Jumat, 01 Februari 2013

Sejarah Pendidikan Islam


Al-Azhar Kairo Mesir
Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Oleh: Aminatul Zahroh
Akademisi Pascasarjana STAIN Tulungagung

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Madarasah sebagai salah satu intitusi pendidikan Islam, yang secara historis telah berabad-abad usianya. Namun usia yang begitu tua tersebut tidak menjadikan keberadaan madrasah sebagai lembaga yang kondusif untuk proses belajar mengajar apabila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang nota bene baru berusia muda.
Pada masa awal, proses pendidikan islam berlangsung ditempat-tempat yang merupakan tempat ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat islam yang berminat untuk belajar sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi,  intitusi pendidikan mulai mengadakan pembenahan-pembenahan dengan mendirikan masjid khan (skat-skat). Dalam masjid khan mulai dilakukan pembagian kelompok studi belajar terhadap murid-murid yang belajar. Kendati sudah ada pengelompokan, tapi pada tahap ini belum ada pengolahan administrasi yang bagus.
Sedangkan Al-Azhar tampak berbeda dengan intitusi madarsah sebelumnya. Pada lembaga ini sudah dilengkapi dengan asrama untuk guru-guru dan para mahasiswa, juga aula besar (iwan) yang dipergunakan untuk kuliah umum. Peran Al-Azhar sebagai madrasah yang menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, seperti istilah Philip K. Hitti yang di kutip oleh Abudin Nata menyatakan madarasah merupakan lembaga pendidikan tinggi (intitusion of higher education) atau collage (akademi menurut perbandingan pendidikan sekarang).[1]

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana sejarah berdirinya Al-Azhar sebagai universitas tertua di dunia Islam?
  2. Bagaimana keberadaan Al-Azhar di bawah naungan para penguasa?
  3. Bagaimana aktivitas pendidikan di Al-Azhar?

C.    Tujuan Masalah
  1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Al-Azhar sebagai universitas tertua di dunia islam
  2. Untuk mengetahui bagaimana keberadaan Al-Azhar di bawah naungan para penguasa
  3. Untuk mengetahui bagaimana aktivitas pendidikan di Al-Azhar

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Berdirinya Al-Azhar
Pada mulanya Al-Azhar adalah sebuah masjid. Universitas ini didirika oleh Jauhar Al-Saqilli, panglima perang kholifah Al-Muizi Li Dinillah pada tahun 970 M.[2] Yang bertepatan tanggal 24 Jumadil Ula 359 H dan selesai pembangunanya pada bulan Ramadhan 361 H.  Merupakan masjid pertama di Kairo dan mesjid keempat di Mesir setelah masjid Amr bin Ash, masjid Asmar dan masjid Ahmad Ibn Thulun.
Para ulama tarikh berbeda pendapat soal asal-usul penamaan Al-Azhar. Sebagian mereka menyebutkan nama itu diambil dari kegemilangan kota Kairo yang memang dikelilingioleh bangunan-bangunan yang megah. Sementara yang lain menyakini kalau nama masjid itu diambil dari nama putri Nabi Muhammad Saw. Fatimah Az-Zahro’ sebagai tanda kemuliaan dan kecintaan masyarakat dan para pemimpin dinasti fatimiyah padanya.
Pada tahun 361 H al-azhar dibuka untuk umum yang diawali dengan kuliah agama oleh Al-Qodhi Abu Hasan Al-Qairawani pada masa pemerintahan Malik Al-Nasir. Al-Azhar sejak mulai dibangun mendapat perhatian dan bantuan dari kholifah-kholifah fatimiyah, kemudian oleh raja-raja, sultan-sultan dan pemerintah-pemerintah sampai sekarang. Di sekeliling Al-Azhar di bangunkan ruak-ruak untuk asrama pelajar serta disediakan pula perpustakaan yang berisi bermacam-macam ilmu pengetahuan terutama ilmu agama dan bahasa Arab. Bangunan Al-Azhar kerap kali ditambah dan diperluas.

B.     Al-Azhar Dalam Kekuasaan Kholifah
1)      Masa Dinasti Fatimiyah
Al-Azhar pada masa fatimiyah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi corong untuk propaganda kekuasaan kekholifahan, sekaligus sebagai alat penyebaran doktrin ajaran syiah. Pada masa itu sistem pengajaran terbagi menjadi empat kelas yaitu:
²  Kelas pertama, diperuntukkan bagi orang yang datang ke Al-Azhar untuk mempelajari Al-Qur’an dan penafsiranya.
²  Kelas kedua, untuk mahasiswa universitas Al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabanya.
²  Kelas ketiga, kelas darul hikmah kuliah ini diberikan oleh para muballig seminggu sekali pada hari senin yang dibuka untuk umum dan pada hari kamis khusus untuk mahasiswa pilihan.
²  Kelas keempat, kelas non formal yaitu kelas untuk pelajar wanita
Mahasiswa yang belajar di Al-Azhar dilarang mempelajari madzab selain madzab Syiah. Sedemikian ketatnya sampai ada mahasiswa yang menyimpan kitab al-muwatho’ karangan Imam Malik dihukum dan dipenjarakan  (tahun 381 H = 991 M )[3]
Pada masa Al-Aziz Billah 387 H/988 M bersama dengan usaha wazirnya Yakub Ibn Kills, di Al-Azhar dijadikan sebagai universitas Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika) dan ilmu umumnya. Untuk menunjang kegiatan dan pengajaran, Al-Azhar dilengkapi dengan asrama untuk para fuqoha dan untuk semua urusan dan kebutuhannya ditanggung oleh kholifah. Ilmu agama yang diajarkan meliputi ilmu tafsir, qiraat, hadits, fiqih, nahwu, sharaf, dan sastra. Sedangkan ilmu umum yang dipelajai ialah filsafat, ilmu falak, ilmu ukur, musik, kedokteran, sejarah serta ilmu bumi, serta darul hikmah yang di dirikan oleh kholifah Al-Hakim pada tahun 359 H/ 1005M.
2)      Masa Dinasti Ayyubi
Setelah daulah fatimiyah jatuh ketangan Shalahudin Al-Ayyubi pada tahun 567H/1171M, maka ia mengambil kebijakan baru untuk menghilangkan aliran syiah yang telah tumbuh dan berkembang sekian lama. Sebab Sholahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang menganut paham sunni. Terutama melalui sarana Al-Azhar untuk digantikannya dengan aliran sunni, dengan demikian Al-Azhar ditutup sebagai universitas dan tertutup pula untuk tempat shalat jum’at.
Beberapa kebijakan pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi adalah
F  Pembekuan kegiatan khutbah di Al-Azhar selama hampir seratus tahun yaitu sejak tahun 567 H / 1171 M sampai masa sultan Al-Mamluki Al-Dzahir pada tahun 665 H / 1266 M
F  Untuk mengembagkan ilmu agama dan bahasa Arab, membuka madrasah sebagai sarana perkuliahan. Perkuliahanya beralih ke madrasah-madrasah dan lembaga-lembaga kuliah setingkat universitas, yang jumlahnya hingga mencapai 25 di Kairo.[4] Seperti madrasah Al- Nasriyah tahun 566 H yang terletak di samping masjid Amr bin Ash, madrasah Qomhiyah tahun 566 H yang khusus mengajar fiqih madzab Maliki, madrasah Salahiyah tahun 572 M yang terletak di samping masjid Imam Syafi’i.
3)      Masa Dinasti Mamalik
Pada masa ini terjadi sebuah serbuan besar-besaran dari bangsa mongol ke timur dan jatuhnya Islam di barat, sehingga menyebabkan banyak ulama dan ilmuan muslim mencari perlindungan ke Al-Azhar. Hal ini menyebabkan posisi Al-Azhar menjadi penting. Sejak saat itu banyak pelajar dan negara Islam yang tertarik menjadi mahasiswa dan belajar di Al-Azhar. Tidak mengherankan bahwa kurun waktu ini digambarkan oleh para ahli ketimuran (orientalis) sebagai zaman keemasan dalam sejarah Al-Azhar.[5]
Padahal sejak satu abad Al-Azhar ditutup, yaitu pada masa Sholahudin Al-Ayyubi. Pada tahun 665 H seorang amir mengajukan kepada Sultan Al-Zhahir Baibars untuk membuka kembali Al-Azhar sebagai tempat ibadah dan tempat pendidikan. Ternyata usulan tersebut diterima dan disambut baik oleh Baibars. Sedangkan pendanaanya dibiayai oleh Amir dan penguasa yang memberikan bantuan secara ikhlas.
Sejak itulah banyak ulama yang datang untuk belajar dan mengajar seperti Ibnu Kholdun (784H / 1382M), Ibnu Hajar Al-Atsqolani (w 808H / 1406M) Taqiya Al-Din Al-Maqrizi (w.845H / 1441M), Jalaludin Al-Suyuti (922H / 1505M).[6]
Pada masa dinasti ini, dilakukan proyek renovasi besar-besaran pada komplek masjid Al-Azhar, diantaranya untuk membangun paviliun sebagai tempat penginapan bagi para pelajar. Penginapan itu sendiri diberikan untuk jangka waktu empat bulan bagi para pelajar. Setiap distrik di Mesir dan negeri-negeri Islam lainya mendapat jatah penginapan di paviliun tersebut.
Tatkala Mesir kehilangan kemerdekaan tahun 922 H/1517 M oleh Turki Usmani mundurlah pendidikan dan pengajaran di Al-Azhar khususnya dan di madrasah lainya. Pada masa itu ilmu-ilmu yang diajarkan di Al-Azhar hanya ilmu agama dan bahasa arab saja. Sedangkan ilmu-ilmu aqliyah seperti filsafat , ilmu pasti, ilmu bumi dn sebagainnya dianggap haram hukumnya.[7]  Kendati demikian tidak dapat diartikan tidak ada seorangpun yang belajar dan mengajarkan ilmu aqliyah tetapi dengan kemaun sendiri seperti Syaikh Abdul Mun’im Damanhuri dimana ijazahnya disebutkan ilmu yang telah dipelajarinya meliputi ilmu al-jabar, ilmu falak, ilmu kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan ilmu aqliyah tidak 100% lenyap di Al-Azhar.

C.    Aktivitas Pendidikan di Al-Azhar
Pada mulanya pengajaran di Al-Azhar sama dengan institusi pendidikan lainya yaitu sistem berhalaqoh (melingkar); seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah sesuai dengan kemauanya. Umunya guru atau syaikh yang mengajar itu duduk bersama para pelajar, tetapi guru kadang-kadang duduk di kursi ketika menerangkan kitab yang diajarkan. Di samping itu metode diskusi sangat dikembangkna sebagai metode dalam pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanyan berperan sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan. Kurikulum yang dipakai pada mulanya fiqih dan al-qur’an dan ilmu agama lainnya. Setelah menjadi universitas mulai memasuki ilmu umum.
Para mahasiswa kelihatanya harus mengikuti banyak sekali program kegiatan. Mereka harus bangun pagi-pagi sekali pada jam 03.30 dan setelah shalat subuh harus mengikuti kuliah reguler tentang agama islam. Kegiatan ini terus berlangsung hingga siang , dengan istirahat sebentar untuk makan siang. Kuliah-kuliah juga diadakan pada sore hari dan diskusi mahasiswa sering dilakukan setelah shalat magrib.
Kegiatan pendidikan sempat terhenti ketika pasukan Prancis dibawah Napoleon Bonaparte mengalahkan mesir pada tahun 1213H / 1789M. Melihat situasi itu akhirnya Imam Agung Al-Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al-Azhar karena jihad fi sabilillah.[8] Situasi seperti ini menyadarkan para ulama mesir akan tertinggalnya dari dunia barat sekaligus menimbulkan hasrat untuk maju kembali. Maka di mesir muncullah gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad Ali seorang perwira Turki. Sesudah Perancis meninggalkan Mesir, lalu ia menjadi penguasa tunggal  (1805-1849M ).[9] Ia mengirim pelajar ke Eropa untuk tugas belajar dan untuk melakukan modernisasi pendidikan Islam.
Satu hal yang menarik untuk dicatat, bahwa sejak abad ke-10 ketika Al-Azhar dikenal sebagai lembaga pendidikan tinggi, sampai abad ke-19 para pengajarnya tidak mendapatkan gaji sama sekali. Menuntut ilmu pengetahuan dan mengajar adalah tujuan mereka. Para pengajar hidup dengan penghasilan dari kekayaannya sendiri. Baru pada awal abad ke-20 pada saat itu berbagai usaha dilakukan secara sungguh-sungguh agar diakui sebagai universitas, para pengajar mulai menerima gaji sebesar 6 pound sterling sebulan.
*      Perkembangan Al-Azhar Pada Zaman Modern (Tahun 1872-1995 M )
Sebelum tahun 1872, ijazah yang diberikan pada anak didik Al-Azhar tidak melalui ujian, tetapi diberikan atas kepuasan pribadi dari masing-masing guru. Pengembangan Al-Azhar selanjutnya tampak kembali pada masa kepemimpinan Syaikh Muhammad Abbasi Al-Mahdi Al-Hanafi, Rektor Al-Azhar ke-21. Pembaharuan yang dilakukan adalah memasukkan sistem ujian untuk mendapatkan ijazah di Al-Azhar. Calon alim harus berhadapan dengan suatu tim beranggotakan 6 orang syaikh yang ditunjuk oleh syaikh Al-Azhar untuk menguji bidang studi ushul, fiqih, tauhid, hadits, tafsir, dan ilmu bahasa seperti nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, dan mantik. Kandidat yang berhasil lulus berhak mendapat Asy-Shahadh Al-Alamiyah (ijasah kesarjanaan).
Pada bulan maret 1885 keluar undang-undang mengenai pengaturan tenaga pengajar di Al-Azhar. Seseorang dapat menjadi tenaga pengajar setelah ia dapat menyelesaikan buku-buku induk dalam 12 bidang studi di atas tersebut. Dan Pada tahun 1896, buat pertama kali dibentuk Idarah Al-Azhar (dewan administrasi Al-Azhar). Usaha dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan tentang membagi madrasah belajar di Al-Azhar menjadi dua periode: pendidikan dasar (ash-shahadah al-ahliyah), pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (ash-shahadah al-‘alamiyah). Masa belajar untuk periode pertama 8 tahun dan periode kedua 6 tahun.
Pembaruan selanjutnya dilakukan oleh Muhammad Abduh (1849-1905M). Pada mulanya tokoh ini mendapat tantangan dari ulama konservatif , tetapi Al-Azhar setelah dipegang oleh (teman dekatnya) ia memdapat kesempatan untuk melakukan pembaharuan Syaikh Al-Nawawi. Sementara itu ia juga memasukkan kurikulum modern seperti, fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah ke Al-Azhar. Di samping masjid didirikan dewan administrasi Al-Azhar dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syaikh Al-Azhar.
Tahun 1908, jenjang pendidikan Al-Azhar menjadi tiga: (1) pendidikan dasar, (2) pendidikan menengah, (3) pendidikan tingggi. Tahun 1911 keluar undang undang yang menyatakan setiap jenjang pendidikan berdurasi 5 tahun (pendidikan dasar 5 tahun, pendidikan menengah 5 tahun, dan pendidikan tingi 5 tahun). Tahun 1930 jenjang pendidikan disempurnakan menjadi empat. (1) pendidikan rendah selama 4 tahun, (2) pendidikan menengah selama 5 tahun, (3) pendidikan tinggi selama 4 tahun, (5) pendidikan keterampilan salama 5 tahun.[10]
Pada tahun 1983 Universitas Al-Azhar kembali membuka lima fakultas baru, dengan demikian sampai dengan akhir tahun 1983 jumlah Universitas di Al-Azhar berjumlah 39 fakultas.[11] Pada masa kepemimpinan Syaikh Mahmud Saltut Rektor Al-Azhar ke-41 dibentuk organisasi yang mengatur pemeliharaan Al-Qur’an dan lahir fakultas-fakultas kedokteran, fakultas pertanian, fakultas teknik.
Peranan Al-Azhar  sebagai lembaga pendidikan tinggi saat itu, telah banyak banyak melahirkan ulama yang tidak diragukan lagi dari aspek keilmuanya, dan telah banyak menyumbangkan khazanah ilmu pengetahuan terutama keislaman., baik dari Mesir maupun ulama yang berasal dari daerah lainnya. Diantara mereka ialah Izaudin Bin Abdissalam, Imam Subki, Jalaludin As-Suyuti, Al-Hafiz Ibnu Hajaral-Asqolani, dan masih banyak lagi. Karya ulama tersebut masih dapat dipelajari dan disaksikan sampai sekarang.

BAB III
KESIMPULAN

F  Latar belakang berdirinya Al-Azhar adalah untuk kepentingan para penguasa dari dinasti fatimiyah yang ingin menanamkan kekuasaan melalui pendekatan pengajaran ajaran syiah. Al-Azhar sejak berdirinya mengalami pasang surut karena pengaruh kepentingan penguasa saat itu. Hal ini karena posisi al-azhar yang tidak independen. Memang sejak awal Al-Azhar sudah dijadikan alat dan tunggangan politik dinasti fatimiyah yang bermadzab syiah, sehingga setiap pergantian kekuasaan, aturan yang sudah ada mengalami penyesuaian bahkan perombakan oleh kekhalifahan yang berkuasa berikutnya.
F  Ketika Al-Azhar dibawah naungan penguasa yang silih berganti, universitas ini banyak mengalami perombakan dan pembaharuan. Setelah Hulagu Khan menghancurkan peradaban Baghdad serta jatuhnya peradaban di Spanyol, menjadikan Al-Azhar sebagai tempat perlindungan para ulama. Itulah awal paroh kedua bagi Al-Azhar memasuki aktivitas setelah diberhentikannya akivitas oleh dinasti Ayyubiyah. Momentum ini menjadikan Al-Azhar masyhur namanya di kalangan dunia Islam, secara tidak langsung menarik minat para pelajar untuk belajar di sana.
F  Sistem pembelajaran di Al-Azhar pada awalnya sama seperti intitusi lain yaitu dengan menggunakan halaqoh. Dan setiap pelajar bebas memilih guru yang diinginkan. Tetapi setelah berjalannya waktu maka Al-Azhar semakin berkembang sehingga secara tidak langsung Al-Azhar mengalami banyak perubahan yang menghantarkan pada kemajuan. Hal ini terbukti banyak melahirkan para ulama muslim yang terkenal dengan kitab dan karangannya.



DAFTAR RUJUKAN

Bilgrami, H.H dan S.A Asraf, Konsep Universitas Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Idi, Abdulloh dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Langulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Bad 21, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1988.
Nata, Abudin, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Yunus, Mahmud,  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1992.


[1]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik Dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Hal 88
[2] Abdulloh Idi Dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), Hal 37
[3] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), Hal 175
[4] Hasan Langulung, Pendidikan Islam Menghadapi Bad 21, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1988), Hal 47
[5] H.H Bilgrami dan S.A Asraf, Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), Hal 41
[6] Nata, Sejarah Pendidikan., hal 95
[7]  Yunus,Sejarah., hal 177
[9] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), Hal. 185
[10] Nata, Sejarah Pendidikan., hal 192-193
[11] Suwito, Sejarah Sosial., hal 186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar