Al-Azhar Kairo Mesir
Sebagai
Lembaga Pendidikan Islam
Oleh:
Aminatul Zahroh
Akademisi
Pascasarjana STAIN Tulungagung
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Madarasah
sebagai salah satu intitusi pendidikan Islam, yang secara historis telah
berabad-abad usianya. Namun usia yang begitu tua tersebut tidak menjadikan
keberadaan madrasah sebagai lembaga yang kondusif untuk proses belajar mengajar
apabila dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang nota bene baru berusia muda.
Pada masa
awal, proses pendidikan islam berlangsung ditempat-tempat yang merupakan tempat
ibadah (masjid). Namun karena banyaknya umat islam yang berminat untuk belajar
sedangkan kapasitas masjid tidak lagi mencukupi, intitusi pendidikan mulai mengadakan pembenahan-pembenahan
dengan mendirikan masjid khan (skat-skat). Dalam masjid khan mulai dilakukan
pembagian kelompok studi belajar terhadap murid-murid yang belajar. Kendati
sudah ada pengelompokan, tapi pada tahap ini belum ada pengolahan administrasi
yang bagus.
Sedangkan Al-Azhar
tampak berbeda dengan intitusi madarsah sebelumnya. Pada lembaga ini sudah
dilengkapi dengan asrama untuk guru-guru dan para mahasiswa, juga aula besar (iwan)
yang dipergunakan untuk kuliah umum. Peran Al-Azhar sebagai madrasah yang
menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, seperti istilah Philip K. Hitti yang
di kutip oleh Abudin Nata menyatakan madarasah merupakan lembaga pendidikan
tinggi (intitusion of higher education) atau collage (akademi
menurut perbandingan pendidikan sekarang).[1]
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah berdirinya Al-Azhar sebagai universitas tertua di dunia Islam?
- Bagaimana keberadaan Al-Azhar di bawah naungan para penguasa?
- Bagaimana aktivitas pendidikan di Al-Azhar?
C. Tujuan Masalah
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Al-Azhar sebagai universitas tertua di dunia islam
- Untuk mengetahui bagaimana keberadaan Al-Azhar di bawah naungan para penguasa
- Untuk mengetahui bagaimana aktivitas pendidikan di Al-Azhar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya
Al-Azhar
Pada
mulanya Al-Azhar adalah sebuah masjid. Universitas ini didirika oleh Jauhar Al-Saqilli,
panglima perang kholifah Al-Muizi Li Dinillah pada tahun 970 M.[2]
Yang bertepatan tanggal 24 Jumadil Ula 359 H dan selesai pembangunanya pada
bulan Ramadhan 361 H. Merupakan masjid
pertama di Kairo dan mesjid keempat di Mesir setelah masjid Amr bin Ash, masjid
Asmar dan masjid Ahmad Ibn Thulun.
Para ulama
tarikh berbeda pendapat soal asal-usul penamaan Al-Azhar. Sebagian mereka
menyebutkan nama itu diambil dari kegemilangan kota Kairo yang memang
dikelilingioleh bangunan-bangunan yang megah. Sementara yang lain menyakini
kalau nama masjid itu diambil dari nama putri Nabi Muhammad Saw. Fatimah Az-Zahro’
sebagai tanda kemuliaan dan kecintaan masyarakat dan para pemimpin dinasti
fatimiyah padanya.
Pada tahun
361 H al-azhar dibuka untuk umum yang diawali dengan kuliah agama oleh Al-Qodhi
Abu Hasan Al-Qairawani pada masa pemerintahan Malik Al-Nasir. Al-Azhar sejak
mulai dibangun mendapat perhatian dan bantuan dari kholifah-kholifah fatimiyah,
kemudian oleh raja-raja, sultan-sultan dan pemerintah-pemerintah sampai
sekarang. Di sekeliling Al-Azhar di bangunkan ruak-ruak untuk asrama pelajar
serta disediakan pula perpustakaan yang berisi bermacam-macam ilmu pengetahuan
terutama ilmu agama dan bahasa Arab. Bangunan Al-Azhar kerap kali ditambah dan
diperluas.
B. Al-Azhar Dalam
Kekuasaan Kholifah
1) Masa Dinasti
Fatimiyah
Al-Azhar pada
masa fatimiyah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi corong untuk
propaganda kekuasaan kekholifahan, sekaligus sebagai alat penyebaran doktrin ajaran
syiah. Pada masa itu sistem pengajaran terbagi menjadi empat kelas yaitu:
² Kelas pertama,
diperuntukkan bagi orang yang datang ke Al-Azhar untuk mempelajari Al-Qur’an dan
penafsiranya.
² Kelas kedua, untuk
mahasiswa universitas Al-Azhar kuliah dengan para dosen yang ditandai dengan
mengajukan pertanyaan dan mengkaji jawabanya.
² Kelas ketiga, kelas
darul hikmah kuliah ini diberikan oleh para muballig seminggu sekali pada hari
senin yang dibuka untuk umum dan pada hari kamis khusus untuk mahasiswa
pilihan.
² Kelas keempat, kelas
non formal yaitu kelas untuk pelajar wanita
Mahasiswa
yang belajar di Al-Azhar dilarang mempelajari madzab selain madzab Syiah.
Sedemikian ketatnya sampai ada mahasiswa yang menyimpan kitab al-muwatho’
karangan Imam Malik dihukum dan dipenjarakan
(tahun 381 H = 991 M )[3]
Pada masa Al-Aziz
Billah 387 H/988 M bersama dengan usaha wazirnya Yakub Ibn Kills, di Al-Azhar dijadikan
sebagai universitas Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agama, ilmu akal (logika)
dan ilmu umumnya. Untuk menunjang kegiatan dan pengajaran, Al-Azhar dilengkapi
dengan asrama untuk para fuqoha dan untuk semua urusan dan kebutuhannya
ditanggung oleh kholifah. Ilmu agama yang diajarkan meliputi ilmu tafsir,
qiraat, hadits, fiqih, nahwu, sharaf, dan sastra. Sedangkan ilmu umum yang
dipelajai ialah filsafat, ilmu falak, ilmu ukur, musik, kedokteran, sejarah
serta ilmu bumi, serta darul hikmah yang di dirikan oleh kholifah Al-Hakim pada
tahun 359 H/ 1005M.
2) Masa Dinasti Ayyubi
Setelah
daulah fatimiyah jatuh ketangan Shalahudin Al-Ayyubi pada tahun 567H/1171M,
maka ia mengambil kebijakan baru untuk menghilangkan aliran syiah yang telah
tumbuh dan berkembang sekian lama. Sebab Sholahuddin Al-Ayyubi adalah orang
yang menganut paham sunni. Terutama melalui sarana Al-Azhar untuk digantikannya
dengan aliran sunni, dengan demikian Al-Azhar ditutup sebagai universitas dan
tertutup pula untuk tempat shalat jum’at.
Beberapa
kebijakan pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi adalah
F Pembekuan kegiatan
khutbah di Al-Azhar selama hampir seratus tahun yaitu sejak tahun 567 H / 1171
M sampai masa sultan Al-Mamluki Al-Dzahir pada tahun 665 H / 1266 M
F Untuk mengembagkan
ilmu agama dan bahasa Arab, membuka madrasah sebagai sarana perkuliahan.
Perkuliahanya beralih ke madrasah-madrasah dan lembaga-lembaga kuliah setingkat
universitas, yang jumlahnya hingga mencapai 25 di Kairo.[4]
Seperti madrasah Al- Nasriyah tahun 566 H yang terletak di samping masjid Amr bin
Ash, madrasah Qomhiyah tahun 566 H yang khusus mengajar fiqih madzab Maliki,
madrasah Salahiyah tahun 572 M yang terletak di samping masjid Imam Syafi’i.
3) Masa Dinasti Mamalik
Pada masa
ini terjadi sebuah serbuan besar-besaran dari bangsa mongol ke timur dan
jatuhnya Islam di barat, sehingga menyebabkan banyak ulama dan ilmuan muslim
mencari perlindungan ke Al-Azhar. Hal ini menyebabkan posisi Al-Azhar menjadi
penting. Sejak saat itu banyak pelajar dan negara Islam yang tertarik menjadi
mahasiswa dan belajar di Al-Azhar. Tidak mengherankan bahwa kurun waktu ini
digambarkan oleh para ahli ketimuran (orientalis) sebagai zaman keemasan
dalam sejarah Al-Azhar.[5]
Padahal
sejak satu abad Al-Azhar ditutup, yaitu pada masa Sholahudin Al-Ayyubi. Pada
tahun 665 H seorang amir mengajukan kepada Sultan Al-Zhahir Baibars untuk
membuka kembali Al-Azhar sebagai tempat ibadah dan tempat pendidikan. Ternyata
usulan tersebut diterima dan disambut baik oleh Baibars. Sedangkan pendanaanya
dibiayai oleh Amir dan penguasa yang memberikan bantuan secara ikhlas.
Sejak
itulah banyak ulama yang datang untuk belajar dan mengajar seperti Ibnu Kholdun
(784H / 1382M), Ibnu Hajar Al-Atsqolani (w 808H / 1406M) Taqiya Al-Din Al-Maqrizi
(w.845H / 1441M), Jalaludin Al-Suyuti (922H / 1505M).[6]
Pada masa
dinasti ini, dilakukan proyek renovasi besar-besaran pada komplek masjid Al-Azhar,
diantaranya untuk membangun paviliun sebagai tempat penginapan bagi para
pelajar. Penginapan itu sendiri diberikan untuk jangka waktu empat bulan bagi
para pelajar. Setiap distrik di Mesir dan negeri-negeri Islam lainya mendapat
jatah penginapan di paviliun tersebut.
Tatkala Mesir
kehilangan kemerdekaan tahun 922 H/1517 M oleh Turki Usmani mundurlah pendidikan
dan pengajaran di Al-Azhar khususnya dan di madrasah lainya. Pada masa itu
ilmu-ilmu yang diajarkan di Al-Azhar hanya ilmu agama dan bahasa arab saja.
Sedangkan ilmu-ilmu aqliyah seperti filsafat , ilmu pasti, ilmu bumi dn
sebagainnya dianggap haram hukumnya.[7]
Kendati demikian tidak dapat diartikan
tidak ada seorangpun yang belajar dan mengajarkan ilmu aqliyah tetapi dengan
kemaun sendiri seperti Syaikh Abdul Mun’im Damanhuri dimana ijazahnya
disebutkan ilmu yang telah dipelajarinya meliputi ilmu al-jabar, ilmu falak,
ilmu kesehatan dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan ilmu aqliyah tidak 100%
lenyap di Al-Azhar.
C. Aktivitas
Pendidikan di Al-Azhar
Pada
mulanya pengajaran di Al-Azhar sama dengan institusi pendidikan lainya yaitu
sistem berhalaqoh (melingkar); seorang pelajar bebas memilih guru dan pindah
sesuai dengan kemauanya. Umunya guru atau syaikh yang mengajar itu duduk
bersama para pelajar, tetapi guru kadang-kadang duduk di kursi ketika
menerangkan kitab yang diajarkan. Di samping itu metode diskusi sangat dikembangkna
sebagai metode dalam pembelajaran antar pelajar, seorang guru hanyan berperan
sebagai fasilitator dan memberikan penajaman dari materi yang didiskusikan.
Kurikulum yang dipakai pada mulanya fiqih dan al-qur’an dan ilmu agama lainnya.
Setelah menjadi universitas mulai memasuki ilmu umum.
Para
mahasiswa kelihatanya harus mengikuti banyak sekali program kegiatan. Mereka
harus bangun pagi-pagi sekali pada jam 03.30 dan setelah shalat subuh harus
mengikuti kuliah reguler tentang agama islam. Kegiatan ini terus berlangsung
hingga siang , dengan istirahat sebentar untuk makan siang. Kuliah-kuliah juga
diadakan pada sore hari dan diskusi mahasiswa sering dilakukan setelah shalat
magrib.
Kegiatan
pendidikan sempat terhenti ketika pasukan Prancis dibawah Napoleon Bonaparte mengalahkan
mesir pada tahun 1213H / 1789M. Melihat situasi itu akhirnya Imam Agung Al-Azhar
dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al-Azhar karena jihad
fi sabilillah.[8]
Situasi seperti ini menyadarkan para ulama mesir akan tertinggalnya dari dunia
barat sekaligus menimbulkan hasrat untuk maju kembali. Maka di mesir muncullah
gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad Ali seorang perwira Turki.
Sesudah Perancis meninggalkan Mesir, lalu ia menjadi penguasa tunggal (1805-1849M ).[9]
Ia mengirim pelajar ke Eropa untuk tugas belajar dan untuk melakukan
modernisasi pendidikan Islam.
Satu hal
yang menarik untuk dicatat, bahwa sejak abad ke-10 ketika Al-Azhar dikenal
sebagai lembaga pendidikan tinggi, sampai abad ke-19 para pengajarnya tidak mendapatkan
gaji sama sekali. Menuntut ilmu pengetahuan dan mengajar adalah tujuan mereka.
Para pengajar hidup dengan penghasilan dari kekayaannya sendiri. Baru pada awal
abad ke-20 pada saat itu berbagai usaha dilakukan secara sungguh-sungguh agar
diakui sebagai universitas, para pengajar mulai menerima gaji sebesar 6 pound
sterling sebulan.
Perkembangan Al-Azhar Pada Zaman Modern (Tahun
1872-1995 M )
Sebelum
tahun 1872, ijazah yang diberikan pada anak didik Al-Azhar tidak melalui ujian,
tetapi diberikan atas kepuasan pribadi dari masing-masing guru. Pengembangan Al-Azhar
selanjutnya tampak kembali pada masa kepemimpinan Syaikh Muhammad Abbasi Al-Mahdi
Al-Hanafi, Rektor Al-Azhar ke-21. Pembaharuan yang dilakukan adalah memasukkan
sistem ujian untuk mendapatkan ijazah di Al-Azhar. Calon alim harus berhadapan
dengan suatu tim beranggotakan 6 orang syaikh yang ditunjuk oleh syaikh Al-Azhar
untuk menguji bidang studi ushul, fiqih, tauhid, hadits, tafsir, dan ilmu
bahasa seperti nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, dan mantik. Kandidat yang
berhasil lulus berhak mendapat Asy-Shahadh Al-Alamiyah (ijasah kesarjanaan).
Pada bulan
maret 1885 keluar undang-undang mengenai pengaturan tenaga pengajar di Al-Azhar.
Seseorang dapat menjadi tenaga pengajar setelah ia dapat menyelesaikan
buku-buku induk dalam 12 bidang studi di atas tersebut. Dan Pada tahun 1896,
buat pertama kali dibentuk Idarah Al-Azhar (dewan administrasi Al-Azhar).
Usaha dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan tentang membagi madrasah
belajar di Al-Azhar menjadi dua periode: pendidikan dasar (ash-shahadah
al-ahliyah), pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (ash-shahadah
al-‘alamiyah). Masa belajar untuk periode pertama 8 tahun dan periode kedua
6 tahun.
Pembaruan
selanjutnya dilakukan oleh Muhammad Abduh (1849-1905M). Pada mulanya tokoh ini
mendapat tantangan dari ulama konservatif , tetapi Al-Azhar setelah dipegang
oleh (teman dekatnya) ia memdapat kesempatan untuk melakukan pembaharuan Syaikh
Al-Nawawi. Sementara itu ia juga memasukkan kurikulum modern seperti, fisika,
ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah ke Al-Azhar. Di samping masjid
didirikan dewan administrasi Al-Azhar dan diangkat beberapa orang sekretaris
untuk membantu kelancaran tugas Syaikh Al-Azhar.
Tahun 1908,
jenjang pendidikan Al-Azhar menjadi tiga: (1) pendidikan dasar, (2) pendidikan
menengah, (3) pendidikan tingggi. Tahun 1911 keluar undang undang yang menyatakan
setiap jenjang pendidikan berdurasi 5 tahun (pendidikan dasar 5 tahun,
pendidikan menengah 5 tahun, dan pendidikan tingi 5 tahun). Tahun 1930 jenjang
pendidikan disempurnakan menjadi empat. (1) pendidikan rendah selama 4 tahun,
(2) pendidikan menengah selama 5 tahun, (3) pendidikan tinggi selama 4 tahun,
(5) pendidikan keterampilan salama 5 tahun.[10]
Pada tahun
1983 Universitas Al-Azhar kembali membuka lima fakultas baru, dengan demikian
sampai dengan akhir tahun 1983 jumlah Universitas di Al-Azhar berjumlah 39
fakultas.[11] Pada
masa kepemimpinan Syaikh Mahmud Saltut Rektor Al-Azhar ke-41 dibentuk
organisasi yang mengatur pemeliharaan Al-Qur’an dan lahir fakultas-fakultas
kedokteran, fakultas pertanian, fakultas teknik.
Peranan Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tinggi saat itu,
telah banyak banyak melahirkan ulama yang tidak diragukan lagi dari aspek
keilmuanya, dan telah banyak menyumbangkan khazanah ilmu pengetahuan terutama
keislaman., baik dari Mesir maupun ulama yang berasal dari daerah lainnya. Diantara
mereka ialah Izaudin Bin Abdissalam, Imam Subki, Jalaludin As-Suyuti, Al-Hafiz
Ibnu Hajaral-Asqolani, dan masih banyak lagi. Karya ulama tersebut masih dapat
dipelajari dan disaksikan sampai sekarang.
BAB III
KESIMPULAN
F Latar belakang
berdirinya Al-Azhar adalah untuk kepentingan para penguasa dari dinasti
fatimiyah yang ingin menanamkan kekuasaan melalui pendekatan pengajaran ajaran
syiah. Al-Azhar sejak berdirinya mengalami pasang surut karena pengaruh
kepentingan penguasa saat itu. Hal ini karena posisi al-azhar yang tidak
independen. Memang sejak awal Al-Azhar sudah dijadikan alat dan tunggangan
politik dinasti fatimiyah yang bermadzab syiah, sehingga setiap pergantian
kekuasaan, aturan yang sudah ada mengalami penyesuaian bahkan perombakan oleh
kekhalifahan yang berkuasa berikutnya.
F Ketika Al-Azhar dibawah
naungan penguasa yang silih berganti, universitas ini banyak mengalami
perombakan dan pembaharuan. Setelah Hulagu Khan menghancurkan peradaban Baghdad
serta jatuhnya peradaban di Spanyol, menjadikan Al-Azhar sebagai tempat
perlindungan para ulama. Itulah awal paroh kedua bagi Al-Azhar memasuki
aktivitas setelah diberhentikannya akivitas oleh dinasti Ayyubiyah. Momentum
ini menjadikan Al-Azhar masyhur namanya di kalangan dunia Islam, secara tidak
langsung menarik minat para pelajar untuk belajar di sana.
F Sistem pembelajaran
di Al-Azhar pada awalnya sama seperti intitusi lain yaitu dengan menggunakan
halaqoh. Dan setiap pelajar bebas memilih guru yang diinginkan. Tetapi setelah
berjalannya waktu maka Al-Azhar semakin berkembang sehingga secara tidak
langsung Al-Azhar mengalami banyak perubahan yang menghantarkan pada kemajuan.
Hal ini terbukti banyak melahirkan para ulama muslim yang terkenal dengan kitab
dan karangannya.
DAFTAR
RUJUKAN
Bilgrami, H.H
dan S.A Asraf, Konsep Universitas Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.
Idi,
Abdulloh dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006.
Langulung,
Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Bad 21, Jakarta: Pustaka Alhusna,
1988.
Nata,
Abudin, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan
Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Hidakarya Agung, 1992.
[1]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan
Islam Pada Periode Klasik Dan Pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), Hal 88
[2] Abdulloh Idi Dan Toto
Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006), Hal 37
[3] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), Hal 175
[4] Hasan Langulung, Pendidikan
Islam Menghadapi Bad 21, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1988), Hal 47
[11]
Suwito, Sejarah Sosial., hal
186
Tidak ada komentar:
Posting Komentar