin menyatakan kategori ilmu pengetahuan Islam yang harus dijadikan materi kurikulum sebagai berikut:
1)      Ilmu pengetahuan dasar yang esensial adalah ilmu-ilmu yang membahas ulumul Qur’an dan al-hadis
2)      Ilmu-ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Ilmu ini memasukan ilmu-ilmu: antropologi, pedagogik, psikologi, sosiologi, sejarah, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
3)      Ilmu pengetahuan tentang alam atau disebut juga al-ulum al-kauniyah yang termasuk di dalamnya antara lain; biologi, botani, fisika, astronomi, dan sebagainya.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Supervisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
_______, Yuliana, Lia, Manajemen Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media, 2008.
Purwanto, Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
Shulhan, Muahid, Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bina Ilmu, 2004.
Suhertian, Piet A., Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.


[1]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 1
[2]Ibid., 2
[3]Ibid
[4] Ibid., 3
[5]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam  (Jakarta: Kencana, 2007), 11
[6]Ibid                                                
[7] Ibid., 12
[8]Ibid
[9]Ibid., 13
[10]Zuhairini Dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara bekerja sama dengan Direktorat  Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen  Agama, 1997), 23-31
[11]Ibid., 14
[12]Ibid
[13]Ibid., 15                 
[14]Ibid
[15]Hamdani Ihsan, A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar