Minggu, 27 Januari 2013

Pemikiran Islam


PEMIKIRAN ISLAM

JABARIAH DAN QADARIAH
Oleh: Aminatul Zahroh
Akademisi Pascasarjana STAIN Tulungagung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imani mulai dipertanyakan dan dianalisa.
Al-Syahrastani menyebutkan beberapa prinsip yang merupakan dasar bagi pembagian aliran teologi dalam Islam. Di antara prinsip fundamental yang dibahas dalam ‘ilmu al-kalam yakni berkenaan dengan qadar dan keadilan Tuhan. Ketika ulama kalam membicarakan masalah qada’ dan qadar, dan hal itu mendorong mereka untuk membicarakan asas taklif, pahala dan siksa, mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia.[1]
              Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.         
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham tersebut dikenal dengan istilah Qadariyah dan Jabariyah. Golongan Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia. Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan perbuatannya secara bebas. Paham Qadariyah telah meletakkan manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya (free act dan free will). Jika manusia berbuat baik, hal itu atas kehendak dan kemauannya sendiri serta berdasarkan kemerdekaan dan kebebasan memilih yang ia miliki. Oleh karena itu, jika seseorang diberi pahala yang baik berupa surga atau diberi siksa di neraka, semua itu atas pilihannya sendiri.[2]
Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Paham Jabariyah diduga telah ada sejak sebelum Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir yang terjal, gersang dan panas telah memberi pengaruh besar kedalam cara hidup mereka. Mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh suana padang pasir, sehingga mereka banyak bergantung pada alam yang membawa mereka bersikap fatalis.[3]
 Di samping itu, berbagai ayat al-Quran menampakkan kedua aliran itu secara nyata. Berbagai ayat menunjukkan kebebasan manusia melakukan perbuatannya. Setiap manusia dibebani tanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Karenanya mereka berhak memperoleh pahala atau menerima siksa, dipuji atau dicela. Demikian pula banyak ayat lain dalam al-Quran yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepenuhnya oleh Tuhan. Dengan kata lain manusia tidak          memiliki kebebasan. Para ahli agama dan filosof dalam berbagai kurun waktu aktif membahas apakah manusia bebas berbuat sesuatu dengan kehendaknya atau kehendaknya itu disebabkan oleh sesuatu yang di luar dirinya.[4]
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah sejarah munculnya aliran dan ajaran-ajarannya secara umum serta refleksi jabariyah dan qadariyah tentang musibah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Jabariah?
2. Apa saja ajaran-ajaran aliran Jabariah?
3. Bagaimana sejarah munculnya aliran Qadariah?
4. Apa saja ajaran-ajaran aliran Qadariah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah munculnya aliran jabariah
2. Untuk mengetahui ajaran-ajaran jabariyah
3. Untuk mengetahui sejarah munculnya aliran qadariah
4. Untuk mengetahui ajaran-ajaran qadariyah

BAB II
PEMBAHASAN

A. ALIRAN JABARIYAH (FATALISME/PREDESTINATION)
1. Sejarah Munculnya Aliran Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa.[5] Dinamakan demikian, karena kaum jabariyah mempunyai paham bahwa manusia  melakukan perbuatan-perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.[6] Mereka berpendirian bahwa semua kejadian itu telah ditentukan oleh tuhan  dari semula, nasib baik dan buruk datangnya dari Tuhan. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[7]
Menurut kaum Jabariah manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak tuhan.[8] Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[9]
Menurut Harun Nasution sebagaiman dikutip oleh Mustajib, bahwa masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi paham Jabariah. Bangsa arab yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunung yang gundul. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham fatalisme atau predestination, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu telah ditentukan dari sejak asal oleh qadha’ dan qadar tuhan.[10]
Aliran Jabariyah ini bersumber dari fikiran seorang Yahudi yang bernama Thalut bin A’shom, yang sengaja diinfiltrasikan ke dalam islam pada permulaan Khulafaur Rasyidin. Kemudian disebarkan oleh Ibban bin Sam’an dan Ja’ad bin Dirham. Ada yang mengatakan bahwa aliran ini adalah aliran Jahmiyah, pengikut Jaham bin Safwan dari Persia, yang mati dibunuh pada tahun 131 H pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah.[11]
Aliran Jabariyah pertama kali dicetuskan oleh Ja’ad ibn Dirham. Namun dalam sejarah tertulis bahwa penyebar faham ini adalah Jahm ibn Safwan (w. 127 H/745 M), lahir di kota Samarkand, Khurasan, Iran dan menetap di Iraq. Ia seorang budak yang sudah dimerdekakan (mawali). Aliran ini dimulai di kota Tirmizh (Iran Utara), dan dikenal juga dengan aliran Jahmiyah.[12] Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zahra dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariyah.[13]
Dasar fikiran jabariyah ini ialah bahwa Tuhan adalah pencipta segala kejadian dan perbuatan, dan Tuhan itu tidak ada yang menyamainya dalam segala hal. Jadi manusia tidak mempunyai kekuasaan apa-apa karena segala gerak-geriknya diciptakan oleh Tuhan. Karena bila manusia dapat menciptakan perbuatannya, maka ia bebas berbuat apa yang dikehendakinya. Ini namanya menyamai Tuhan, padahal mustahil.[14]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam al-Quran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
a.    QS ash-Shaffat: 96
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès?       
Dan Allah-lah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b.    QS al-Anfal: 17
4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu  
 “Bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka.”
c.    QS al-Insan: 30
$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$#
 “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”
d.   QS al-an’am: 112
$¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# £`Å3»s9ur öNèduŽsYò2r& tbqè=ygøgs ÇÊÊÊÈ
 
“Mereka sebenarnya tidak akan percaya, kecuali Allah menghendakinya”.
Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabariah muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[15]
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: Pertama, adanya paham Qadariyah, Kedua, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan Ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokoh Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih (penyerupaan sifat Tuhan dengan manusia).[16]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam aliran Jabariah manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya dan kehendak sendiri serta tidak mempunyai pilihan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Kalau seseorang membunuh orang lain, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri karena qadha dari qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Dengan kata lain, dia membunuh bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk membunuh. Manusia dalam paham ini hanya merupakan wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia bergerak dan berbuat karena digerakkan oleh Tuhan. Tanpa gerak dari Tuhan manusia tidak dapat berbuat apa-apa.
2.  Ajaran-Ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
 Pertama, Jabariyah murni atau ekstrim, yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān paham fatalisme ini beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majāzī atau kiasan. Seperti halnya “perbuatan” yang berasal dari benda-benda mati. Misalnya dikatakan: pohon berbuah, air mengalir,batu bergerak, matahari terbit dan terbenam, langit mendung dan menurunkan hujan, bumi bergerak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Selain itu, menurut mereka pahala dan dosa ditentukan sebagaimana halnya dengan semua perbuatan. Jika demikian, maka taklif atau pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab juga merupakan suatu paksaan. Kalau seseorang mencuri atau minum khamr misalnya, maka perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Dengan kata lain bahwa ia mencuri dan meminum khamr bukanlah atas kehendaknya tetapi Tuhanlah yang memaksanya untuk berbuat demikian.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[17]
Paham moderat ini mengakui adanya intervensi manusia dalam perbuatannya. Karena manusia telah memiliki bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Sehingga manusia tidak lagi seperti wayang yang digerakkan dalang. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.
B. ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT(
1. Sejarah Munculnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara terminologis adalah satu aliran yang percaya akan kebebasan manusia bertindak dan menentukan pilihan perbuatan tanpa peran Tuhan. Setiap manusia adalah pencipta bagi perbuatannya, dengan demikian kita dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[18]
Nama Qadariah sendiri diambil dari paham yang mereka anut, yaitu bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya.[19] Kaum Qadariah berpendirian bahwa ketentuan dari segala sesuatu adalah di tangan manusia sendiri. Perbuatan yang baik dan jelek datangnya dari usaha manusia sendiri.[20] Manusia dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Dengan demikian, manusia mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan segala amal perbuatannya. Manusia dapat berbuat baik dan buruk menurut kemauannya sendiri, tanpa ada kekuasaan lain yang memaksanya.[21] Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[22] Dalam teologi modern aliran ini dikenal dengan nama free will, freedom of willingness atau freedom of action, yaitu kebebasan untuk kehendak atau kebebasan untuk berbuat.[23]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[24]
Ada dua sebab utama yang dapat dikategorikan menjadi sebab munculnya faham dan aliran Qadariyah yaitu :
a.    Masyarakat Arab yang cenderung fatalis, kehidupan yang serba sulit, faktor alam yang tidak mendukung untuk lepas dari faham tersebut. Agama Islam yang dianut oleh mereka justru menjadikan mereka bertambah dalam ke faham fatalis tersebut. Allah SWT telah menentukan nasib manusia terlebih dahulu, dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang ditentukan sejak azali. Ada Sunnatullah yang hadir dalam setiap detak dan detik denyut kehidupan semesta ini, dan manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan.
b.    Secara politis, pemerintah yang berkuasa ketika itu, Bani Umayyah, menganut dan menekankan faham fatalis, serta menjadikannya legitimasi. kekuasaan yang dipegang. Apa yang menjadi ketetapan penguasa adalah takdir Tuhan, sehingga siapapun yang menentang, maka sama saja dengan menentang ketentuan Tuhan. Hadirnya Qadariyah dianggap sebagai hambatan dan dukungan kepada kelompok yang kritis terhadap rezim. Faham Takdir yang dikembangkan Qadariyah sangat berbeda dengan keyakinan pemerintah.[25]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetapi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689 M.[26]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.[27] Aliran Qadariyah ini berkembang pada masa akhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dan dalam masa Bani Umayyah. [28]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[29]
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa aliran Qadariyah menjelaskan bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya, mereka beranggapan bahwa setiap aktifitas manusia adalah semata-mata keinginannya sendiri yang terlepas dari kehendak Tuhan. Manusia mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya dan segala amal perbuatannya. Manusia dapat berbuat baik dan buruk menurut kemauannya sendiri tanpa ada kekuasaan lain yang memaksanya. Jadi Tuhan hanya menciptakan manusia, tetapi manusia mempunyai kemauan dan perbuatan sendiri, jika manusia berbuat baik maka akan memperoleh pahala dan akan memperoleh siksa bila perbuatannya jelek. Karena manusia mempunyai kekuasaan sendiri dalam menciptakan perbuatannya, terpisah dari Qudrat dan Iradat Tuhan.
2.  Ajaran-Ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[30]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[31]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebuat lain, kecuali mengikuti hukum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Allah tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Adapun ayat-ayat Alquran yang digunakan untuk mendukung  aliran Qadariah antara lain:
(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/  
“Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù  
“Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/  
 “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.ar-Ra’du : 11)


C.   REFLEKSI FAHAM QADARIYAH DAN JABARIYAH : SEBUAH PERBANDINGAN TENTANG MUSIBAH
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu. Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.[32]

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku:
A. Mustajib, Materi Pokok Aqidah Akhlak II, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997.
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2008.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 2002.
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Tim Ensiklopedi Islam, Jabariyah, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?, Surabaya: Bina Ilmu, 1978.
Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Referensi Internet:
Ahmad Hanafi, “Sejarah Ilmu Kalam dan Pemahaman Qada dan Qadar”, dalam www.elvigunawan.blogfrienter.com/2007/02/sejarah-ilmu-kalam-dan pemahaman qada-dan qadar, diakses 5 November 2011.
Ahmad Mubarok, “Sebab-Sebab Munculnya Aliran Qadariah”,  dalam  http://blogspot. com/2008/09/ilmu-kalam.html,  diakses 5 November 2011.
Anwar Ali, “Jabariyah Qadariah”, dalam  http://blogkku.blogspot.com/2010/01/jabariyah-qadariyah.html, diakses 5 November 2011.
Islam adalah Rahmah, Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah”, dalam http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/pemikiran-jabariyah-dan-qadariyah.html, diakses 5 November 2011.


 
Endnote


[1] Anwar Ali, “Jabariyah Qadariah”, dalam  http://blogkku.blogspot.com/2010/01/jabariyah-qadariyah.html, diakses 5 November 2011
[2] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 177
[3] Islam adalah Rahmah, Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah”, dalam http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/pemikiran-jabariyah-dan-qadariyah.html, diakses 5 November 2011
[4] Ahmad Mubarok, “Sebab-Sebab Munculnya Aliran Qadariah”,  dalam  http://blogspot. com/2008/09/ilmu-kalam.html,  diakses tanggal 5 November 2011
[5] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 178
[6] A. Mustajib, Materi Pokok Aqidah Akhlak II, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997), hal. 45
[7] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 63
[8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2002), cet ke-1, hal. 33
[9] A. Mustajib, Materi Pokok Aqidah Akhlak II..., hal. 47
[10] Ibid., hal. 45-46
[11] Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?, (Surabaya: Bina Ilmu, 1978), hal. 53
[12] Ahmad Hanafi, “Sejarah Ilmu Kalam dan Pemahaman Qada dan Qadar”, dalam www.elvigunawan.blogfrienter.com/2007/02/sejarahilmu-kalam-dan pemahaman qada-dan qadar, diakses 5 November 2011
[13] Tim Ensiklopedi Islam, Jabariyah, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, hal. 239
[14] Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?., hal. 52-53
[15] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, hal. 64-65
[16]Anwar Ali, “Jabariyah Qadariah”, dalam  http://blogkku.blogspot.com/2010/01/jabariyah-qadariyah.html, diakses 5 November 2011
[17]  Islam adalah Rahmah, Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah”, dalam http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/pemikiran-jabariyah-dan-qadariyah.html, diakses 5 November 2011
[18] Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, hal. 176
[19] A. Mustadjib, Materi Pokok Aqidah Akhlak II, hal. 45
[20] Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?., hal. 54
[21] Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?., hal. 55
[22] Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 36
[23] A. Mustadjib, Materi Pokok Aqidah Akhlak II, hal. 45
[24] Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), hal. 68
[25] Ahmad Mubarok, “Sebab-Sebab Munculnya Aliran Qadariah”,  dalam  http://blogspot. com/2008/09/ilmu-kalam.html,  diakses tanggal 5 November 2011
[26] Hadariansyah, Pemikiran-Pemikiran Teologi..., hal. 68
[27] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam,  hal. 70
[28] Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah?., hal. 54
[29] Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 74
[30] Harun Nasution, Teologi Islam..., hal. 31
[31] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, hal. 73
[32] Islam adalah Rahmah, Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah”, dalam http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/pemikiran-jabariyah-dan-qadariyah.html, diakses 5 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar