JABARIAH DAN QADARIAH
Oleh: Aminatul Zahroh
Akademisi Pascasarjana
STAIN Tulungagung
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan ilmu
kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman
Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak
mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran
pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan
tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak
ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena
terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut
Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki
kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imani mulai dipertanyakan dan
dianalisa.
Al-Syahrastani
menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi
dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalam
yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam
membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk
membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan
fungsi perbuatan manusia.[1]
Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Menanggapi
pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak
belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal
dengan istilah Qadariyah dan Jabariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada
otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu
berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Paham Qadariyah telah
meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan
kehendaknya (free act dan free will). Jika manusia berbuat baik,
hal itu atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan
kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu, jika seseorang diberi pahala
yang baik berupa surga atau diberi siksa di neraka, semua itu atas pilihannya
sendiri.[2]
Sedangkan
Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan
pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Paham Jabariyah diduga
telah ada sejak sebelum Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab
yang diliputi oleh gurun pasir yang terjal, gersang dan panas telah memberi
pengaruh besar kedalam cara hidup mereka. Mereka tidak banyak melihat jalan untuk
mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Mereka merasa dirinya lemah dan tidak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran
hidup yang ditimbulkan oleh suana padang pasir, sehingga mereka banyak
bergantung pada alam yang membawa mereka bersikap fatalis.[3]
Di samping itu, berbagai ayat al-Quran
menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan
manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas
segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima
siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam al-Quran yang
mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata
lain manusia tidak memiliki
kebebasan. Para ahli agama dan filosof dalam berbagai kurun waktu aktif
membahas apakah manusia bebas berbuat sesuatu dengan kehendaknya atau
kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya.[4]
Makalah ini akan
mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah
ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah
dan Qadariyah. Mencakup di
dalamnya adalah sejarah munculnya aliran dan ajaran-ajarannya secara umum
serta refleksi jabariyah dan qadariyah tentang musibah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya
aliran Jabariah?
2. Apa saja ajaran-ajaran aliran
Jabariah?
3. Bagaimana sejarah munculnya
aliran Qadariah?
4. Apa saja ajaran-ajaran aliran
Qadariah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah
munculnya aliran jabariah
2. Untuk mengetahui ajaran-ajaran
jabariyah
3. Untuk mengetahui sejarah
munculnya aliran qadariah
4. Untuk mengetahui ajaran-ajaran
qadariyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. ALIRAN JABARIYAH (FATALISME/PREDESTINATION)
1. Sejarah
Munculnya Aliran Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa.[5]
Dinamakan
demikian, karena kaum jabariyah mempunyai paham bahwa manusia melakukan perbuatan-perbuatannya itu dalam
keadaan terpaksa.[6] Mereka
berpendirian bahwa semua kejadian itu telah ditentukan oleh tuhan dari semula, nasib baik dan buruk datangnya
dari Tuhan. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari
kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan
sesuatu. Salah satu sifat dari Allah
adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah
Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua
perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[7]
Menurut kaum Jabariah manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak perbuatannya. Manusia dalam
paham ini terikat pada kehendak mutlak tuhan.[8]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang
dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh
Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada
yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan
Tuhan sebagai dalangnya.[9]
Menurut Harun Nasution sebagaiman
dikutip oleh Mustajib, bahwa masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya
dipengaruhi paham Jabariah. Bangsa arab yang pada waktu itu bersifat serba
sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan
suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunung yang gundul.
Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah
keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa
dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang
ditimbulkan oleh suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka
banyak tergantung pada kehendak alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham
fatalisme atau predestination, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu
telah ditentukan dari sejak asal oleh qadha’ dan qadar tuhan.[10]
Aliran Jabariyah ini bersumber dari
fikiran seorang Yahudi yang bernama Thalut bin A’shom, yang sengaja
diinfiltrasikan ke dalam islam pada permulaan Khulafaur Rasyidin. Kemudian
disebarkan oleh Ibban bin Sam’an dan Ja’ad bin Dirham. Ada yang mengatakan
bahwa aliran ini adalah aliran Jahmiyah, pengikut Jaham bin Safwan dari Persia,
yang mati dibunuh pada tahun 131 H pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah.[11]
Aliran Jabariyah pertama
kali dicetuskan oleh Ja’ad ibn Dirham. Namun dalam sejarah tertulis bahwa
penyebar faham ini adalah Jahm ibn Safwan (w. 127 H/745 M), lahir di kota Samarkand, Khurasan, Iran
dan menetap di Iraq.
Ia seorang budak yang sudah dimerdekakan (mawali). Aliran ini dimulai di kota Tirmizh (Iran
Utara), dan dikenal juga dengan aliran Jahmiyah.[12]
Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan
manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.
Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zahra dan al-Qasimi adalah
Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariyah.[13]
Dasar fikiran jabariyah ini ialah bahwa
Tuhan adalah pencipta segala kejadian dan perbuatan, dan Tuhan itu tidak ada
yang menyamainya dalam segala hal. Jadi manusia tidak mempunyai kekuasaan
apa-apa karena segala gerak-geriknya diciptakan oleh Tuhan. Karena bila manusia
dapat menciptakan perbuatannya, maka ia bebas berbuat apa yang dikehendakinya.
Ini namanya menyamai Tuhan, padahal mustahil.[14]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang
awal lahirnya aliran ini, dalam al-Quran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng
menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah,
diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès?
“Dan
Allah-lah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b. QS al-Anfal: 17
4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu
“Bukan
kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka.”
c. QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$#
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu),
kecuali bila dikehendaki Allah.”
d. QS
al-an’am: 112
$¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# £`Å3»s9ur öNèdusYò2r& tbqè=ygøgs ÇÊÊÊÈ
“Mereka
sebenarnya tidak akan percaya, kecuali Allah menghendakinya”.
Ada sebuah pandangan
mengatakan bahwa aliran Jabariah muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran
asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab
Yacobit.[15]
Dengan demikian, latar belakang lahirnya
aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang
berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan
Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam
yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar
munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: Pertama,
adanya paham Qadariyah, Kedua, telalu tekstualnya pamahaman agama
tanpa adanya keberanian menakwilkan dan Ketiga adalah adanya aliran
salaf yang ditokoh Muqatil
bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga
membawa kepada Tasybih (penyerupaan sifat
Tuhan dengan manusia).[16]
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa, dalam aliran Jabariah manusia tidak mempunyai kekuasaan
untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya dan kehendak sendiri serta
tidak mempunyai pilihan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia dalam
perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan
baginya. Kalau seseorang membunuh orang lain, maka perbuatannya itu bukanlah
terjadi atas kehendaknya sendiri karena qadha dari qadar Tuhan yang menghendaki
demikian. Dengan kata lain, dia membunuh bukanlah atas kehendaknya sendiri,
tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk membunuh. Manusia dalam paham ini hanya
merupakan wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia bergerak dan berbuat
karena digerakkan oleh Tuhan. Tanpa gerak dari Tuhan manusia tidak dapat
berbuat apa-apa.
2. Ajaran-Ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama,
Jabariyah murni atau ekstrim, yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān paham fatalisme
ini beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri
manusia, tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan,
kemauan dan pilihan baginya. Manusia
sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk
berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti
takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan
Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan
dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majāzī atau kiasan. Seperti halnya
“perbuatan” yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan: pohon
berbuah, air mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit
mendung dan menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan,
dan sebagainya. Selain itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan
sebagaimana halnya dengan semua perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau
pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab juga merupakan suatu paksaan. Kalau
seseorang mencuri atau minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu bukanlah
terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan
yang menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr
bukanlah atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat demikian.
Dengan demikian ajaran Jabariyah
yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan
kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas
sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario
dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia
dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan
menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia
mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh
yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian
atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat
dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya)
pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan
dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[17]
Paham moderat ini mengakui
adanya intervensi manusia dalam perbuatannya. Karena manusia telah memiliki
bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak
lagi seperti wayang yang digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan
manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.
B. ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT(
1. Sejarah Munculnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah
secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan
dan kekuatan. Adapun
secara terminologis adalah satu aliran yang percaya akan kebebasan manusia
bertindak dan menentukan pilihan perbuatan tanpa peran Tuhan. Setiap manusia
adalah pencipta bagi perbuatannya, dengan demikian kita dapat berbuat sesuatu
atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[18]
Nama
Qadariah sendiri diambil dari paham yang mereka anut, yaitu bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya.[19]
Kaum Qadariah berpendirian bahwa ketentuan dari segala sesuatu adalah di tangan
manusia sendiri. Perbuatan yang baik dan jelek datangnya dari usaha manusia
sendiri.[20]
Manusia dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Dengan
demikian, manusia mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan segala amal
perbuatannya. Manusia dapat berbuat baik dan buruk menurut kemauannya sendiri,
tanpa ada kekuasaan lain yang memaksanya.[21]
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[22]
Dalam teologi modern aliran ini dikenal dengan nama free will, freedom of
willingness atau freedom of action, yaitu kebebasan untuk kehendak atau
kebebasan untuk berbuat.[23]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip
oleh Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka
yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki
kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia
mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[24]
Ada dua sebab utama yang dapat
dikategorikan menjadi sebab munculnya faham
dan aliran Qadariyah yaitu :
a. Masyarakat
Arab yang cenderung fatalis, kehidupan yang serba sulit, faktor alam yang tidak
mendukung untuk lepas dari faham tersebut. Agama Islam yang dianut oleh mereka
justru menjadikan mereka bertambah dalam ke faham fatalis tersebut. Allah SWT telah menentukan nasib
manusia terlebih dahulu, dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut
nasib yang ditentukan sejak azali. Ada Sunnatullah yang hadir dalam setiap
detak dan detik denyut kehidupan semesta ini, dan manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah ditentukan.
b. Secara
politis, pemerintah yang berkuasa ketika itu, Bani Umayyah, menganut dan menekankan
faham
fatalis, serta menjadikannya legitimasi. kekuasaan
yang dipegang. Apa yang menjadi ketetapan penguasa adalah takdir Tuhan,
sehingga siapapun yang menentang, maka sama saja dengan menentang ketentuan
Tuhan. Hadirnya Qadariyah dianggap sebagai hambatan dan dukungan kepada
kelompok yang kritis terhadap rezim. Faham Takdir yang dikembangkan Qadariyah
sangat berbeda dengan keyakinan pemerintah.[25]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah
tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan
tetapi menurut
Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama
kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689
M.[26]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama
kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian
masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham
Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah
Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.[27]
Aliran Qadariyah ini berkembang pada masa akhir pemerintahan Khalifah Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dan dalam masa Bani Umayyah. [28]
Ditinjau dari segi politik kehadiran
mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena
itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan,
bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat
dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan
selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[29]
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa aliran Qadariyah menjelaskan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya, mereka beranggapan
bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata keinginannya sendiri yang
terlepas dari kehendak Tuhan. Manusia mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya
dan segala amal perbuatannya. Manusia dapat berbuat baik dan buruk menurut
kemauannya sendiri tanpa ada kekuasaan lain yang memaksanya. Jadi Tuhan hanya
menciptakan manusia, tetapi manusia mempunyai kemauan dan perbuatan sendiri,
jika manusia berbuat baik maka akan memperoleh pahala dan akan memperoleh siksa
bila perbuatannya jelek. Karena manusia mempunyai kekuasaan sendiri dalam menciptakan
perbuatannya, terpisah dari Qudrat dan Iradat Tuhan.
2. Ajaran-Ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan
pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh
an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia
dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[30]
Dengan demikian bahwa segala
tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai
kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik
berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan
pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman
atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan
balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak
di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir
Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya
sesuai dengan tindakannya.[31]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah
berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu
paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut
nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir
adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh
isinya, sejak azali.
Secara alamiah sesungguhnya
manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi
fisiknya tidak dapat bebuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Allah tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu
berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan
seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Adapun ayat-ayat Alquran yang digunakan untuk mendukung aliran
Qadariah antara lain:
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/
“Kerjakanlah
apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù
“Katakanlah
kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan
barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri”. (QS.ar-Ra’du : 11)
C.
REFLEKSI FAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH : SEBUAH
PERBANDINGAN TENTANG MUSIBAH
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan
perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak
memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan
digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan
menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan
Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia
digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan
perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah
disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah
disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham
teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) sesuai
pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Al-Quran dan hadits-hadits Nabi
Muhammad) dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti
di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang
berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit
dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu
peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya,
kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan
enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah.
Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak
peranan manusia pada kecelakaan itu. Dalam hal musibah gempa dan tsunami
baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi
yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan
memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan
dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang
berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung
menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab :
adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang
menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu,
paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya,
dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.[32]
DAFTAR PUSTAKA
Referensi
Buku:
A.
Mustajib, Materi Pokok Aqidah Akhlak II, Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997.
Abudin Nata,
Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Hadariansyah,
Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2008.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI-Press, 2002.
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Supiana
dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Tim Ensiklopedi Islam, Jabariyah, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Umar
Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?, Surabaya:
Bina Ilmu, 1978.
Yusran
Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996.
Referensi
Internet:
Ahmad
Hanafi, “Sejarah Ilmu Kalam dan Pemahaman Qada dan Qadar”, dalam www.elvigunawan.blogfrienter.com/2007/02/sejarah-ilmu-kalam-dan
pemahaman qada-dan qadar, diakses 5 November 2011.
Ahmad Mubarok, “Sebab-Sebab
Munculnya Aliran Qadariah”, dalam http://blogspot.
com/2008/09/ilmu-kalam.html, diakses 5 November 2011.
Anwar
Ali, “Jabariyah Qadariah”, dalam http://blogkku.blogspot.com/2010/01/jabariyah-qadariyah.html,
diakses 5 November 2011.
Islam
adalah Rahmah, Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah”, dalam http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/pemikiran-jabariyah-dan-qadariyah.html,
diakses 5 November 2011.
Endnote
[1] Anwar Ali, “Jabariyah
Qadariah”, dalam http://blogkku.blogspot.com/2010/01/jabariyah-qadariyah.html,
diakses 5 November 2011
[2] Supiana dan Karman, Materi
Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 177
[3] Islam adalah Rahmah,
Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah”, dalam http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/pemikiran-jabariyah-dan-qadariyah.html,
diakses 5 November 2011
[4] Ahmad Mubarok, “Sebab-Sebab Munculnya Aliran
Qadariah”, dalam http://blogspot.
com/2008/09/ilmu-kalam.html, diakses
tanggal 5 November 2011
[5] Supiana dan Karman, Materi
Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 178
[6] A. Mustajib, Materi
Pokok Aqidah Akhlak II, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1997), hal. 45
[8] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 2002), cet
ke-1, hal. 33
[9] A. Mustajib, Materi
Pokok Aqidah Akhlak II..., hal. 47
[10] Ibid., hal. 45-46
[11] Umar Hasyim, Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?, (Surabaya: Bina Ilmu,
1978), hal. 53
[12] Ahmad Hanafi, “Sejarah
Ilmu Kalam dan Pemahaman Qada dan Qadar”, dalam www.elvigunawan.blogfrienter.com/2007/02/sejarahilmu-kalam-dan
pemahaman qada-dan qadar, diakses 5 November 2011
[14] Umar Hasyim, Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?., hal. 52-53
[15] Rosihan Anwar, Ilmu
Kalam, hal. 64-65
[16]Anwar Ali, “Jabariyah
Qadariah”, dalam http://blogkku.blogspot.com/2010/01/jabariyah-qadariyah.html,
diakses 5 November 2011
[17] Islam adalah Rahmah, Pemikiran Jabariyah dan
Qadariyah”, dalam http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/pemikiran-jabariyah-dan-qadariyah.html,
diakses 5 November 2011
[18] Supiana dan Karman, Materi
Pendidikan Agama Islam, hal. 176
[19] A. Mustadjib, Materi
Pokok Aqidah Akhlak II, hal. 45
[20] Umar Hasyim, Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?., hal. 54
[21] Umar Hasyim, Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?., hal. 55
[23] A. Mustadjib, Materi
Pokok Aqidah Akhlak II, hal. 45
[24] Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran
Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), hal. 68
[25] Ahmad Mubarok, “Sebab-Sebab Munculnya Aliran
Qadariah”, dalam http://blogspot.
com/2008/09/ilmu-kalam.html, diakses
tanggal 5 November 2011
[26] Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran
Teologi..., hal. 68
[28] Umar Hasyim, Apakah
Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?., hal. 54
[29] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah:
Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 74
[31] Rosihan Anwar, Ilmu
Kalam, hal. 73
[32] Islam adalah Rahmah,
Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah”, dalam http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/pemikiran-jabariyah-dan-qadariyah.html,
diakses 5 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar