Minggu, 03 Februari 2013

Sejarah Peradaban Islam



BANI UMAYYAH
 Perkembangan Ekonomi dan Administrasi
Serta Kemunduran dan Kehancuran Bani Umayyah
Oleh: Aminatul Zahroh, 2841114007
Pascasarjana STAIN Tulungagung

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Zaman terus berputar, peristiwa sejarah akan berulang, hanya pelaku, tempat dan situasinya yang berbeda. Putaran zaman mempergilirkan antara kebaikan dan keburukan. Dan kondisi suatu zaman akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang menjadi pemimpinnya saat itu. Hal ini dapat kita saksikan pada perjalanan umat Islam dari semenjak masa kenabian, khulafa’ur Rasyidin serta masa kedinastian Bani Umayyah dan Abbasiyah.     
Setelah pemerintahan Khulafa’ur Rasyidin berakhir, maka Bani Umayyah muncul yang dibentuk oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Bani Umayyah diakui secara resmi melanjutkan khilafah Islam setelah berakhirnya sengketa antara Hasan bin Ali dengan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai lambang penguasa Daulah Umayyah.
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial. Hal ini didukung oleh pengalaman politik Mu`awiyah sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya.[1]
Nama “Daulah Umayyah” berasal dari nama “Umaiyah ibnu ‘Abdi Syam ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy dizaman Jahiliyah. Umayah ini senantiasa bersaing dengan pamannya Hasyim ibnu Abdi Manaf, untuk merebut pimpinan dan kehormatan dalam masyarakat bangsanya. Sesudah datang agama Islam berubahlah hubungan antara Bani Umayah dengan saudara-saudara sepupu mereka Bani Hasyim, oleh karena persaingan-persaingan untuk merebut kehormatan dan kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang lebih nyata, Bani Umayah dengan tegas menentang Rasulallah saw dan usaha-usaha beliau mengembangkan agama Islam. sebaliknya Bani Hasyim menjadi penyokong dan pelindung Rasulallah saw, baik mereka yang telah masuk Islam maupun yang belum.[2]
Bani Umayyah masuk Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain, selain memasukinya yaitu ketika Nabi Muhammad saw  bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu kekota Makkah. Tapi setala masuk Islam, mereka dengan segera memperlihatkan semangat kepahlawanan yang jarang tandingannya dan mereka benar-benar telah mencatat prestasi yang baik sekali dalam peperangan memerangi kaum murtad dan terhadap orang-orang yang mengaku nabi, dan orang-orang yang enggan membayar zakat.
Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750) tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.[3]
Walau pada awalnya Daulah Umayyah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun kelompok ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu kekuatan kesukuan, gerakan oposan dan paham keislaman secara umum, yang tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan sosial kemasyarakatan.[4]
Sistem pemerintahan Bani Umayyah  telah mengubah sistem suksesi kepemimpinan dengan jalan musyawarah menjadi monarkhi atau sistem kerajaan yang diwariskan secara turun temurun. Hal ini dapat dilihat dari sikap Muawiyah mengangkat anaknya sendiri Yazid, sehingga pada umumnya sejarawan memandang negatif terhadap Muawiyah karena pada awal keberhasilan memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang di Shiffin dicapai melalui arbitrase.[5]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibukota Negara dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus. Wilayah Islam dimasa Bani Umayyah sangat luas, daerah ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabiah, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, turkmenia, Uzbek, dan Tirgis di Asia Tengah. Di samping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga berjasa dalam pembangunan diberbagai bidang seperti bidang politik, sastra, ilmu pengetahuan, ekonomi dan administrasi.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan terkait dengan perkembangan ekonomi dan administrasi Bani Umayyah serta kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah.
                                       
PEMBAHASAN
A.            PERKEMBANGAN EKONOMI BANI UMAYYAH
Dalam upaya membiayai roda pemerintahan, maka dibentuklah Bait al-Mal sebagai kas perbendaharaan Negara. Semua hasil bumi dan pajak lainnya dimasukkan ke  Bait al-Mal tersebut yang dikoordinir oleh Diwan al-Kharaj. Hasil bumi yang digarap oleh masyarakat disetor 5% ke pemerintah, sedangkan pajak untuk setiap transaksi disetor sebesar 10%. Khusus barang dagangan yang nilainya kurang dari 200 dirham tidak dikenakan  pajak.
Sumber dana lain untuk pengisian Bait al-Mal adalah pajak kekayaan yang khusus ditujukan kepada non Muslim yang daerahnya dikuasai oleh pemerintahan Islam. Dana-dana tersebut digunakan untuk pembangunan pada sektor-sektor penting, yakni jalan raya dan sumur-sumur di sepanjang jalan dan pembangunan pabrik-pabrik. Pemerataan pembangunan bukan hanya pada suatu daerah, akan tetapi dilakukan upaya-upaya distribusi ke daerah-daerah secara adil.[6]
Kemudian kebijakan yang strategis pada masa dinasti Bani Umayyah adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang diipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya.


1. Kewajiban yang harus dibayar oleh warga Negara (Al-Dharaaib)
Sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. dan negeri yang baru ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa. Kebijakan inilah yang menyebabkan adanya perlawanan diberbagai daerah.
Sedangkan pada masa Umar bin Abdul Azis di bidang fiskal, Umar memangkas pajak dari orang Nasrani. Tak cuma itu, ia juga menghentikan pungutan pajak dari mualaf. Kebijakannya itu telah mendongkrak simpati dari kalangan non-Muslim. Sejak kebijakan itu bergulir, orangorang non-Muslim pun berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada jaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
- Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sektor pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
-    Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.[7]
Pada masa Bani Umayyah ekonomi mengalami kemajuan yang luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, maka memungkinkan untuk mengeksploitasi potensi ekonomi negeri-negeri taklukan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat bangsa Arab hidup dari negeri taklukan dan menjadikannya kelas pemungut pajak dan sekaligus memungkinkannya mengeksploitasi negeri-negeri tersebut, seperti Mesir, Suriah dan Irak.

b. Pengelolaan Baitul Mal
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.
Pada era kekhalifahan Umayyah, pengelolaan baitulmal yang paling bersih terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu Khalifah Umar II itu berkuasa, tanpa ragu dan pandang bulu semua harta kekayaan para pejabat dan keluarga bani Umayyah yang diperoleh secara tak wajar dibersihkan. Ia lalu menyerahkannya ke kas negara. Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah.
Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu terdapat perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi SAW wafat dijadikan milik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah 684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya. Langkah itu dilakukan khalifah demi menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Setelah membersihkan harta kekayaan tak wajar di kalangan pejabat dan keluarga bani Umayyah, Khalifah Umar melakukan reformasi dan pembaruan di berbagai bidang.[8]
Kebijakan-kebijakan Umar melindungi rakyat kecil. Pada masanya orang-orang kaya membayar zakat sehingga kemakmuran benar-benar terwujud. Konon, saat itu sulit menemukan para penerima zakat lantaran kemakmuran begitu merata. Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, ‘’Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang- orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ kisah Yahya bin Said.[9]
Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, ‘’Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitulmal masih terdapat banyak uang.’’ Khalifah Umar memerintahkan, ‘’Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya!’’
Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, ‘’Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di baitulmal masih banyak uang.’’ Khalifah memerintahkan lagi, ‘’Kalau begitu bila ada seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya!’’ Abdul Hamid sekali lagi menyurati Khalifah. Dalam suratnya dia menyatakan,’’ Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah. Namun, di Baitulmal ternyata masih juga banyak uang.’’ Akhirnya, Khalifah Umar memberi pengarahan, ‘’Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.
Akan tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah.
Saluran keuangan keluar Baitul Mal pada zaman Daulah Umayyah pada umumnya sama seperti permulaan Islam, yaitu untuk: gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara, pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan  ,ongkos bagi orang-orang hukuman atau tawanan perang, perlengkapan perang dan hadiah-hadiah untuk para pujangga dan ulama.
c. Kebijakan memacu Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan yang dilakukan Bani Umayyah tidak hanya mengeksplotasi atau menguras sumber daya alam saja tetapi ada juga kebijakan dan usaha-usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbangan, takaran dan keuangan.
Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sektor pertanian, dan telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian. Dalam bidang industri pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi bani Umayyah.
Khalifah Umar bin abdul Azis pun menggunakan kas negara untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyatnya. Berbagai fasilitas dan pelayanan publik dibangun dan diperbaiki. Sektor pertanian terus dikembangkan melalui perbaikan lahan dan saluran irigasi. Sumur-sumur baru terus digali untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih. Jalan-jalan di kota Damaskus dan sekitarnya dibangun dan dikembangkan. Untuk memuliakan tamu dan para musafir yang singgah di Damaskus, khalifah membangun penginapan. Sarana ibadah seperti masjid diperbanyak dan diperindah. Masyarakat yang sakit disediakan pengobatan gratis.
Kebijakan yang paling strategis pada masa Daulah Bani Ummayah adalah adanya sistem penyamaan keuangan. Hal ini terjadi pada masa Khalifah Abd Al Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, Dia mencetak mata uang sendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Disalah satu sisinya tertulis kalimat tauhid dan sisi lainnya tertulis namanya. Mata uang tersebut terbuat dari emas dan perak sebagai lambang kesamaan kerajaan ini dengan imperium yang ada sebelumnya, yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri Islam kecuali Mesir.

      B.  Sistem Administrasi Pemerintahan Bani Umayyah
Administrasi pemerintahan Bani Umayyah telah nampak pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus. Muawiyah dikenal dalam kepemimpinannya karena dalam dirinya terkumpul sifat seorang politikus dan administrator. Di zaman ini pertama dikenalkan materai resmi untuk mengirimkan memorandum yang berasal dari Khalifah serta pertama kali menggunakan pos untuk mengumumkan kejadian-kejadian penting dengan cepat.[10]
Pada permulaan Islam organisasi Administrasi Tata Usaha Negara sangatlah sederhana, tidak diadakan pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada masa Bani Umayyah Administari Negara sangat simple. Pada umumnya didaerah-daerah Islam bekas daerah Romawi dan Persia, Administrasi pemerintahan dibiarkan terus berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan kecil.[11]
Penambahan administrasi pemerintahan besar-besaran terjadi pula pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dia melakukan pembenahan administrasi negara dengan memerintahkan para pejabat negara menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi dalam pemerintahan. Hal tersebut pertama kali diterapkan di Syiria dan Irak, kemudian di Mesir dan Persia.
 a.  Dewan Sekretaris Negara (Diwaanul Kitabah)
Seperti halnya pada masa permulaan Islam, pada masa Bani Umayyah dibentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwaanul Kitabah) untuk mengurusi berbagai bidang urusan pemerintahan. Dalam masa ini urusan pemerintahan telah banyak, maka ditetapkanlah lima orang sekretaris, yaitu :
a.    Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
b.    Katib al-Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara.
c.    Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
d.   Katib asy-Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
e.    Katib al- Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.[12]
Diantara para sekretaris Katib ar-Rasaail yang paling penting sehingga khalifah memberikan jabatan ini diberikan kepada kaum kerabat khalifah sendiri atau orang tertentu saja. Diantara khuttab yang paling terkenal pada masa Daulah Umayyah, yaitu :
1. Ziyad bin Abihi (sekretaris Abi Musa al-Asy’ari)
2. Salim (sekretaris Hisyam bin Abdul Malik)    
3. Abdul Hamid (sekretaris Marwan bin Muhammad).
Dimasa ini diadakan satu jabatan baru yang bernama al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan khalifah atau dalam masa kini biasa dikenal Paspampres. Jabatan ini dibentuk atas dasar kekuatiran terulangnya peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan percobaan pembunuhan terhadap Mu’awiyah dan Amr bin Ash. Selanjutnya diadakan penjagaan yang sangat ketat terhadap kholifah sehingga siapapun tidak dapat menghadap kholifah sebelum mendapat izin dari para pengawal (Hujjab), kecuali Muazzin, pengantar pos dan pengurus dapur.[13]
b.   Organisasi Tata Usaha Negara (An-Nidhamul Idari)
Muawiyah mendirikan Dinas Pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan peralatannya disepanjang jalan. Pegawai pos mengambil seekor kuda dan mengendarainya denga cepat sehingga sampai ke stasion berikutnya. Disana ia mengambil kuda yang telah disiapkan kembali mengendarainya dengan cepat kestasion berikutnya pula. Begitulah seterusnya.[14] Setelah Khalifah Abdul Malik bin Marwan berkuasa maka diadakan perbaikan-perbaikan dalam Organisasi Pos, sehingga ia menjadi alat vital dalam administrasi Negara. badan ini bertugas menyiarkan berita dari pusat ke daerah atau sebaliknya. Selanjutnya Khalifah Umar bin Abdul Azis pun memperbaiki pelayanan di dinas pos, sehingga aktivitas korespondesi berlangsung lancar.[15]
Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
Pada masa Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah merintis penerjemahan atau menyalin ilmu-ilmu asing ke bahasa Arab dan disempurnakan, untuk kepentingan tamadun Islam. Sebagaimana contoh khalifah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah memdatangkan orang-orang romawi yang bermukim di Mesir, diantaranya seorang pendeta untuk mengajarkan ilmu kimia dan selanjutnya disalin kedalam bahasa Arab.
Pada masa Khalifah Abd Al-Malik bin Marwan berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan melakukan perubahan bahasa dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi kebahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.[16]
Kholifah Al-Walid ibn Abd. Malik (705-715M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, Semua personel yang terlibat dalam kegiatan humanis digaji oleh Negara secara tetap. Pada masa pemerintahannya juga dibangun jalan-jalan yang menghungkan suatu daerah dengan daerah yang lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[17]
Berkat jasa Gubernur Afrika Musa bin Nushair beserta mantan budaknya yang diangkat sebagai panglima perang Thariq bin Ziyad pemerintahan Kholifah Walid ibn Abd. Malik memperluas kekuasaan Islam di negeri spanyol, disini toleransi keagamaan diterapkan secara maksimal. Keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, bahkan tentara Islam yang melanggar juga harus menerima hukuman yang berat. Tak ada harta rakyat atau tanah yang disita. Serta menerapkan sistem perpajakan yang sangat jitu yang sampai membawa kemakmuran di semenanjung itu.bahkan menjadi negeri teladan di Barat. Orang-orang Islam dibiarkan memiliki hakim sendiri untuk memutuskan perkaranya. Semua komonitas mendapat kesempatan yang sama dalam pelayanan umum.
Pemerintah Islam sangat baik menjalankan pemerintahannya sehingga membawa efek yang luar biasa terhadap kalangan Kristen bahkan pendetanya. Seorang penulis Kristen pernah mengatakan, “Muslim-muslim Arab itu terorganisir kerajaan Cordoba dengan baik. Ini sebuah keajaiban di abad pertengahan. Mereka mengenakan obor pengetahuan, peradaban, kecemerlanga dan keistimewaan bagi dunia Barat. Saat itu Eropa dalam kondisi percekcokan, kebodohan dan gelap.”[18]
Khalifah Umar bin Abdul Azis (99-102 H/717-720 M) memerintah Daulah Umayyah hanya dua setengah tahun, namun kebijakan yang dibuatnya sungguh berjasa bagi umat Islam. dialah yang menerapka syariat Islam secara utuh dengan minta bantuan ulama, seperti Hasan Basri. Pada masanya Hadis-hadis mulai dibukukan. Sebuah kitab ilmu kedokteran yang dikarang Qis Ahran dalam bahasa Suryani, kemudian disalin dalam bahasa Arab oleh Masarjuwaihi. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis dikeluarkanlah kitab ini dari Kutubkhanah Syam untuk dikembangkan kepada masyarakat.[19]
c.  Organisasi Pertahanan (An-Nidhamul Harby)
Dimasa pemerintahan Muawiyah bin Sufyan berusaha menertibkan angkatan bersenjata sebagai bentuk penyempurnaan dari organisasi pertahanan yang telah dibuat oleh Khalifah Umar. Hanya bedanya pada masa Kholifaturrasyidin tentara Islam adalah tentara sukarela namun pada masa daulah Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan Nidhamut Tajridil Ijbari (seperti undang-undang wajib militer).[20]
Pengembangan angkatan laut yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa Muawiah berkuasa, ketika Byzantium mengerahkan tentaranya untuk mmperluas jajahannya, dan tiba diwilayah kekuasaan Muawiyah. Untuk mengusir tentara Byzantium, Muawiyah mengerahkan kapal perang kecil  berjumlah 1700 buah dan mampu menghalau musuh. Dengan tidak mengenal lelah, kaum Muslimin menaklukkan pulau Cyprus dan Rhodus di laut tengah.[21]
Pada masa ini angkatan laut Islam masih sangat sederhana. Namun ketika masa Mu’awiyah memegang kendali pemerintahan maka dibangunlah armada Islam yang kuat dengan tujuan : Untuk mempertahankan daerah-daerah Islam dari serangan armada Romawi dan untuk memperluas dakwah Islamiyah. Begitu pula Mu’awiyah membangun armada musim panas dan musim dingin sehingga dia sanggup bertempur disegala musim.[22]
d.   Organisasi Kehakiman (An-Nidhamul Qadhaai)
Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama An Nidzamul Qadhaai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
-       Al-Qadha’: bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan berijtihad.
-    Al-Hisbah: bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.
-   An-Nadhar fil Madhalim: yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.[23]
Pada masa Khalifah Abd Al-Malik bin Marwan membentuk Mahkamah Tinggi untuk mengadili para pejabat yang menyeleweng atau bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Selain itu, Khalifah Bani Umayyah juga mengangkat pembantu-pembantu sebagai pendamping yang sama sekali berbeda dengan Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut orang-orang non Muslim menjadi pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan kesatuan dalam militer. Hal ini terjadi sejak Muawiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis kebijakan tersebut dihapus, karena orang-orang non Muslim (Yahudi, Nasrani dan Majusi) yang memperoleh privilage di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam, bahkan menganggap mereka rendah.[24]

C. Kemunduran Dan kehancuran Bani Umayyah
1.    Kemunduran Bani Umayyah
                    Keberhasilan kepemimpinan  Dinasti Bani Umayyah dalam menjalankan roda  pemerintahan tidak terlepas dari peran utama kepemimpinan muawiyah selaku penguasa pertama dari dinasti tersebut dengan sistem kekhalifahan patriomonial sistem patrimonial dimaksud adalah sistem pemerintahan yang memberi hak mutlak kepada pemimpin untuk menganggap negara sebagai hak miliknya dan bisa diwariskan kepada keturunan turun temurun keluarganya, sementra rakyat dianggap sebagai bawahanya yang mendapatkan perlingdungan dan dukungannya.
                    Proses Kemunduran yang dialami oleh dinasti bani umayyah tidak terlepas dari pengaruh siapa yang memegang kekuasaan tertinggi pada saat itu, meskipun pemerintahan berasal dari keturunan bani umayyah perselisihan dan ambisi sering kali muncul dari kalangan  keluarga bani umayyah sendiri yang belum sempat menduduki posisi khalifah sehingga pemberontakan internal Umayyah pun mewarnai  setiap akhir-ahkir pemerintahan khalifah yang berkuasa ketika itu sehingga menyebabkan terhentinya perluasan wilayah, sekaligus menjadi awal dari akhir pemerintahan umayyah.[25]
                   Karena masing-masing mempertahankan ke egoannya dan kontra persepsi dan visi serta ingin merebut posisi tertinggi dikursih kekhalifahan, indikasi tersebut mempengaruhi kebijakan politik bani umayyah, implikasinya mengkibatkan  frekuensi dedikasi dan loyalitas kepada khalifah mengalami degradasi yang berarti  sehingga perlahan-lahan rapuh ditambah dengan kekhalifahan Yazid III dikenal dalam sejarah.dia adalah seorang yang fasik, peminun khamar dan banyak merusak aturan-aturan Allah. suatu saat ia akan menunaikan ibadah haji dengan tujuan meminum khamr diatas ka`bah karena kefasikannya banyak orang yang membencinya hingga ketulang sum-sum, dan melakukan pemberontakan kepada pemerintahannya. Akhirnya terbunuh pada bulan Jumadil Akhir tahun 126 H.[26]
      
2. Kehancuran Bani Umayyah
Sejarah perjalanan kekhalifahan dinasti bani umayyah seringkali terjadi perebutan kursi kekhalifahan dengan cara pemberontakan yang dilakukan oleh internal keturunan bani umayyah sendiri.dan tatkala yang menjadi khalifah dari Bani Umayyah adalah anak-anak muda diahkir pemerintahan Umayyah ini,semua menyebabkan terhentinya perluasaan wilayah, sekaligus menjadi awal dari ahkir pemerintahan Umayyah.[27]
  Marwan al-Himar adalah khilafah terakhir Bani Umayyah dikenal dengan Abu Abdul Malik putra dari Muhammad bin Marwan al-Hakam ia dikenal sebagai khalifah yang sabar dan ahli dalam berkuda dan pemberani sangat aktif dalam berperag. namun masa pemerintahannya diwarnai konflik dan instabilitas hingga mengalami pemerintahannya jatuh dan runtuh.  Setelah terjadi pertempuran antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Marwan Bin Muhammad di sungai zab (antara Mosul dan Arbil ) marwan dan pasukannya kalah dalam peperangan terjadi 131 H/749 M. pasukannya lari ke berbagai penjuru hingga akhirnya ia terbunuh oleh pasukan Abbasyiah 132 H/749 M.dengan kematiannya maka hancurlah pemerintahan bani umayyah dan berdirilah pemerintahan  bani Abbasiyah.[28]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syiah (para pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[29]
Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.[30]
3.    Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kemunduran dan Kehancuran  Bani Umayyah.
      Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah diklasifikasi menjadi dua bagian :
1.      Faktor internal, yaitu berasal dari dalam istana sendiri antara lain :
a.   Perselisihan antara keluarga khalifah,
            Diantara para putra mahkota yang pertama telah memegang maka ia berusaha untuk mengasingkan keluarga yang lain da ingin menggantikan dengan anaknya sendiri, sehingga menurut Philip K.Hitti sistim pergantian khalifah dari garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab. Yang mengakibatkan terjadinya persaingan  yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.[31]
b.   Perilaku khalifah atau gubernur  jauh dari aturan Islam
            Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gubernur untuk hidup berfoya-foya, bersuka ria dalam kemewahan, terutama masa Khalifah Yazid II naik Tahta ia terpikat oleh dua biduanitanya, Sallamah dan Habadah serta suka meminum minuman keras, ditambah lagi para wazir dan panglima bani Umayyah sudah mulai korup dan mengendalikan Negara karena para khalifah pada saat itu sangat lemah.[32]
                         
2.  Faktor eksternal istana ,adalah yang berasal dari luar istana
a    Perlawanan dari kaum Khawarij
             Sejak berdiri dinasti Bani Umayyah para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melakukan dosa besar perbedaan sudut pandang pro Ali dan Pro Muawiyah ini menjadikan khawarij mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri.[33]
b.   Perlawanna dari kalangan Syi`ah
              Pada dasarnya kaum Syi`ah tidak pernah mengakui pemerintahan Bani Umayyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka  terhadap Ali dan Husain hingga semakin aktif dan mendapat dukungan publik. Disisi mereka berkumpul orang-orang yang merasa tidak puas, baik dari sisi politik, ekonomi maupun sosial terhadap pemerintahan Bani Umayyah.
 c.   Perlawanan dari golongan Mawali
 Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Asal mula kaum Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan Mereka adalah pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa taklukkan yang mendapatkan sebutan mawali. Status tersebut menggambarkan infeoritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah. Padahal mereka bersama-sama Muslim Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata bangsa Arab. Tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mawali itu jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.[34]
d.    Pertentangan etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
              Masa khilafah Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qaisy) dan Arabia Selatan  (Bani Qalb) yang sejak zaman sebelum islam makin meruncing atas asumsi tersebut apabila seorang khalifah berasal atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab Utara akan iri demikian sebaliknya, perselisihan tersebut  berimplikasi pada kesulitan Bani Umayyah menggalang persatuan.
e.  Perlawanan dari Bani Abbasiyah
              Keturunan dari paman Rasulullah Keluarga Abbas, mulai bergerak aktif dan menegaskan mereka untuk menduduki pemerintahan dengan cerdik mereka bergabung dengan pendukung Ali dan menekankan hak keluarga Hasyim, dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan sebagai pembelah sejati agama islam, para keturunan Abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.
         Faktor-faktor tersebut diatas merupakan sebab kemunduran yang memebawa kepada kehancuran Dinasti Bani Umayyah termasuk koalisi akbar ketiga kaum syi`ah, Mawali dan Abbasiyah, menyusun kekuatan dalam melakukan agresi gerakan revolusi pemerintahan dengan menumbang Dinasti Bani Umayyah dan bertujuan menciptakan pemeritahan baru.
         Berahkirlah kekusaan Dinasti Bani Umayyah dikota Damaskus yang dirintis Muawiyah ibn Sufyan kurang lebih 90 tahun lamanya dan ditutup oleh khilafah ke empat belas Marwan ibn Muhammad.

KESIMPULAN

Perkembangan Ekonomi Bani Umayyah
v  Sumber ekonomi masa Daulah Bani Umayyah berasal dari potensi ekonomi negeri-negeri yang telah ditaklukan dan sejumlah budak dari negara-negara yang telah ditaklukkan diangkut ke Dunia Islam. dan negeri yang baru ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa. Kebijakan inilah yang menyebabkan adanya perlawanan diberbagai daerah.
v  Pengelolaan Baitul Mal secara bersih dan benar terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Baitul Mal dikelola sedemikian rupa guna menyejahterakan dan memakmurkan rakyatnya. Pada masa ini kemakmuran terjadi di wilayah Afrika, Irak, dan Basrah.
v  Kebijakan yang memacu pertumbuhan ekonomi yakni penggunaan kas negara untuk  memakmurkan dan menyejahterakan rakyat. Dengan berbagai fasilitas didalamnya seperti pembangunan fasilitas umum, perbaikan lahan dan saluran irigasi, pembangunan jalan, pembangunan penginapan untuk memuliakan tamu dan para musafir yang singgah di damaskus. Selain itu juga ada sistem penyamaan keuangan dengan memakai tulisan arab.
Perkembangan Sistem Administrasi Bani Umayyah
v  Perkembangan administrasi yang dialami oleh bani umayyah adanya pembentukan Dewan Sekretaris Negara (Diwanul Kitabah), Katib ar-Rasail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat, Katib al-Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran Negara, Katib al-Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan, Katib asy-Syurthahk yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum, dan Katib al- Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.
v  Organisasi Tata Usaha Negara (an-Nidhamul Idaari), adanya pendirian pos pada masa Muawiyah guna menyiarkan berita dari pusat ke daerah dan sebaliknya, adanya kegiatan penerjemah ilmu-ilmu asing ke bahasa Arab, adanya pembukuan Hadis pada masa Umar bin Abdul Aziz.
v  Organisasi Pertahanan (an-Nidhamul Harby), adanya penertiban angkatan bersenjata dan pengembangan angkatan laut.
v  Organisasi Kehakiman (an-Nidhamul Qadaai),   Al-Qadha’: bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya,  Al-Hisbah: bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat, An-Nadhar fil Madhalim: yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.
Kemunduran dan Kehancuran Bani Umayyah
v  Kemunduran Bani Umayyah tidak terlepas dari pengaruh siapa yang memegang kekuasaan tertinggi pada saat itu, meskipun pemerintahan berasal dari keturunan Bani Umayyah perselisihan dan ambisi sering kali muncul dari kalangan  keluarga bani Umayyah sendiri yang belum sempat menduduki posisi khalifah sehingga pemberontakan internal Umayyah pun mewarnai  setiap akhir-ahkir pemerintahan khalifah yang berkuasa ketika itu sehingga menyebabkan terhentinya perluasan wilayah, sekaligus menjadi awal dari akhir pemerintahan Umayyah.
v  Kehancuran Bani Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sehingga pada tahun 750 M secara revolusioner berdiri Daulah Bani Abbasiyyah.



DAFTAR RUJUKAN

Referensi Buku:
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, Jakarta: Mutiara Sumber Wijaya, 1995.
Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah: Sejarah dan Pembaharuan Islam, Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995.
Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Karisma, 2007.
Adeng Muchtar Ghazali,  Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah Bandung: Pustaka Setia,  2004.
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media, 2010.                     
Al-Hisyam, Sejarah  Kebudayaan  Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Ali Murodi, Islam di Kawasan Kebudayaan  Arab, Jakarta: Logos, 1999
Andeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Anwar Ali, Pengantar  Hukum  Islam, Yogyakarta: Islamika,  2003.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 2006.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Pres, 1985
Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2008.
Imam as-Suyuti, Tarihk Khulafa`, Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2010.
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: Islamika, 2003.
Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah: Minyingkap Dinamika dan Sejarah Politik Kaum Sunni, Yogyakarta: Safria Insani Press, 2005.
M. Abdul Karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.


Referensi Internet:
Irwan Usa Mahmud, dalam http://zigaumarov.blogspot.com/2011/04/bani-umayyah-perkembangan-sastra-ilmu.html, diakses tanggal 22 November 2011
Iskandar Ahmad, “Bani Umayyah Kemunduran dan Kehancuran” dalam http://zigaumarov.blogspot.com/2011/04/bani-umayyah-kemunduran-dan-kehancuran.html, , diakses tanggal 22 November 2011
M. Ridho, “Bani Umayah”, dalam  http://ridhoibnambra.blogspot.com/2010/08/bani-umayah.html diakses 22 november 2011
Rudi Arlan al-Farisi, “Sejarah Islam Masa Bani Umayah” dalam http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-islam-masa-bani-umayah.html, diakses 22 November 2011



[1] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah: Minyingkap Dinamika dan Sejarah Politik Kaum Sunni, (Yogyakarta: Safria Insani Press, 2005), hal. 11
[2] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, (Jakarta: Mutiara Sumber Wijaya, 1995), hal. 24
[3] Adeng Muchtar Ghazali,  Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Bandung: Pustaka setia,  2004), hal. 52
[4] Khairudin Yujah Sawiy, Perebutan Kekuasaan Khalifah..., hal. 12
[5] Irwan Usa Mahmud, dalam http://zigaumarov.blogspot.com/2011/04/bani-umayyah-perkembangan-sastra-ilmu.html, diakses tanggal 22 November 2011
[6] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Jogjakarta: Islamika, 2003), hal. 39
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),  hal. 42
[8] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Karisma, 2007), hal. 191
[9] Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2008), hal. 57

[10] M. Ridho, “Bani Umayah”, dalam  http://ridhoibnambra.blogspot.com/2010/08/bani-umayah.html diakses 22 November 2011
[11] Anwar Ali, Pengantar  Hukum  Islam, (Yogyakarta: Islamika,  2003),  hal. 39
[12] Al-Hisyam, Sejarah  Kebudayaan  Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),  hal. 82
[13] Ibid., hal. 170                   
[14] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, (Jakarta: Mutiara Sumber Wijaya, 1995), hal. 40
[15] Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, hal. 46
[16] Abd. Jabbar Adlan, Dirasat Islamiyah: Sejarah dan Pembaharuan Islam, (Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1995), hal. 99

[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam:  Dirasah Islamiyah II, hal. 45

[18] Hepi Andi Bastoni,  Sejarah Para Khalifah,  hal. 50
[19] Ibid., hal. 50          
[20] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),  hal. 175
[21] Rudi Arlan al-Farisi, “Sejarah Islam Masa Bani Umayah” dalam http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-islam-masa-bani-umayah.html, diakses 22 November 2011
[22] Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, hal. 31
[23] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam , hal. 172
[24] Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 166
[25] Iskandar Ahmad, “Bani Umayyah Kemunduran dan Kehancuran” dalam http://zigaumarov.blogspot.com/2011/04/bani-umayyah-kemunduran-dan-kehancuran.html, , diakses tanggal 22 November 2011
[26] Imam as-Suyuti, Tarihk Khulafa`, ( Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2010) hal. 297
[27] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, ( Jakarta: Akbar Media, 2010 ), hal. 206
[28] Ibid., hal. 212                     
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, hal. 49
[30] Andeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 56
[31] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2006), hal. 43

[32] M. Abdul Karim, Sejarah pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal.131

[33] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Pres, 1985), hal.64
[34] Ali Murodi, Islam di Kawasan Kebudayaan  Arab, (Jakarta: Logos, 1999 ), hal. 343

Tidak ada komentar:

Posting Komentar